Pesan untukmu,,,

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Anak Semua Bangsa-Pramudya Ananta Toer)

Selasa, Juli 19, 2011

Gemuruh Kawah Bromo: Mimpi yang Terwujud Sudah

Gunung Bromo dan Gunung Batok dari Matigen

Mimpi-mimpi itu. Ide-ide gila itu keluar lagi dari pikiranku dan keluar saja di ruang kecil bersekat itu. Rumah keduaku selama aku di kota perantauan ini. Keinginan untuk berpetualang masih begitu kental dalam pikiranku. Dan kalimat itu terlontar begitu saja. “Yuk, Backpackeran. Tujuan kita Bromo. Liburan semester ini, bulan Juli.”  Waktu itu beberapa penghuni sekre yang sedang asyik dengan pekerjaan mereka merespon dengan aneka rupa. Ada yang mengatakan kalau objek kejauhan, ada yang hanya tersenyum. Dan beberapa menjawab, “Ayuk, Mbak.” Dan mimpi itu, keinginan itu terealisasi pada 15-17 Juli kemarin.
Aku dengan 7 teman akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Bromo pada tanggal tersebut. Beberapa waktu sebelumnya aku mencari informasi lewat dunia maya. Itu karena semua yang akan berangkat belum memiliki pengalaman untuk pergi ke Bromo. Besarnya biaya, lokasi, akomodasi, dan situasi objek yang ingin kami tuju masih belum bisa kami prediksi. Karena itulah, informasi yang kami dapatkan pun masih cenderung separo-separo. Tapi semuanya tidak menyurutkan niat kami untuk melihat dan mengunjungi Bromo. Info pasti yang kami ketahui adalah bahwa Bromo sempat aktif dan menyemburkan debu vulkanisnya pada November tahun lalu. Sebagai ketua tim, aku berasumsi bahwa sekarang ini Bromo sudah berada pada kondisi yang lebih baik.
Aku, Desi, Mei, Septi, Tisna, Margi, Deni, dan Anjar. Kami berdelapan berangkat pada Jumat pagi. Kami naik kereta Sritanjung jurusan Banyuwangi. Di Stasiun Jebres kereta datang pukul 08.50. Selanjutnya, kami segera bertolak. Kereta meniupkan peluitnya dan asap hitam mengepul dari cerobong lokomotif di gerbong yang paling depan. Bismillah. Perjalanan pertama ini kami awali. Backpaker-an dengan modal nekat dan uang pas-pasan. Di dompetku sendiri hanya ada uang dua ratus ribu dengan beberapa uang ribuan saja. Berharap bahwa uang tersebut cukup untuk perjalananku kali ini.

Kami pantas bersyukur karena gerbong cukup longgar sehingga kami berdelapan memiliki tempat yang cukup untuk duduk. Berangkat pada hari Jumat, teman-teman yang laki-laki tidak bisa melaksanakan Sholat Jumat. Mereka menggantinya dengan sholat zuhur. Selama perjalanan ini, kami sering menjamak sholat agar bisa mendapatkan waktu sholat.
Pemandangan di kereta ekonomi Sritanjung
Sepanjang perjalanan, kami mengisinya dengan aneka cerita. Naik kereta ekonomi berarti kami bersiap melihat ‘mini Indonesia’. Semuanya hampir ada di sini. Bagi yang menginginkan sesuatu untuk dibeli, hampir semuanya bisa dicari di sini. Makanan, minuman, buah, hiasan rumah, baju, jam tangan, alat pencukur rambut, pisau, perlengkapan sekolah, tanaman hias, stiker, handuk, alat pencuci motor, dan banyak lagi yang dapat ditemukan di sini. Para pengamen hilir mudik, bergantian mencari rezeki. Aneka cara digunakan orang untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Beraneka rupa dan wajah orang Indonesia dapat ditemui di sini. Benar jika transportasi yang harus ditingkatkan jumlah dan kualitasnya adalah ransportasi dengan jalur kereta. Ini adalah alat transportasi massal yang cenderung murah dan efisien untuk skala waktu. Perjalanan akan lebih efektif. Peningkatan kualitas dan kuantitas dalam perkeretapian akan dapat mengurangi masalah yang dihadapi Indonesia dalam masalah transportasi.
Kereta kami beristirahat cukup lama di Stasiun Gubeng, Surabaya. Hampir setengah jam kereta berhenti. Beberapa dari penumpang keluar unuk sekadar mencari angin atau pergi ke toilet. Udara dalam kereta yang sedang berhenti memang sangat panas. Selama itu, para pengasong dan pengamen pun tidak berhenti untuk mengais rezeki. Salut dengan mereka yang tidak berhenti mengeluarkan suara-suara untuk menarik orang agar memerhatikan dan membeli sesuatu dari mereka. Mengeluarkan receh agar masuk dalam kantong mereka.
Selanjutnya, kereta bergerak lagi. Roda-roda kereta bergesekan dengan rel kereta. Berdecit dan membawa kami sampai di Stasiun Probolinggo pada 17.15. Senja sudah menghiasi langit dengan jingganya. Pemandangan langit yang kurasa lebih indah dari sebelumnya. Mungkin, karena aku melihat dari sudut pandang yang berbeda, dari tempat yang jauh dari kota yang biasa kugunakan untuk melihat senja sebelumnya. Semburat jingga begitu memberi warna. Aku menikmatinya selama teman-teman sholat asar dan menjamak sholat zuhur tadi.
Sebagai ketua tim dan karena aku sedang tidak sholat, aku bertanya dengan orang sekitar tentang kendaraan yang bisa membawa kami ke kawasan Bromo. Informasi sudah kudapatkan, maka setelah teman-teman selesai sholat kami langsung mencari angkutan kota ke Terminal Bayu Angga, Probolinggo. Beruntung karena kami tidak perlu mencari jauh-jauh. Ada satu angkot yang sedang mencari penumpang di depan stasiun. Kami berdelapan masuk dan angkot sudah lumayan penuh. Beruntung lagi karena angkot langsung berangkat. Berdasarkan informasi sebelumnya yang telah kudapatkan, angkot biasanya masih akan menunggu hingga ukuran jam untuk memenuhi kursi yang ada di dalamnya.  Berkali-kali kami memang harus bersyukur.
Pukul 17.50 kami sampai di Terminal Bayu Angga. Di sana kami mencari kendaraan menuju kawasan Bromo. Elf, nama kendaraan itu. Di sinilah kami mulai melakukan nego yang sedikit alot. Harga standar elf adalah Rp25.000,00 per orang .  Tetapi, pemilik elf meminta kami membayar RP30.000,00 per orang. Setelah lama melakukan nego, kami kemudian berangkat menuju kawasan Bromo ada 18.26. Perjalanan dari terminal menuju kawasan Bromo sangat menyenangkan. Jalan berbelok-belok. Jalan juga cenderung naik. Kelihaian sopir elf patut kami acungi jempol.
Dan di langit pemandangan indah kami dapati lagi. Purnama sempurna bersinar di atas kami seperti lampu yang dipasang Tuhan di langit. Perjalanan kami menjadi lebih indah. Jurang-jurang yang ada di kanan-kiri kami terlihat dengan jelas karena cahaya bulan yang sampai pada bumi. Kabut mulai turun dan udara menjadi dingin. pukul 19.25 kami sampai di kawasan Bromo. Selanjutnya, kami langsung mencari tempat menginap yang sesuai dengan ukuran kantong kami. Sebenarnya, banyak kamar yang bisa disewa. Tetapi, setelah melakukan perhitungan singkat, kami memutuskan untuk menyewa satu rumah karena selisih harga yang ditawarkan tidak banyak. Vila yang kami sewa memiliki 4 kamar dengan TV dan ruang tamu. Ada dua kasur tambahan. Vila yang sangat lumayan untuk ukuran kami. Setelah nego harga diputuskan kami juga mendapatkan tambahan dua termos teh dan kopi sebagai teman yang dapat menghangatkan tubuh kami. Di sini, makanan dan minuman untuk para pendatang cenderung sangat mahal. Aku menikmati teh dengan semangkok bakso yang tidak usah ditanyakan rasanya. Bakso itu cukup untuk mengisi perut sekaligus menghangatkannya. Beberapa teman yang masih merasa lapar memesan nasi yang akan digunakan untuk sarapan menjelang naik ke Bromo.
Fajar terbit, matahari di langit ufuk timur
Pengalaman pertama memang selalu membuat banyak kesan. Rencana kami untuk melihat matahari terbit di Puncak Pananjakan beralih. Pun tentang rencana menggunakan hardtop/jeep untuk menuju ke sana dan Puncak Bromo. Setelah berhitung, pengeluaran kami akan sangat membengkak jika kami memilih naik hardtop. Untuk dapat melihat matahari terbit, kami memilih untuk menuju ke puncak Matigen. Tempatnya lebih dekat dari vila, tempat kami menginap. Dan kami juga memutuskan untuk berjalan kaki menuju ke Matigen dan Kawah Bromo. Kami perlu membayar pemandu karena dari kami berdelapan tidak ada yang mengetahui lokasi Matigen dan Kawah Bromo tersebut. Mungkin karena baru pertama kalinya juga, kami tertipu tentang pembayaran tiket untuk masuk kawasan Bromo. Bagi pejalan kaki, tiket tersebut tidak diperlukan. Tiket hanya digunakan untuk mereka yang memasuki Bromo dengan hardtop.
Kami berangkat menuju Matigen dengan didampingi pemandu pada 04.15. Hawa dingin menyerang kami saat keluar dari vila. Setelah sedikit peregangan, kami kemudian berangkat. Kami melewati perkebunan penduduk. Kabut tebal, purnama di atas, dan dinginnya udara menemani sepanjang perjalanan kami. Ratusan orang juga sama seperti kami. Semuanya berlomba untuk menuju Puncak Matigen agar dapat mencari tempat terbaik untuk melihat pemandangan matahari terbit. Kami sampai di sana pada 04.45. Selendang putih masih sedikit terlihat di langit ufuk timur. Kami masih memiliki waktu untuk menunggu matahari terbit. Di langit sebelah barat, kami juga memiliki pemandangan yang indah. Gunung Batok dan Kawah Bromo yang ternyata aktif masih mengeluarkan debu vulkanisnya. Dan Purnama ada di atas mereka. Sangat cantik, teman! Kalian perlu melihatnya sendiri. Puncak Semeru juga terlihat meskipun hanya kecil saja. Di bawah kami, Segara Wedi dipenuhi dengan kabut. Maka, Gunung Batok dan Bromo seperti gunung yang berada di tengah-tengah laut dan kami ada di tebing di pinggiran laut itu. Sangat menakjubkan!!!
Di sana, seperti biasa. Kami mengabadikan momen tersebut dengan mengambil beberapa gambar. Ada seikit masalah pada kamera sehingga kami tidak bisa mendapatkan gambar yang bagus. Tetapi, kami tetap mengusahakan untuk mengambil gambar di sana. Kami bergerak menuju tempat yang lebih tinggi dan lebih sepi lagi karena teman-teman harus melaksanakan sholat subuh. Matahari mulai menunjukkan bagian bundarnya sekitar pukul 05.30. Kami menikmatinya sesaat. Beberapa dari kami berteriak. Meneriakkan hal-hal yang konyol..:)
Siluet yang kami tinggalkan di sana
Kami menikmati pagi di sana sampai 06.10. Kemudian kami turun untuk menuju puncak Bromo. Sebelumnya, kami mampir ke kamar mandi karena beberapa teman ingin menunaikan panggilan alamnya..:) Setelah itu, kami memutuskan untuk segera menuju Puncak Bromo. Dari Matigen kami bergerak ke bawah. Kami seperti memasuki kawah pertama. Yang ada dalam imajiku adalah bahwa Bromo berada dalam kawah pertama. Gunung Purba, mungkin seperti itu. Ah, teori yang harus kujelaskan dengan membandingkannya dengan teori dalam ilmu geografi. Lain kali aku akan membaca tentang ini.
Udara saat mulai untuk turun lebih dingin daripada udara ketika berada di Puncak Matigen tadi. Uap yang keluar dari mulut kami pun menjadi lebih banyak. Hidung pun juga mengeluarkan uap yang menandakan udara begitu dingin. Tetapi, semakin mendekat ke gunung Bromo, udara menjadi lebih hangat, bahkan panas.
Melewati anak tangga menuju Puncak Bromo
Menuju Puncak Bromo, kami melewati Segara Wedi itu. Lokasi yang pernah dijadikan lokasi syuting film ‘Pasir Berbisik’ yang dibintangi Dian Sastrowadoyo dan Christin Hakim. Benar-benar pasir berbisik. Saran untuk teman-teman yang akan melihat dan mengunjungi Bromo adalah kalian perlu memakai kacamata selain slayer atau masker. Ini perlu agar kalian tidak ‘kelilipan’ dengan debu yang beterbangan dengan liar. Pemandangan sekitar membuat kami seperti tidak di Indonesia. Jika biasanya kami menikmati warna hijau ketika mendaki gunung, saat mengunjungi Bromo kami menikmati warna abu-abu. Gundukan pasir yang membuat kami merasa seperti di tanah Arab. Sama sekali tidak ada warna hijau. Pohon-pohon yang berada di sekitar pun berwarna coklat dan abu-abu karena terkena guyuran debu vulkanis yang diterbangkan angin di sekitar Bromo.
Kami sampai di puncak pada 8.53 setelah melewati 249 anak tangga. Kondisi beberapa anak tangga sudah rusak. Beberapa juga telah rapuh. Yang patut dikagumi adalah bahwa pondasi tangga menuju Puncak Bromo tersebut masih sangat kuat meskipun Gunung Bromo adalah gunung yang cukup aktif memuntahkan debu vulkanisnya. Gemuruh kawah Bromo juga terdengar cukup keras setiap kali debu vulkanis akan terlempar keluar. Puncak Bromo langsung menuju kawah tanpa tedheng aling-aling. Karena itulah, kami harus berhati-hati. Angin kencang yang bertiup di Puncak Bromo membuat debu dan pasir yang berada di sana berguguran. Kaki kami yang bergerak dengan cepat akan membuat guguran menjadi semakin banyak. Yang paling kami takutkan adalah jika tanah yang kami injak di puncak kemudian gugur sehingga bisa saja kami jatuh dan terjun ke Kawah Bromo. Menjadi sesaji karena waktu itu bertepatan dengan perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Tengger...:)
Puncak Bromo, debu vulkanis beterbangan
Kami tidak lama berada di puncak. Angin sangat kencang. Kami juga harus memberikan kesempatan kepada yang lain untuk menikmati puncak. Daerah di Puncak sangat sempit. Karena itulah kami harus bergantian. Menuruni tangga yang landai dengan kemiringan mencapai 45° membuat kami harus lebih hati-hati daripada ketika naik. Apalagi ditambah angin dari puncak dan kanan-kiri yang semakin kencang saja. Syukur alhamdulillah karena semua anggota tim sampai di bawah dalam keadaan selamat. Selanjutnya, kami harus kembali melewati Segara Wedi. Mungkin karena sudah siang, angin memang bergerak sangat kencang. Hampir seperti badai debu. Para turis yang baru datang pun tidak bisa mencapai puncak. Mereka kembali dan tidak melanjutkan perjalanan karena debu vulkanis telah mengganas. Beberapa gambar sempat kami ambil untuk mengabadikan momen tersebut. Kami sampai di bawah Matigen pada 10.15. Selanjutnya melanjutkan perjalanan lagi dan sampai di vila pada 11.10. Sesampai di vila hanya satu yang ingin kami lakukan. Segera mandi dan bersih-bersih karena debu Bromo membuat tubuh kami menjadi tidak nyaman. Antre mandi pun terjadi di vila...:)
Selesai bersih-bersih dan istirahat, beberapa teman memutuskan untuk makan juga. Aku sendiri, entahlah, sama sekali tidak merasa lapar. Roti dan susu yang kumakan dalam perjalanan ke Puncak Bromo masih cukup memberi energi. Setelah selesai kami memesan Elf lagi pada 15.10. Kami baru sampai di Probolinggo pada 16.58. Agak lebih lama karena Elf yang kami tumpangi ini sering berhenti dan masih mencari penumpang untuk memenuhi Elf. Beberapa menit dalam perjalanan aku sempat tertidur. Aku baru sadar bahwa lutut kiriku mengalamai cidera. Cukup linu dan nyeri. Tetapi masih bisa ditoleransi.
Elf berhenti di Terminal Bayu Angga. Dari sana kami mencari angkutan kota lagi. Tujuan kami adalah alun-alun Probolinggo. Waktu pertama kali sampai di Probolinggo ternyata kami tidak sadar bahwa alun-alun Probolinggo terletak tepat di depan stasiun Probolinggo. Kami sampai di alun-alun pada 17.15. Waktu maghrib dan isya dihabiskan di Masjid Agung Probolinggo. Malam itu bertepatan dengan malam Nisyfu Syaban. Maka, alunan ayat-ayat Alquran terdengar begitu merdu. Lebih semarak dari biasanya. Begitu menenangkan jiwa.
Istirahat di alun-alun Probolinggo
Selesai isya, kami berjalan-jalan di sekitar alun-alun. Kami memutuskan untuk beristirahat saja di alun-alun. Kami langsung mencari tempat yang lumayan enak untuk tiduran. Beberapa dari kami langsung tertidur, termasuk aku. Tetapi, menjelang setengah sebelas malam, aku dibangunkan. Ada teman yang tidak tahan dengan dinginnya udara. Tempat selanjutnya yang kami pilih adalah statsiun. Maka, bermalamlah kami di stasiun malam itu. Tidur yang cukup nyenyak meski nyamuk juga menemani kami dengan gigitannya. Tidur pertamaku di stasiun...:)
Paginya kami menghabiskan pagi di alun-alun juga. Menikmati pagi dengan melihat car free day versi Probolinggo. Cukup bersih, cukup rapi. Patut untuk ditiru untuk masalah penataan barang dagangan. Di sana kami juga melihat bis yang biasa dijadikan kafe berjalan. Sangat bermanfaat untuk menunjang pariwisata Probolinggo. Selanjutnya adalah perjalanan kami ke Solo. Kami memilih kereta Logawa. Kereta datang pukul 07.10 yang membawa kami sampai di Stasiun Jebres lagi pada 14.55. perjalanan selesai!
Berikut ini biaya yang dikeluarkan kalau teman-teman ingin berniat ke Bromo dari Solo.
Kereta Sritanjung turun di Stasiun Probolinggo               : @ Rp24.000,00
Angkot ke Terminal Bayu Angga                                         : @ Rp3.000,00
Elf berangkat (kendaraan ke kawasan Bromo)                 : @ Rp25.000,00
Sewa penginapan (1 vila/rumah)                                       : Rp250.000,00 (patungan)
Sewa guide & tiket                                                        : Rp120.000,00
(kalau sewa hardtop & tiket bisa mencapai Rp 300.000,00)
Elf pulang ke Terminal Bayu Angga                                    : @Rp 20.000,00 – Rp25.000,00
Angkot ke Stasiun Probolinggo                                           : Rp3.000,00
Kereta Logawa turun di Stasiun Jebres, Solo                    : Rp26.000,00
Selama perjalanan backpackeran ini, aku menghabiskan uang sebesar Rp191.500,00. Uang sebesar itu sudah termasuk biaya makan dan lain-lain.
Pengalaman pertama selalu menjadi yang paling mengesankan. Begitu pun perjalanan ke Bromo kali pertama ini. Perjalanan untuk mewujudkan satu mimpiku. Perjalanan untuk menyatukan mimpiku dengan kawah Bromo yang tak pernah berhenti bergemuruh. Gemuruh tanpa jeda yang kuharapkan juga terjadi begitu dengan mimpi dan hidupku. Aku ingin hidup dengan mimpi-mimpi itu. Mimpi yang senantiasa membuatku menjadi manusia baru ketika satu mimpi telah terwujud nyata dalam perjalanan hidupku.
Semoga akan ada lagi kesempatan untuk berpetualang dan menikmati alam Indonesiaku. Lalu akan kugoreskan lagi catatan kecil sebagai kenang-kenangan dalam hidup! Amin.

19 Juli 2011
Pada 13.27 ....

Tidak ada komentar: