Pesan untukmu,,,

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Anak Semua Bangsa-Pramudya Ananta Toer)

Selasa, Oktober 21, 2008

Kritik Sastra "Novel Ayat-ayat Cinta"


Karya sastra sebagai sesuatu yang indah dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia selalu bisa mencerminkan masyarakat di mana karya tersebut dilahirkan. Dan memang begitulah karya sastra yang baik seharusnya, yaitu mampu menggambarkan keadaan masyarakat di masa itu atau paling tidak sanggup memberikan sumbangan untuk masyarakat penikmatnya, baik itu yang bersifat rekreatif maupun edukatif. Karya sastra yang baik juga bisa menggambarkan bagaimana hubungan antarmanusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Ini karena dalam karya sastra seharusnya terdapat ajaran moral, sosial sekaligus ketepatan dalam pengungkapan karya sastra

Begitu pula yang ingin disampaikan oleh Habiburrachman El Shirazy dalam novelnya yang berjudul Ayat-ayat Cinta. Novel yang kemudian menjadi fenomena tersendiri dalam perjalanan karya sastra Indonesia, terutama yang beraliran islami, karena penjualannya mampu mengalahkan buku-buku yang digandrungi, seperti Harry Potter ini mengusung tema cinta islami yang dihiasi dengan konflik-onflik yang disusun dengan apik oleh penulisnya. Novel ini mengisahkan tentang perjalanan cinta antara 2 anak manusia, Fahri sebagai pelajar Indonesia yang belajar di Mesir, dan Aisha, seorang gadis Turki. Meskipun mengusung tema cinta tidak lantas membuat novel ini membahas cinta erotis antara laki-laki dan wanita. Banyak cinta lain yang masih bisa digambarkan, seperti cinta pada sahabat, kekasih hidup, dan tentu saja pada cinta sejati, Allah SWT. Perjalanan cinta yang tidak biasa digambarkan dengan tidak biasa pula oleh Habiburrachman.

Nilai dan budaya islam sangat kental dirasakan oleh pembaca pada setiap bagiannya. Bahkan, hampir di tiap paragraf kita akan menemukan pesan dan amanah. Ya, katakana saja paragraf yang sarat dengan amanah. Tapi, dengan bentuk yang seperti itu tidak kemudian membuat novel ini menjadi membosankan untuk dibaca karena penulis tetap menggunakan kata-kata sederhana yang mudah dipahami dan tidak terkesan menggurui. Gaya penulis untuk mengungkapkan setiap pesan justru menyadarkan kita bahwa sedikit sekali yang baru kita ketahui tentang Islam.

Latar yang dilukis sempurna

Hal lain yang pantas untuk diunggulkan dalam novel ini adalah kemampuan Habiburrachman untuk melukiskan latar dari tiap peristiwa, baik itu tempat kejadian, waktu ataupun suasananya. Ia dapat begitu fasih untuk menggambarkan tiap lekuk bagian tempat yang ia jadikan latar dalam novel tersebut ditambah dengan gambaran suasana yang mendukung sehingga seakan-akan mengajak pembaca untuk berwisata dan menikmati suasana Mesir di Timur Tengah sana lewat karya tulisannya.

Bukan hal yang aneh kemudian ketika memang ‘Kang Abik’, begitu penulis sering dipanggil, mampu untuk menggambarkan latar yang bisa dikatakan sempurna itu karena ia memang beberapa tahun hidup di Mesir karena tuntutan belajar. Tetapi, tidak menjadi mudah juga untuk mengungkapkan setiap tempat yang dijadikan latar, bahkan oleh orang Mesir sendiri, jika memang ia tidak memiliki sarana bahasa yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan.

Alur cerita juga dirangkai dengan begitu baik. Meskipun banyak menggunakan alur maju, cerita berjalan tidak monoton karena banyak peristiwa yang tidak terduga menjadi kejutan. Konflik yang dibangun juga membuat novel ini layak menjadi novel kebangkitan bagi sastra islami setelah merebaknya novel-novel teenlit. Banyak kejutan, banyak inspirasi yang kemudian bisa hadir dalam benak pembaca, atau bahkan bisa menjadi semacam media perenungan atas berbagai masalah kehidupan.

Karakter tokoh yang terlalu sempurna

Satu hal yang ditemukan terlihat janggal dalam novel ini adalah karakter tokoh, yaitu Fahri yang digambarkan begitu sempurna dalam novel tersebut. Maksud penulis di sini, mungkin ia ingin menggambarkan sosok manusia yang benar-benar mencitrakan Islam dengan segala kebaikan dan kelembutan hatinya. Tapi menjadi janggal jika kemudian sosok yang digambarkan begitu sempurna hingga sulit atau bahkan tidak ditemukan kesalahan sedikitpun padanya.

Jika dibandingkan dengan karya sastra lama milik Tulis Sutan Sati, mungkin akan ditemukan kesamaan dengan karakter tokoh Midun dalam Roman Sengsara Membawa Nikmat yang berpasangan dengan Halimah sebagai tokoh wanitanya. Dalam roman tersebut, Midun juga digambarkan sebagai sosok pemuda yang sempurna dengan segala bentuk fisik dan kebaikan hatinya. Hanya saja, di sini penggambarannya tidak menggunakan bahasa-bahasa yang langsung menunjukkan kesempurnaan tersebut sehingga tidak terlalu kentara. Ini diluar bahasa karya sastra lama yang cenderung suka melebih-lebihkan (hiperbol). Perbedaan yang lain adalah tidak banyak digunakannya istilah-istilah islami dalam roman tersebut daripada novel Ayat-ayat Cinta.

Pembaca yang merasakan hal ini pasti akan bertanya-tanya adakah sosok yang memang bisa sesempurna tokoh Fahri tersebut. Meskipun penggambaran karakter tokoh diserahkan sepenuhnya pada diri penulis tapi akan lebih baik jika karakter tokoh yang dimunculkan tetap memiliki keseimbangan. Dalam arti, jika tokoh yang dimunculkan memang berkarakter baik maka paling tidak ada sisi lain yang dimunculkan tapi tentu saja dengan porsi yang lebih kecil atau bisa diminimalisasikan tapi jangan sampai karakter ini dihilangkan karena pada kenyataannya tidak ada sosok yang sempurna, selain Rasulullah.

4 komentar:

tamam ayatulah mengatakan...

oke juga pandangan Anda, sahabat.
saya juga punya pandangan ttg novel ini. Utamanya, terkait dengan novel serupa tak sama "perempuan berkalung surban"
yang saya juga tulis di blog. Gmn kalo kita diskusi dan sharing mengenai dua novel ini? Menarik sekali kayaknya...


bagaimana pandangan anda ttg "perempuan berkalung surban"??

Unknown mengatakan...

GOOD!
saya salut terhadap semangat kalian berdua di dunia sastra.
khusus utk Syifa, I like your kritik...

anton kurnia mengatakan...

Kritik syariat dalam novel ayat-ayat cinta 2

Ayat-ayat cinta adalah novel yang fenomenal, setelah rilisnya ayat-ayat cinta 1, dan banyak dari kalangan santri yang mengkritik novel tersebut, karena adanya sebuah aqidah agama yang tidak sesuai dengan syara’, kini terbitlah novel yang meneruskanya, yakni ayat-ayat cinta 2.
Begitu tenarnya novel ini, bahkan baru 5 bulan sudah 4 kali terbit, seperti novel yang pertama, novel inipun juga mengarah pada hal yang kurang tepat yang di kemukakan penulis.
Pada halaman 142 pada novel ini, telah di muat sebuah tulisan yang dapat merusak akidah orang awam, dan jelas pembaca novel kebanyakan adalah orang yang masih awam akan agama, termasuk diriku ini.
“bagaimana kalian akan menegakkan khilafah, sedangkan kalian menyatukan hari raya saja tidak bisa!”
Kata-kata syaikh itu tampak sederhana, namun mengandung fiqih realitas dan fiqih social yang dalam dan luas. “kalian menyatukan hari raya saja tidak bisa!” . padahal idul fitri itu terjadi setelah umat ini di gembleng selama satu bulan penuh pada bulan ramadhan, digembleng lahir dan batin. Di gemleng untuk bersatu. Sholat jamaah bersama, buka puasa bersama, iktikaf bersama. Alangkah indahnya. Namun, begitu selesai Ramadhan untuk syiar bersama dalam hari raya idul fitri bersama ternyata gagal, “kalian menyatukan hari raya saja tidak bisa!”
Puasa adalah ibadah yang di jauhkan dari riya’, hanya Allah yang tahu,

Tanpa mengurangi rasa kagum dan takdzimku pada pengarang.
Dan seperti apa yang di sampaikan ketua MUI dalam sambutan beliau atas karya ini, “ini bukan sekedar novel, tapi ini adalah sebuah pemikiran yang besar”, dan karena itulah, pemikiran yang dapat membahayakan pembaca yang masih awam, terutama dalam masalah aqidah.
Dalam masalah di atas, penulis seolah-olah menyarankan kita agar menghargai pendapat, dan kita juga boleh mengikuti suatu pendapat, padahal sudah pasti sebagian pendapat itu ada yang keluar dari jalur, dan dengan mudahnya beliau mencontohkan masalah penetapan hari raya yang di kiaskan dengan masalah yang di hadapi para sahabat tentang mengqosor.
Jika kita lebih jeli, maka di situ sudah beda pembahasan. Padahal dalam masalah penetapan hari raya itu adalah sesuatu yang pasti, dan itu akan mempengaruhi masalah kewajiban puasa. Sedangkan pengilhakan yang beliau pakai adalah masalah qosor sholat. Jumhurul ulama’ telah sepakat bahwa mengqosor sholat itu hanya sebuah keafdholiyahan/keutamaan.
Maka kurang tepat jikalau beliau memakai dasar sedemikian rupa. Dan beliau seolah-olah memberi pemikiran kepada kita, bahwa kita lebih baik mengikuti pendapat lain, dengan tujuan is’arul islam. Jika kita analog dalam masalah lain, contoh dalam aqidah, pasti akan sangat membahayakan pembaca yang mesih awam akan aqidah.
Contoh lain : jika kita memiliki golongan ahlussunnah yang minoritas di negeri syi’ah, demi sebuah isy’arul islam, syiah merayakan hari dimana sayyidina Husain di bunuh dengan cara melukai diri mereka,dan syi’ah yang melaknat para sahabat. Sedangkan kita ikut pada pendapat yang mereka terapkan, maka aqidah kita lama ke lamaan akan luntur.
Ini semua terurai dengan tanpa mengurangi rasa takdzim sekaligus kagum terhadam al aliim pengarang
Wassalamualaikum waroh matullahi wa barokatuh
By : ibnu banna email : ibnubanna7@gmail.com fb : anton kurnia / anton_wakilrakyat@yahoo.co.id

Unknown mengatakan...

Mohon maaf izin bertanya,ini kritik sastra menggunakan pendekatan apa ya?