Pesan untukmu,,,

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Anak Semua Bangsa-Pramudya Ananta Toer)

Jumat, Maret 25, 2011

Analisis Kritis Novel Perempuan Berkalung Sorban: Sebuah Pendekatan Feminisme Sastra


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Karya sastra sebagai salah satu produk sebuah kebudayaan dapat dikatakan sebagai cerminan dari masyarakat tempat karya sastra itu lahir. Sebuah penelitian yang membicarakan tentang maju tidaknya atau tinggi rendahnya sebuah kebudayaan tidak hanya ditilik dari karya-karya atau tulisan ilmiah yang dihasilkannya. Tetapi, penilaian tentang hal tersebut dapat juga dilakukan dengan melihat karya-karya sastra yang dihasilkan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Kita tidak perlu harus terjun masuk ke dalam masyarakat untuk mengetahui kebudayaan suatu masyarakat. Penelitian dapat dilakukan dengan cara menggali karya-karya fiksi, seperti buku-buku sastra atau novel. Hal inilah yang membuat perkembangan sastra tidak bisa dipisahkan dengan pola kehidupan dan pola pikir masyarakatnya. Cara masyarakat untuk hidup dan bertingkah laku dalam kehidupan sosial mereka bisa sangat mempengaruhi seorang penulis dalam merefleksikan pemikirannya tentang suatu masalah yang kemudian bisa diwujudkan dalam suatu kreasi yang kemudian layak disebut sebagai suatu karya sastra. Dan hal yang serupa juga terjadi pada perkembangan sastra di Indonesia.
Dalam perkembangannya, Abidah Al Khalieqy merupakan satu nama yang menghiasi jejak sastra di tanah air. Lewat karyanya, Abidah melukis kisah wanita dengan aneka perlawanannya terhadap budaya patriarki yang menurutnya masih terasa kental di negeri ini. Karya perdana yang dibukukan pada 2001 mengambil judul Perempuan Berkalung Sorban. Novel ini dinilai sebagai bentuk perjuangan yang bisa dilakukan oleh seorang penulis wanita untuk meningkatkan kedudukan kaumnya.
Novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah novel yang berbingkai feminisme. Perspektif feminisme lebih mengarah pada karya sastra yang ditulis perempuan sekaligus menampilkan tokoh perempuan dengan berbagai masalahnya. Perspektif dimaksud tidak semata-mata memandang novel dari kacamata estetika, tetapi juga memfokuskan kajian pada makna dan hubungannya dengan realitas sosial dan budaya.
Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki kandungan ekspresi dan konsistensi fiksional untuk mengutuhkan kepribadian, kecerdasan, dan keyakinan tokoh perempuan di dalamnya. Pengutuhan itu bukan saja terbaca dari latar sosial tokohnya, Annisa, tetapi juga emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi dan diskriminasi tokoh-tokoh antagonis yang bersifat patriarkis. Penggambaran posisi dan sikap tokoh perempuan tersebut juga mencerminkan adanya upaya untuk menanggapi dan mencari solusi terhadap masalah gender yang ditimbulkan oleh ketidakadilan sosial dan budaya di sekitar tokoh itu berada.
Inilah yang kemudian melatarbelakangi peneliti untuk mengkaji novel Perempuan Berkalung Surban dengan judul Analisis Kritis Novel Perempuan Berkalung Sorban: Sebuah Pendekatan Feminisme Sastra.



B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah perwujudan pandangan feminisme yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban?”

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan mendeskripsikan perwujudan pandangan feminisme yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Hakikat Kritik Sastra
Sastra dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata sas yang berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau instruksi, dan tra yang berarti alat atau sarana (Teeuw, 1984: 23). Dalam pengertian sekarang, sastra banyak diartikan sebagai tulisan.
Kata “kritik” (critism) (Wellek, 1978) sangat luas dipergunakan dalam bermacam-macam hubungan, seperti politik, masyarakat, sejarah musik, seni, dan filsafat. Bertolak dari pandangan inilah, pembicaraan yang berkaitan dengan sastra harus dibatasi dalam kajian kritik sastra. Kritik sastra merupakan bidang studi sastra yang digunakan untuk “menghakimi” atau memberikan penilaian terhadap sebuah karya sastra. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah memberikan penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya sebuah karya sastra. (Pradopo, 1967: 9-10).
Kritik sastra bisa merupakan penilaian yang bersifat like and dislike (dalam bentuk yang sederhana) dan dapat juga merupakan sebuah karya ilmiah. Kritik sastra yang demikian itulah yang mempunyai kesamaan dengan telaah sastra. Kritik sastra yang demikian adalah kritik sastra yang bertolak dari suatu teori dan kerangka acuan tertentu. Tidak hanya dilakukan karena senang atau tidak senang, suka atau tidak suka berdasarkan selera personal, tetapi lebih merupakan usaha untuk mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap sebuah atau lebih karya sastra. Kritik sastra yang demikian dilakukan secara sistematis, analisis, dan bertolak dari kerangka teori tertentu serta diungkapkan secara tertulis (Mursal Esten, 1984: 12).

B. Kritik Sastra Feminis
Dalam arti leksikal, feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria (KBBI, 1996: 241). Feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Goefe, 1986: 837).
Kritik sastra feminis di Indonesia diperkenalkan antara lain oleh Soenardjati Djajanegara. Kritik ini digunakan untuk menyebut disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembangluasnya feminisme di dunia. Kritik sastra feminis muncul ketika citra perempuan di dalam karya sastra hampir selalu ditempatkan sebagai korban, bersifat sentimentalis, dan memiliki kepekaan spiritualitas di tengah kekuasaan laki-laki yang mengungkung.
Menurut Djajanegara (2003:27) Kemunculan kritik sastra ini berawal dari hasrat pertama yang mendorong munculnya gerakan feminisme dalam sastra adalah adanya kesadaran dari kaum perempuan bahwa dalam sastra pun perempuan masih tampak sebagai pihak yang tersubordinasi. Sedangkan menurut Sugihastuti (2005:29), kritik sastra feminis yang mempunyai definisi sebagai kajian sastra yang mengarahkan pada fokus analisis perempuan muncul dari adanya kenyataan bahwa di dalam karya sastra terdapat permasalahan gender.
Kolodny menjelaskan bahwa kritik sastra feminis membeberkan wanita menurut stereotipe seksual, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra kita, dan juga menunjukkan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai telah digunakan untuk mengkaji tulisan wanita secara tidak adil dan tidak peka. Menurutnya, mereka yang menekuni bidang sastra pasti menyadari bahwa biasanya karya sastra, yang pada umumnya hasil tulisan laki-laki menampilkan stereotipe wanita sebagai istri dan ibu yang setia dan berbakti, wanita manja, pelacur, dan wanita dominan. Citra-citra wanita seperti itu ditentukan oleh aliran-aliran sastra dan pendekatan-pendekatan tradisional yang tidak cocok dengan keadaan karena penilaian demikian tentang wanita tidak adil dan tidak teliti. Padahal wanita memiliki perasaan-perasaan yang sangat pribadi, seperti penderitaan, kekecewaan atau rasa tidak aman yang hanya bisa diungkapkan secara tepat oleh wanita itu sendiri.
Teori feminis muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia, perempuan juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. John Stuart Mill dan Harriet Taylor menyatakan bahwa untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan/kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap individu mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki (Tong, 1998 : 23).
Fokus pembicaraan yang menyangkut masalah eksistensi kewanitaan dalam kritik sastra, terkait erat dengan lima pokok masalah (Selden, 1991).
1. Biologis: dari sudut pandang lelaki, wanita adalah “Tofa Mulier in Utero” ‘perempuan tidak lain adalah sebuah kandungan’. Jadi, dilihat dari peranan tubuh wanita, ia adalah tempat penerus keturunan. Dari pihak feminis, sebaliknya berpendapat atribut biologis wanita lebih merupakan sumber keunggulan dari pada kerendahan (inferioritas).
2. Pengalaman: ada perbedaan yang jelas dari segi persepsi dan emosi wanita dan laki-laki dalam hal penting dan yang tidak penting.
3. Wacana: Foucaut berpendapat bahwa apa yang “benar” tergantung pada siapa yang menguasai wacana. Maka, adalah wajar kalau terjadi dominasai laki-laki dalam “kebenaran” yang terkandung dalam karya sastra yang yang ditulis kaum laki-laki. Ada dugaan (Robin Lakoff=sosiolinguis) bahwa bahasa wanita terkesan agak rendah, mempunyai ketidakpastian, dangkal, sembrono, tidak serius, dan penuh perasaan. Agar wanita lebih dominan, maka harus berusaha merebut wacana dari pria.
4. Ketaksadaran: Teori psikoanalitik Lacan dan Krisfeva berbicara tentang hal ini. Seksualitas wanita bersifat revolusioner, subversive, beragam dan terbuka. Sebab itu ada upaya menolak untuk mendefinisikan seksualitas wanita.
5. Kondisi sosial dan ekonomi: kaum wanita berupaya membuat perimbangan perubahan kondisi sosial dan ekonomi dalam interaksi wanita dan laki- laki.
Dalam penelitian perlu diangkat masalah-masalah di atas sebagai fokus penelitian melihat peranan dan karakter tokoh (perwatakan tokoh) wanita. Kita dapat mengkaji bagaimana peranan dan karakter tokoh-tokoh wanita dalam novel-novel Indonesia dari periode ke periode. Salah satu fokus, atau dua, bahkan tiga fokus di atas dapat dijadikan pusat kajian. Terutama dalam mengkaji karya-karya yang ditulis penulis wanita.
Kalau kita lihat dalam bidang yang lebih luas ada beberapa masalah yang bisa dikaji dengan kritik feminis. Pada umumnya semua karya sastra yang menampilkan tokoh wanita, baik dalam ragam fiksi maupun puisi (sajak) dapat dikaji dengan pendekatan feminis. Yang dikaji dalam hubungannya dengan tokoh wanita adalah :
a. Peranan tokoh wanita dalam karya sastra itu baik sebagai tokoh protagonis ataupun tokoh antagonis, atau tokoh bawahan.
b. Hubungan tokoh wanita dengan tokoh-tokoh lain yaitu tokoh laki-laki dan tokoh wanita lain.
c. Perwatakan tokoh wanita, cita-citanya, tingkah lakunya, perkataannya (tutur bahasanya), dan pandangannya tentang dunia dan kehidupan.
d. Sikap penulis ( pengarang ) wanita dan pengarang laki-laki terhadap tokoh wanita.
Berdasarkan uraian di atas, pada hakikatnya kritik feminis dapat dipakai untuk mengkaji karya sastra hasil penulis laki-laki dan wanita. Pengeritik feminis (pembaca feminis) dapat melihat bagaimana penampilan tokoh wanita dalam karya sastra pengarang laki-laki dan dalam karya sastra wanita.


BAB III
PEMBAHASAN
Novel Perempuan Berkalung Sorban ini dianalisis dengan menggunakan kritik sastra feminis. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji isi novel dilihat dari peranan tokoh wanita, hubungan tokoh wanita dengan tokoh-tokoh lain, dan perwatakan tokoh wanita, cita-citanya, tingkah lakunya, perkataannya (tutur bahasanya), dan pandangannya tentang dunia dan kehidupan.

A. Peranan Tokoh Wanita dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban
Novel Perempuan Berkalung Sorban menceritakan tentang tokoh Annisa yang hidup dalam lingkungan pesantren salaf dengan semua kebiasaan dan adat yang hidup di sana. Nuansa di pesantren masih mengukuhkan kekuatan laki-laki di atas perempuan dalam segala hal hingga perempuan seperti kehilangan kekuatan, bahkan untuk mengatur dan memiliki dirinya sendiri. Budaya patriarkal masih sangat kental dan terasa yang membuat perempuan-perempuan terlihat begitu lemah. Hal tersebut terjadi juga pada Annisa, anak pimpinan pesantren. Di sinilah Annisa kemudian hadir sebagai tokoh revolusioner yang ingin mengubah tradisi yang ada sekaligus memberikan pengetahuan kepada perempuan-perempuan yang ada dalam pesantren bahwa menjadi perempuan juga harus cerdas dan tidak hanya sibuk dengan urusan dapur semata.
Bagian ini dimulai penulis dengan menceritakan pertentangan batin yang sudah dialami tokoh utama, Annisa sejak ia masih kecil. Beberapa lembar di awal dalam novel ini memberikan gambaran pengantar konflik dan gambaran posisi setiap tokoh.
“Kita jaring betinanya!”, teriak Rizal, kakakku.
“Dia mau bertelur, jangan diganggu!,” sergahku. “Justru di saat bertelur dia tak berdaya. Kesempatan kita menangkapnya.”
… .
Aku merenung sejenak. Kalau aku tak bisa menemukan jawabannya, dia pasti akan mengejekku. Mencibirku sebagai anak perempuan yang bodoh.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 1-3)

Kutipan di atas digunakan oleh penulis untuk menggambarkan tokoh utamanya. Tokoh lain menganggap perempuan adalah makhluk yang lemah yang pantas mendapatkan perilaku tidak terpuji. Kutipan tersebut juga menegaskan sikap tokoh utama, Annisa. Sejak kecil, melalui pertengkaran kecil dengan kakaknya menunjukkan sikapnya terhadap perlakuan yang diberikan kepada perempuan. Sejak kecil Annisa sudah merasakan perbedaan perlakuan itu dan dia ingin perempuan mendapatkan perlakuan yang sama dengan laki-laki, terutama kebebasan untuk mendapatkan hak-hak mereka.
Abidah El Khalieqy menggambarkan kegelisahan Annisa tersebut secara apik dengan sedikit sentuhan gaya bahasa sinisme pada bagian lain dalam novel ini.
“Apapun yang terjadi…aku harus bisa. Aku mesti belajar naik kuda. Aku akan tetap belajar naik kuda. Naik kuda.”
Tetapi impian tinggal impian. Setelah tragedy Rizal kecemplung Blumbang dalam pengembaraan kami, dua belas pasang mata santri diberi tugas mengamati aktivitas masa kanakku. Ruang bermainku mendapat pagar baru, lebih tinggi dan lebih sempit untuk cakrawala penglihatanku. Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan, dan api pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang dipenuhi minyak bekas makanan Rizal, Wildan, dan bapak yang terus saja duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 8-9)

Kutipan di atas menunjukkan tentang posisi dan kondisi wanita yang hadir hanya untuk berada di belakang. Perempuan hadir untuk mengurusi permasalahan rumah tangga dan urusan dapur lainnya. Budaya patriarkal masih beranggapan bahwa perempuan tidak perlu dan tidak pantas untuk tahu lebih jauh tentang hal-hal yang berada di luar kawasan dapur dan rumah. Dengan gaya bahasa yang cenderung menilai sinis terhadap perlakuan yang dilakukan terhadap perempuan, penulis novel ingin mengatakan tidak ikhlasnya dia terhadap perlakuan yang diberikan kepada kaumnya.
Pondok kami memang bukan pondok yang besar sebagaimana pondok pesantren Bahrul Umum Tambakberas atau Tebuireng. Hanya saja, ada beberapa kompleks yang telah dibangun oleh bapak, yang kemudian dihuni oleh lima puluh santri putri, dengan ustadz yang paling tua dan dipercaya oleh bapak, yaitu ustadz Ali. Beliaulah yang memegang pelajaran dan kitab-kitab utama yang wajib diikuti seluruh santri. Namun, aku sendiri tak pernah tertarik untuk mengikutinya, kecuali hanya untuk menuruti keinginan bapak. Itulah sebabnya, aku sering bermain dan belajar bersama-sama teman sekampung, yang tidak terdaftar sebagai santri dipondok kami. Kalaupun bermain atau belajar di pondok, paling-paling hanya bertandang di kamar Mbak May.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 51-52)

Kutipan di atas menceritakan kondisi tokoh Annisa yang sedari kecil telah memiliki pemikiran dan gagasan yang berbeda dengan lingkungan yang didiaminya sejak kecil. Ia mengingkinkan hidup yang lebih luas dan bebas dari tembok pondok pesantren yang dirasakannya sejak kecil. Pemikiran inilah yang sangat mempengaruhi kehidupan Annisa ketika remaja maupun pendewasaan dirinya.

B. Hubungan Tokoh Wanita dengan Tokoh-Tokoh Lain dalam Novel
Abidah El Khalieqy menggambarkan sosok Annisa melalui percakapan-percakapan yang dilakukan dengan tokoh lain dalam novel lain atau lewat pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh Annisa. Beberapa contoh percakapan tersebut antara lain.
“Bagaimana jika kenyataannya ada seorang isteri yang terbuka dan mengajak lebih dulu dan tidak suka bersikap menunggu.”
“Perempuan seperti itu biasanya tidak disukai laki-laki karena terlalu agresif. Nanti laki-laki bisa minder menghadapinya. Sebaiknya seorang isteri adalah pemalu dan bersikap menunggu.”
“Tetapi menunggu sampai kapan, Pak Kiai?”
Semua terkesima lalu gerr. Ustadz Ali ikut tersenyum lalu geleng-geleng kepala… . “Kira-kira sampai kapan? Tentu saja sampai suami berkenan mengajaknya,” jawabnya enteng, sembari berdehem dua kali.
“Bagaimana kalau suami tidak pernah berkenan karena sudah puas dengan dirinya sendiri atau berselingkuh, misalnya?”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 80-81)

Kutipan di atas menampilkan keberanian Annisa untuk tidak segan-segan bertanya dan mendebat kiai sekalipun jika pendapatnya diyakini benar. Annisa meyakini bahwa ada yang salah dengan penafsiran yang dilakukan oleh para kiai yang hidup dalam lingkungan pesantren selama ini dan terus diajarkan kepada para santri. Kesalahan tersebut membuat kondisi perempuan yang ada dalam lingkungan pesantren tidak mendapat perlakuan yang seharusnya bisa mereka dapatkan sebagai perempuan. Kesalahan ini juga berakibat pada kesalahan pandangan perempuan yang hidup dalam lingkungan pesantren yang masih dilingkupi dengan kekangan budaya patriarkal yang masih begitu kental. Perempuan-perempuan itu kemudian berpendapat bahwa mereka memang sudah berada pada takaran yang sebenarnya. Sikap nrimo dan pasrah inilah yang membuat mereka semakin erat berada dalam kungkungan patriarkal. Keadaan yang seperti inilah yang ingin diubah oleh Annisa.
Selain memiliki karakter penokohan yang cerdas, keras kepala, semangat, kerja keras, Annisa juga memiliki karakter yang lembut dan kasih sayang terhadap keluarganya (suami dan anaknya).
Kelahiran anak kami telah merekat tali kasih sepanjang usia. Begitu nafas jiwaku berkata dalam kelelapan.
Saat tersadar dari lelapku, bayi itu telah terbungkus rapi, tidur di sampingku. Setelah bidan dan perawat memberekan urusanku, kami pindah dari ruangan melahirkan menuju kamar yang kami pesan. Sepanjang malam itu, kakiku terasa pegal dan linu dan minta dipijiti terus menerus. Mas Khudhori memijatku sembari membicarakan rencana kami untuk memanggil nama bayi kami saat aqiqah kelak, seminggu lagi. Sekalipun sakit dan lelah, kebahagiaan membayang di seluruh ruangan itu, terutama di wajah mas Khudhori. Sebentar-sebentar dia akan menengok bayi kami dan meneliti seluruh anggota badannya. Dengan senyum-senyum, ia membandingkan segi-segi persamaan antara kami bertiga.
… .
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 294-295)

Annisa adalah seorang istri yang sangat mencintai suaminya, bahkan ketika Khudhori telah meninggal. Rasa cinta Annisa kepada Khudhori masih tertanam dalam jiwanya menemani Annisa sampai akhir hidupnya. Dan cinta itu menemani Annisa dalam perjuangannya untuk membangkitkan kembali posisi perempuan dalam masyarakatnya.
Khudhori adalah tokoh utama laki-laki dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Ia adalah gambaran dari laki-laki muslim yang menempatkan perempuan pada posisi yang seharusnya. Khudhori menghormati dan menghargai perempuan pada nilai-nilai kodrati mereka. Pendidikan Khudhori yang memiliki latar belakang pesantren tidak memiliki pandangan yang sama dengan kiai dan teman-temannya yang memiliki latar belakang pondok pesantren juga. Kecerdasan Khudhori berperan dalam pemikirannya karena ia tidak menerima secara utuh ajaran yang dia dapat tetapi membuat relevansinya dengan kehidupan sekarang.
Samsudin adalah tokoh dalam novel Perempuan Berkalung Sorban yang merupakan gambaran dari laki-laki yang tidak menghargai posisi wanita. Samsudin menganggap bahwa wanita hanya makhluk yang diciptakan untuk memuaskan laki-laki dalam hasrat seksual dan mengurusi keperluan dapur belaka. Perangai buruk Samsudin terlihat pada semua dialog yang dilakukan dengan tokoh yang lain.
Haji Hannan adalah Bapak dari Annisa. Dia adalah pendiri pondok pesantren yang bercita-cita untuk mendidik remaja putri agar menjadi kaum muslimah yang berguna bagi negara dan bangsa. Sosok Kyai Hanan mewakili sosok kyai yang kolot dengan ajaran Islam dan cenderung menerima ajaran Islam secara tekstual semata. Telaah yang dilakukannya dengan kyai-kyai yang lain hanya terbatas pada terminologi tanpa membahasnya lebih dalam pada aspek relevansi. Hal inilah yang membuat Kyai Hanan menjadi sosok yang tidak bijaksana dalam langkah yang diambilnya. Sebagai seorang Kyai, dia juga tidak melakukan perlakuan yang semestinya kepada putrinya, Annisa. Kesenjangan perlakuan terlihat jelas antara Annisa dengan dua saudara laki-lakinya. Budaya patriarkal masih kental mempengaruhi pola pikirnya.
Kyai Hanan memiliki kasih sayang layaknya orang tua kepada anaknya. Hal ini terlihat ketika Kyai Hanan mengetahui perlakuan yang diterima Annisa dari Samsudin. Kyai Hanan mengakui bahwa kesengsaraan yang dialami Annisa sedikit banyak karena sikap Kyai Hanan yang menjodohkan Annisa tanpa mempertanyakan kepada Annisa terlebih dahulu berkenan atau tidak.
Hajjah Mutmainah adalah gambaran dari wanita Jawa yang hidup menurut apa yang telah digariskan. Seperti wanita awam pada umumnya, ia hidup dengan aturan-aturan yang sudah pasti. Hajjah Mutmainah yang berperan sebagai Ibu Annisa berpendapat bahwa wanita harusnya hidup nerimo sesuai dengan kodratnya. Pekerjaan rumah tangga adalah hal yang wajib dikerjakan oleh seorang wanita sebagai seorang istri dan ibu kelak. Sikap pasrah yang terlalu berlebihan inilah yang sering didebat oleh Annisa. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
“Ssst! Nggak baik berkata seperti itu. Semua pekerjaan itu ada resikonya. Ke kantor pun ada resikonya. Misalnya dimarahi bos, kalau musim hujansuka kahujanan… .
“Tetapi jika aku ke kantor, siang hari sudah pulang dan setibanya di rumah tinggal santai sambil nonton televise. Kalau hari minggu bisa rekreasi, memancing ikan di sungai Kajoran atau Kaliangkrik, bisa naik kuda seperti Rizal dan Wildan. Iya kan, Bu?”
“Sudah…sudah, Nisa. Kau ini ngomongnya suka ngelantur. Lebih baik ganti pakaian, lalu makan. Dan jangan lupa, belajar baca al-quran, kemudian shalat berjamaah di masjid, sekalian ikut pengajian siang.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 16)

Hajjah Mutmainah juga memiliki karakter keibuan yang mendominasi pada setiap perkataan dan sikap yang dilakukannya. Sebagai seorang ibu, ia memberikan pengertian kepada Annisa bagaimana menjadi perempuan seutuhnya menurut pemikiran yang dilingkupi budaya patriarkal. Hajjah Mutmainah selalu memberikan jawaban dan pengertian kepada Annisa meskipun tidak pernah memuaskan hati putrinya karena perbedaan pandangan antara keduanya.
Sebagai seorang Ibu, Hajjah Mutmainah juga sangat mencintai anaknya. Perhatian dan cinta yang begitu besar kepada Annisa terlihat ketika ia mengetahui penderitaan yang dialami oleh Annisa selama pernikahannya dengan Samsudin. Perasaan bersalah juga memenuhi perasaannya karena ia juga ikut memutuskan pernikahan yang tidak pernah diinginkan Annisa tersebut
Rizal dan Wildan adalah saudara laki-laki Annisa. Perilaku mereka dalam novel Perempuan Berkalung Sorban menunjukkan perilaku kakak yang cenderung meremehkan adik perempuannya. Mereka masih mengangap bahwa anak perempuan tidak seharusnya menguasai hal-hal yang biasa dikuasi laki-laki. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tempat mereka lahir dan berkembang dan ajaran-ajaran yang selama ini mereka dapatkan.
Perilaku Rizal yang menganggap remeh segala hal yang dikerjakan oleh adiknya, Annisa terlihat pada kutipan berikut.
Kami pindah ke ruang tengah dan menikmati kue sambil meneruskan perbincangan yang bertambah seru. Ketika Rizal pada akhirnya keluar juga mendengar serunya perbincangan kami, ia tak tahan ingin tahu dan ikut nimbrung.
“Serius amat bicaranya. Kasih tahu dong. Masalahnya apaan sih?”
“Rahasia ya, Lek. Awas! Jangan katakana apapun sama dia. dia tak bisa nyimpan rahasia,” aku menekan lek Khudhori. Rizal sewot dan berlagak sok tahu.
“Alaaah…paling-paling urusan perempuan, feminisme, jender, patriarkhi…apalagi ya, emansipasi RA. Kartini.”
“Emangnya tahu, apa itu jender.”
“Kalau gendher sih aku tahu, kalau digoreng jadi krupuk asin, ha ha..”
“Dasar otak udang! Selalu saja ketinggalan zaman,” cemoohku,
“Memangnya apa feminisme itu. Apa gender itu. Tahu apa kau tentang patriarkhi? Sok tahu, Zal, Rizal.”
Lek Khudhori memandangku dan Rizal secara bergantian, lalu menggelengkan kepala. Ia hanya tersenyum menyaksikan pertentangan kami berdua.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 172-173)

Meskipun begitu, kedua kakak beradik ini juga memiliki perhatian yang cukup besar kepada Annisa ketika mengetahui bahwa selama menikah dengan Samsudin Annisa mengalami perlakuan yang tidak seharusnya. Mereka ikut andil dalam pemecahan masalah Annisa.
Mbak Kalsum adalah perwakilan dari perempuan yang menjadi korban perilaku laki-laki. Kalsum adalah wanita yang terjebak oleh perangkap Samsudin hingga dia hamil di luar nikah. Kalsum menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Annisa dan Samsudin meskipun Annisa tidak begitu peduli dengan keberadaannya. Keberadaan Kalsum dianggap sebagai pengalih perhatian dan kebiadaban Samsudin dari dirinya.
Kalsum juga menggambarkan karakter wanita yang terpaksa menerima perlakuan dari suaminya karena ketidakberdayaannya untuk menolaknya. Dia adalah gambaran wanita yang tergoda karena bujukan materi dari seorang laki-laki. Keterbatasan Kalsum atas pemahaman agama membuatnya tidak memiliki pegangan yang kuat dalam hidupnya. Ini tergambar melalui paragraf berikut.
Satu hal yang menjadi pikiran serius bagi Kalsum adalah masalah uang. Ia anak perempuan dari seorang makelar tanah yang selalu bau rupiah. Tembak sana, tembak sini tanpa rasa jengah. Tampaknya, itu juga yang membuat hidungnya mendengus seperti kucing yang mencari daging walau tersembunyi di bawah kasur. Ia akan bertengkar mati-matian hanya seratus rupiah kembalian yang belum dibayarkan. Selain statusnya sebagai janda, Kalsum tertarik rayuan Samsudin adalah karena mendengar warisan Samsudin berjumlah lima hektar sawah dan satu hektar kebun klengkeng. Air liurnya menetes setiap kali ia menyebut sawah dan kebun klengkeng itu.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 123)

Namun begitu, Kalsum juga memiliki sikap mau memperbaiki kesalahannya. Pertemuan dan pembicaraan yang intens dengan Annisa membuat mata hatinya terbuka atas kebenaran dan menciptakan keinginan untuk belajar ilmu agama kepada Annisa. Satu hal yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya.
Mbak Maryam adalah gambaran dari perempuan modern yang berpandangan luas dan memiliki kritik-kritik yang cerdas. Mbak Maryam adalah ketua organisasi (LSM) tempat Annisa bergabung dalam wadah yang bertujuan untuk melindungi hak-hak kaum perempuan. Karakter Maryam diceritakan penulis melalui kutipan berikut.
Maryam memiliki karakter yang kuat sebagai pemimpin. Ia mampu memobilisasi massa dan mengelola keuangan sekaligus dengan begitu rapinya. Bicaranya pelan penuh tekanan. Selain itu, Mbak Maryam memiliki kepekaan yang luar biasa dalam hal ketidakadilan. Mungkin hasil pergaulannya dengan suaminya yang pengacara. Dalam beberapa hal, terutama kritikannya yang tajam terhadap kasus-kasus para suami yang menelantarkan istri, melecehkan istri, perlakuan kasar sampai membunuh dan penyelewengan umum yang dilakukan para suami secara sembunyi dan terang-terangan di muka anak-istri, mbak Maryam adalah pusat kekagumanku karena kedalaman kritikannya jauh dari kesan kanak-kanak yang mau menang sendiri. Ia juga sering melontarkan kritik tajamnya terhadap organisasi perempuan yang tidak mandiri, selalu dibayangi dan berada di bawah organisasi induknya yang nota bene adalah kepunyaan laki-laki. Dan satu lagi, ia sangat piawai dalam qira’ah.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 229-230)

C. Perwatakan Tokoh Wanita, Cita-Cita, Tingkah Laku, Perkataan, dan Pandangannya tentang Dunia dan Kehidupan
Annisa adalah tokoh sentral atau tokoh utama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Dia adalah gambaran wanita cerdas yang hidup dalam lingkungan pesantren. Annisa sadar dengan posisi wanita yang seharusnya tidak hanya sibuk dengan urusan belakang saja sejak ia masih kecil.
Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih banyak. Kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami.
Di dalam kelas selagi aku masih merenung-renung perkataan Rizal, pak guru bahasa Indonesia menyuruhku mengulangi kalimat:
A-yah per-gi ke kan-tor
I-bu me-ma-sak di da-pur
Bu-di ber-ma-in di ha-la-man
A-ni men-cu-ci pi-ring
“Ulangi sekali lagi, lebih keras dan jelas!” Perintah pak guru.
“Bapak pergi ke kantor,” teriakku lantang kemudian terdiam. Aku berpikir sejenak kemudian bertanya, “apa ke kantor itu termasuk urusan laki-laki, Pak Guru?”
Pak guru terkejut. Aku juga ikut terkejut. Demikian juga teman-temanku.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 10-11)

Kutipan di atas menceritakan tentang pencarian Annisa atas hakikat hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Sejak kecil di lingkungan pesantren, Annisa mendapatkan perlakuan yang berbeda jika dibandingkan dengan dua kakaknya yang laki-laki. Pikiran-pikiran dan keinginan untuk mendapat perlakuan yang sama dengan kedua kakaknya selalu membuat Annisa memiliki pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengejutkan orang yang ditanya baik itu gurunya, ibunya, atau temannya. Hal tersebut juga terlihat dalam kutipan berikut.
“Tapi aku ingin belajar naik kuda dan pergi ke kantor.”
“Apa hebatnya naik kuda dan apa enaknya pergi ke kantor, Nisa?”
“Jika aku naik kuda, semua orang mendongak ke arahku jika bicara denganku. Aku juga bisa memimpin pasukan perang seperti Aisyah atau Putri Budur, sehingga laki-laki perkasa menjadi tunduk di belakangku,” aku tertawa geli, “dan jika aku pergi ke kantor, bajuku wangi dan rapi tidak seperti Lek Sumi yang seharian di dapur, badannya bau dan bajunya kedodoran. Jika aku ke kantor, semua orang melihatku dengan hormat, tidak menutup hidung jika aku lewat seperti mereka menutup hidung dekat lek Sumi, karena bau bawang dan terasi. Dan di akhir bulan aku menerima gaji.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 15)

Sebagai seorang istri, perempuan pun memiliki hak dalam masalah yang berkaitan dengan reproduksi. Perempuan memiliki hak untuk menolak dan menerima ajakan suami untuk melakukan hubungan suami istri. Perempuan juga harus memiliki sikap terhadap perlakuan yang diberikan kepada mereka. Jika perempuan selalu berada dalam posisi manut dalam hal apaun itu maka posisi perempuan akan selamanya menjadi rencang wingking. Hal tersebut digambarkan dalam percakapan Annisa dengan salah satu tokoh dalam kutipan berikut.
“Apanya yang tabu, Lek. Bukankah Lek Umi juga punya hak untuk memintanya?”
“Tetapi aku kan perempuan, nanti dia bilang apa?”
“Dia akan bilang bahwa Lek Umi istrinya adanlah perempuan yang jujur, berani dan terbuka.”
“Ah. Nggak mungkin. Boleh jadi ia akan bilang kalau aku ini perempuan gatal, pikirannya ke situ melulu. Ah! Nggak ah, Nis. Aku malu.”
“Malu yang tidak pada tempatnya itu lebih bahaya daripada orang yang tidak punya rasa malu, Lek.”
“Apa kau sendiri suka meminta duluan, Nis?”
“Jika aku ingin, mengapa tidak. Mas Khudhori dan pembicaraan dalam komunitasku di organisasi banyak mengubah pandangan dan membentuk cara berpikirku, Lek. Kini baru dapat kurasakan bahwa ilmu telah memberikan banyak hal pada kita, terutama hak-hak kita juga kewajiban kita yang lebih haq dan proporsional.”
“Aku tahu, Nis. Memang sejak dulu aku telah melihat kecerdasanmu saat kau mendebat kiai Ali. Dan ternyata benar. Apapun yang kau alami, semua dapat kau ambil hikmahnya. Kau tetap sekolah sekalipun sudah menikah dan kini kau masih juga kuliah. Pastilah telah banyak ilmu dan pengalaman yang telah kau kumpulkan untuk masa depanmu. Sejujurnya, aku cemburu sekali jika mengingat itu, Nis.”
“Cemburu pada yang positif itu baik, Lek. Tetapi sekarang, yang lebih penting lagi adalah tidak menutup diri untuk masuknya ilmu. Bahwa hidup itu lapisan pengetahuan dan pengalaman. Dan waktu adalah belajar. Tak ada kata terlambat dan penyesalan juga bukan jalan penyelesaian. Bukankah begitu, Lek?”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 263-264)

Kutipan tersebut menegaskan tentang cara-cara yang digunakan Annisa untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan perempuan-perempuan yang sekiranya bernasib sama dengannya. Diskusi dan obrolan-obrolan ringan yang dilakukan Annisa dengan tokoh lain dalam novel bertujuan untuk memberikan kesadaran akan arti penting posisi perempuan dalam masyarakat. Perempuan harus sadar dengan posisinya. Di sinilah kemudian perempuan memiliki keharusan, kewajiban, dan hak yang sama dengan laki-laki untuk belajar dan mendapatkan pengetahuan karena mereka juga memiliki peranan yang sama pentingnya. Abidah El Khalieqy menegaskan kembali lewat dialog-dialog yang dilakukan oleh para tokoh dalam novel bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan selain perbedaan kodrati semata.
“Apa semua pekerjaan rumah tangga, Lek Umi sendiri yang menangani? Bukankah Lek Mahmud juga suka turun tangan?”
“Paling-paling yang dikerjakan Mas Mahmud hanya menyuapi Sania kalau pagi. Selebihnya aku semua yang mengerjakan. Kau bisa bayangkan betapa capeknya, dari mencuci baju dan perabot di dapur, menyapu, mengepel, emamasak dan menyeterika. Kadang-kadang Mas Mahmud mau juga menyetrika , jika kebetulan Sania rewel dan minta bersamaku.
“Wah, Nis, tak terbayangkan repotnya punya anak tanpa PRT.”
“Sebenarnya lek Umi tidak usah terlalu repot dengan semua itu, karena sebenarnya tugas merawat anak adalah tanggung jawab suami. Jadi memandikan, menyiapkan makanan dan menyuapi bkanlah kewajiban Lek Umi. Juga misalnya lek Umi tidak berkenan untuk menyusuinya, karena terlalu berat dengan tugas-tugas rumah tangga yang lain, maka lek Mahmud harus mencari seorang ibu susu dan dia harus memberi honor yang pantas untuknya. Semua itu adalah kewajiban suami, Lek. Lagipula, bukankah dulu sebelum punya anak, lek Umi sendiri yang memutuskan ingin punya anak?”
“Memutuskan ingin punya anak, aku yang memutuskan, kau ini bicara apa, Nis?”
“Lek, lek, bukankah seorang anak itu lahir dari rahim perempuan. Dikandung sembilan bulan dan selama itu sang janin memakan saripati makanan dari ibunya. Dan al-quran mengatakan bahwa kondisi ibu hamil itu wahnan ‘ala wahnin, derita di atas derita, semakin hari semakin payah dan berat nian. Dan semua itu, perempuanlah yang merasakan dan bukan laki-laki. Maka alangkah anehnya jika yang akan mengalami semua itu perempuan dan ternyata dia tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 265-266)

Percakapan yang dilakukan tokoh Annisa tersebut memberikan keterangan yang baru terhadap pembaca bahwa perempuan wajib dilibatkan dalam keputusan untuk reproduksi. Wanita memiliki hak penuh dalam wilayah reproduksi karena yang akan menjalani semua proses tersebut adalah perempuan itu sendiri. Pengetahuan ini masih minim dimiliki oleh perempuan pada umumnya dan inilah yang menjadi misi Abidah sebagai penulis. Yakni ingin memberikan penerangan mengenai pembaca mengenai hal tersebut.
Tokoh lain yang banyak diceritakan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah Khudhori. Abidah El Khalieqy menggambarkan Khudhori dengan deskripsi sebagai berikut.
Sikap bapak memang berbeda dengan lek Khudhori. Meskipun ia bukan adik kandungnya sikap bapak lebih lembut kepadanya. Lek Khudhori adalah cucu dari keluarga neneknya ibu. Dan meskipun bapaknya telah meninggal dua tahun yang lalu, ia tetap melanjutkan sekolahnya di pondok Gontor. Hanya saja, kalau pulang selalu ke rumah kami. Dua kakaknya telah berkeluarga dan lek Khudhori lebih suka tinggal di sini, terutama untuk mendapat teman berkomunikasi bahasa Arab dengan bapak dan para ustadz di pondok. Ia tinggal di kamar yang bersebelahan dengan kamar bapak, Rizal dan Wildan. Selama hampir setahun ini, dalam masa cutinya, ia membantu mengajar di pondok serta mengajariku mengaji, nahwu sharaf dan bahasa Arab. Sementara Wildan dan Rizal lebih suka belajar mengaji di masjid dengan lek Mahmud.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 38)

Rumah tangga kedua Annisa dengan Khudhori, setelah yang membuat ia bercerai dengan Samsudin, dipenuhi dengan kebahagiaan karena hadir tanpa paksaan. Komunikasi yang dilakukan antara keduanya juga membuat hubungan suami-istri menjadi harmonis. Namun, rumah tangga kedua ini tidak bertahan lama karena maut memisahkan Khudhori dan Annisa.
Sedangkan kematian Khudhori yang merupakan ujian besar dalam rumah tangga Annisa dan Khudhori diterima Annisa dengan ikhlas dan lapang dada. Kematian yang telah menimpa Khudhori adalah takdir dari Allah SWT yang tidak bisa ditolaknya.
Tidak! Mas Khudhori tidak mati.
Aku yakin, bahwa ia hanya tidur kelelahan dan sebentar lagi akan bangun kembali. Tapi keyakinan itu selalu lenyap dalam mimpi. Sebab, hampir dua minggu aku bolak-balik ke rumah sakit. Sampai-sampai aku bermimpi yang bukan-bukan.
Di mana aku bangkit, berdiri dan berjalan menuju ruang tengah. Tetapi apa yang kulihat? Tubuh berselimutkan kain panjang itu wajahnya begitu pucat, matanya terpejam dan diam. Aroma kapur barus itu, telah menyentakkan kesadaranku akan makna semua yang diam. Para pelayat yang terus berdatangan dan tatapan mata mereka, semuanya memberitahuku arti sebuah peristiwa.
... .
Tubuh yang beku itu, menyiratkan senyum dan wajah kemenangan, menegaskan sikapnya dalam hidup yang pantang menyerah oleh gempuran fitnah dan cobaan. Dan senyum itu membakar semangat hidupku untuk tetap bangkit, berdiri dengan tegar di tengah gelombang yang menerpa, seganas apa pun. Memandanginya membuat energiku terpompa. Melihat masa depan dan Mahbub-ku, Mahbub kami yang menjernihkan mataku dari debu dan mendung dunia.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 312-314)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel Perempuan Berkalung Sorban mengkaji penghormatan terhadap posisi perempuan. Perempuan memiliki hak atas dirinya sendiri. Tanpa melupakan kodratnya, perempuan memiliki hak-hak yang seharusnya dibuat adil antara laki-laki dan perempuan. Kata sorban lebih dimaknai sebagai simbol kemuliaan, martabat, dan kehormatan yang melekat pada lelaki muslim. Di Indonesia, sorban selalu dipakai oleh para kiai, haji dan ustadz, hingga Annisa, tokoh utama dalam kisah tersebut, berusaha mendekonstruksi dan merebut makna sorban itu untuk dikalungkan di leher perempuan, seorang nyai, hajjah dan ustadzah. Bahwa pada dasarnya, manusia itu makhluk androgin, yang memiliki kualitas maskulin sekaligus feminin sebagaimana dzat Yang Maha Pencipta. Maka, ketika Annisa berhasil merebut sorban itu, ia pun tidak kemudian menggunakannya sebagai lambang kuasa bagi perempuan atas laki-laki.
Abidah mengedepankan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Bahwa wanita juga berhak atas pendidikan, kesempatan untuk berkarya, dan bahkan memiliki dirinya sendiri. Abidah menganggap budaya patriarkal masih mengakar kuat pada tatanan budaya masyarakat. Namun, keinginan untuk dapat terpenuhinya hak perempuan dijelaskan Abidah tanpa menghilangkan kodrat seorang perempuan secara lahirnya. Abidah sebagai penulis menyampaikan pencerahan terhadap pembaca karyanya dengan tidak menghilangkan hal-hal yang berasal dari Tuhan (kodrati).
Abidah El Khalieqy menggambarkan pandangannya mengenai konsep feminisme ini melalui perwatakan masing-masing tokoh, terutama tokoh utama wanita, Annisa yang ada dalam novel tersebut. Abidah El-Khalieqy tidak hanya menghadirkan gambaran kondisi perempuan yang ada dalam dominasi laki-laki, tetapi juga menggambarkan tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh kaum wanita. Bahwa, perempuan seharusnya menyuarakan hal-hal yang seharusnya menjadi haknya seperti pendidikan, persamaan kedudukan, dan penghormatan terhadap harga diri mereka sebagai sesama makhluk Tuhan. Novel Perempuan Berkalung Sorban lebih serius memfokuskan alur dan permasalahan cerita pada sosialisasi isu gender dan hak-hak reproduksi perempuan.



BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
Bertolak dari hasil analisis data dapat ditarik simpulan bahwa perwujudan pandangan feminisme yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban tampak dalam sikap dan hidup yang dimiliki oleh tokoh utama wanita, yakni Annisa. Melalui Annisa, Abidah menyampaikan konsep dan gagasan feminisme yang dimilikinya lewat percakapan dan interaksi yang dilakukan Annisa dengan tokoh-tokoh yang lain. Menurut Abidah, perempuan seharusnya menyadari hak dan kewajiban yang dimilikinya. Pengetahuan dan pendidikan yang cukup dibutuhkan agar perempuan sadar dengan hal tersebut. Tidak ada yang berbeda antara perempuan dan wanita kecuali hak dan kewajiban kodrati yang berasal dari Tuhan.

B. SARAN
Saran peneliti kepada peneliti lain, setelah penelitian ini diharapkan lebih kreatif dalam meneliti dan menelaah kajian sastra berperspektif gender dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Inovasi-inovasi lain pun diharapkan akan hadir untuk melengkapi penelitian ini.



DAFTAR PUSTAKA
El Khalieqy, Abidah. 2007a. Aku Perempuan yang hadir dan Mengalir. Yogyakarta: Majalah Jendela Jurnal Seni dan Budaya Taman Budaya Yogyakarta, edisi III Tahun 2007.

Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Pemilia, Kartika. Mei 2009. “Kritik Terhadap Konstruksi Feminisme dalam Novel ‘Perempuan Berkalung Sorban”. http: //www.inpasonline.com/ diakses 19/10/2009.

Pranoto, Naning. 2006. “Proses Kreatif dan Mengolah Kata”. http://www.rayakul-tura.net/wmview.php?ArtID=100 diakses 26/5/2010.
Rarastesa, Zita. 2001. The Image of Women in Louise Erdrich’s Love Medicine: A Feminist Approach. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Studi Amerika, Vol.5, No. 6, September 2001. Surakarta: Sastra Inggris-Fakultas Sastra UNS.

Saparie, Gunoto. 2005. “Kritik Sastra dalam Perspektif Feminisme”. http://Temp/-kritik%20satra%20feminim.htm

_____________. 2009. Luasnya Wilayah Sosiologi Sastra. Surakarta: Dewan Kesenian Jawa Tengah.
Widarmanto, Tjahjono. 2007. ”Sastra dan Kebudayaan; Interaksi Timbal Balik”. http: www.cahyonowidar.blogspot.com. diakses 23/11/2009.

Winarni, Retno. 2009. Kajian Sastra. Salatiga: Widya Sari.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

terima kasih mbak.... (rifkul)