Pesan untukmu,,,

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Anak Semua Bangsa-Pramudya Ananta Toer)

Rabu, Oktober 27, 2010

Untuk saudaraku di sana

rasanya ingin sekali berlari ke sana. tulisan pendek ini tidak lebih dari sekedar kata yang ingin kukataka kepada mereka tetapi jarak tidak memungkinkannya. rasanya ingin sekali berada di tengah-tengah mereka. mendengarkan cerita mereka atau sekedar menghapus air mata yang jatuh dan membasahi pipi mereka....

untuk saudaraku di sana,,.
lereng merapi, pulau mentawai, wasior, sikka, majene sulawesi, penduduk kampung ciledug, di mana saja di bagian negeri ini yang sdang tertimpa bencana. semoga Rabbi menguatkan kalian saudaraku...semoga Allah mengganti tangis kalian dengan kebahagiaan yang berlimpah. semoga Allah memberi kesabaran yang berlebih untuk dada kalian agar kalian kuat untuk menahan setia ujian yang diberikan oleh penguasa dunia ini.

ya Rabb, Tuhan kami....
kuatkankan saudaraku yang ada dalam titik-titik itu. jaga mereka agar selalu ingat menyebut asmaMu yang agung dan indah itu. berikan pula kemampuan kepada kami yang ada di sini untuk selalu menyukuri nikmatMu yang senantiasa berlebih mengalir kepada kami....

Rabbi,,,
mohon selalu temani kami,,
mohon dengan sangat....
mohon dengan sangat....
mohon dengan sangat.
Amin....

Minggu, Agustus 29, 2010

Galaksi Kinanthi: Sekali Mencintai Sesudah itu Mati?



"Beginilah cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta; Engkau bertemu seseorang lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada disekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh dan terbelah ketika dia menjauh. keindahan adalah ketika engkau merasa ia memerhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan akalmu. Engkau mulai tersenyum, dan menangis tanpa mau disebut gila."

Tulisan ini bukanlah sebuah resensi buku. Hanya saja, ketika pada halaman terakhir ketika saya menyelesaikan buka ini ada keinginan untuk membuat tulisan mengenai buku ini. Novel pertama dari Tasaro GK, seorang penulis dari Gunung Kidul, Yogyakarta yang berhasil say baca dari meminjam seorang teman. Saya langsung tertarik untuk membacanya ketika melihat kutipan yang ada di bagian cover novel ini.

“Kinanthi, bagiku Galaksi Cinta tidak akan pernah tiada. Ketika malam tak terlalu purnama, lalu kau saksikan bintang-bintang membentuk rasi menurut keinginan-Nya, cari aku di Galaksi Cinta. Aku akan ada di sana. Tersenyumlah... Allah mencintaimu lebih dari yang kamu perlu.” (Ajuj)


Begitu kutipan yang ada dalam cover novel tersebut. Bukan. Semata-mata ini bukan novel cinta. Novel ini bukanlah novel yang secara dominan menceritakan kisah cinta antara Kinanthi dan Ajuj (dua orang teman masa kecil yang kemudian terpisah karena skenario Tuhan selama hampir dua puluh tahun). Tetepi, lebih jauh novel ini membawa isu-isu yang lumayan berat untuk disikusikan dan yang sekarang ini cenderung menjadi isu global. Traficking, penjualan manusia khususnya wanita adalah salah satunya. Global warming sekit dibicarakan sebagai masalah yang cukup menyentil. Dan yang terlebih kita akan melihat Indonesia dari sisi yang berbeda. Sebuah latar kehidupan sosial dan kebudayaan di Gunung Kidul sana. Novel ini pun sarat dengan ungkapan-ungkapan satire tentang sebuah negeri bernama Indonesia.

Tasaro GK mampu membuat kalimat-kalimat terpilih untuk dituliskan dalam novel ini. Hal-hal yang berbau ilmiah disampaikannya dengan bahasa yang cerdas. Istilah-istilah kedokteran, politik, agama, budaya digunakannya dengan takaran yang pas. Tidak berlebihan yang akan membuat pembaca pusing dan melewatinya untuk dibaca. Penulis novel ini menggunakan semua istilah itu untuk memperkuat penginderaan pembaca tentang hal yang mereka baca. Kekuatan diksi yang dipilihnya terutama sangat terasa ketika Tasaro menceritakan tentang langit dan isinya. tentang galaksi dan rasi-rasi yang menghiasi langit ketika malam. Sedangkan permasalahan yang berhubungan dengan area perasaan dan hati disampaikannya dengan sepenuh rasa. Tasaro GK kemudian berubah menjadi orang yang begitu romantis dan melankolis. Maka, jangan salahkan penulisnya jika tanpa sengaja air mata pembaca keluar begitu saja ketika membaca setiap larik dalam novel ini. Setidaknya begitulah yang saya rasakan sendiri...^^

Novel ini menceritakan tentang perjuangan Kinanthi untuk membuat dirinya berada di puncak kesuksesan setelah berkali-kali ia menjadi korban aksi penjualan manusia dari kampungnya sendiri hingga negeri-negeri Aran dan terakhir di Amerika akan membuat anda menjadi terkagum-kagum. Bahwa skenario yang telah dituliskan Tuhan tidak pernah salah. Hanya saja, kita tidak boleh menyerah begitu saja. Skenario itu indah untuk dijalani meski untuk menjalaninya kita perlu terjun bebas ke jurang. Tetapi harus bangkit kemudian untuk mencapai puncak kesuksesan.

Jika Anda telah banyak membaca banyak kisah tentang percintaan, Romeo-Juliet, Joko Tarub-Nawang Wulan, Sampek-Engtay, atau Laila-Majnun, maka buku ini seharusnya akan melengkapi kisah-kisah itu. Tentu saja dengan cara yang sangat berbeda. Tidak melulu cinta, karena Anda pun akan mengalami proses pembukaan cakrawala. Saya yakin, Anda akan menjadi cerdas karenanya. Tidak akan habis banyak waktu Anda untuk menghabiskan lembar demi lembar buku ini. Saya hanya menghabiskan kurang lebih 12 jam saja untuk menghabiskan 434 halaman yang dimilikinya. Anda akan mengenal begitu banyak budaya. Gunung Kidul, Bandung, Jakarya, Riyadh, Kuwait, Miami, New York, Washington DC dampai Great Plains yang eksotis dengan panoramanya. Terakhir, Anda juga akan disuguhi dengan foto beberapa pantai yang ada di pinggiran Gunung Kidul. Akan semakin membuat Anda menyentuh laut di sana, ikut menyelami kisahnya...

Selasa, Agustus 24, 2010

ingatku aku...

ingatkan aku,,
jika telah terlampau berlebih aku mencintaimu...

ingatkan aku,,
jika telah berlebihan aku memperhatikanmu,,,

beritahu saja aku,,
bahwa kau pun hanya makhluk biasa sepertiku...

ingatkan aku,,
bahwa suatu saat yang entah kau akan dan pasti pergi meninggalkanku...
dan untuk itu aku harus bersiap terlebih dahulu

....
dan untuk itu,,
aku harus sederhana saja dalam mencintamu....

Selasa, Agustus 03, 2010

Mengenang WS. Rendra

Sajak Sebatang Lisong – W.S. Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.

Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya

dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,

Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.


19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi

Selasa, Juli 27, 2010

Tentang Soetarti-Rusmini


Dua nama ini ramai dibicarakan oleh beberapa program berita di stasiun-stasiun televisi sejak masalah yang menimpanya pada Desember tahun lalu. Keduanya adalah janda pahlawan yang tekena kasus sengketa dengan pegadaian. Pegadaian sebagai lembaga yang menggugat telah melaporkan keduanya kepada pihak pengadilan dengan alasan keduanya telah menyerobot rumah dan tanah yang menjadi hak pegadaian. Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa para almarhum suami mereka mendapat title pahlawan. Kedua almarhum adalah masuk dalam tentara PETA yang merupakan cikal bakal tentara Republik ini. Keduanya pun dimakamkan di salah satu makam pahlawan di Jakarta sana. Tercatat jelas, ada 12 penghargaan dan tanda jasa pahlawan untuk mereka. Namun, di Indonesia sepertinya hal itu tidak bernilai apa-apa.
Kedua janda, Soetarti dan Rusmini yang mendapat tuduhan telah meyerobot tanah serta rumah itu mengalami kekalahan dengan pihak pegadaian di tingkat pengadilan negeri. Tidak kurang usaha mereka hingga mereka berdua membawa kasus tersebut ke tingkat Mahkamah Agung dengan melakukan kasasi. Beberapa ormas dan elemen masyarakat kemudian turut hadir mendukung usaha mereka. Gerakan “Hati Waras” salah satunya. Gerakan ini mengajak masyarakat dan para keluarga tentara khususnya agar mereka mendukung dan membantu Soetarti-Rusmini. Logika sederhana yang diberikan oleh penggagas gerakan ini -maaf saya lupa siapa namanya, yang pasti dia adalah salah satu artis pada era 80-an- adalah bahwa apa yang akan terjadi seandainya pada keluarga mereka (para tentara yang sekarang masih menjabat) diperlakukan hal yang serupa pada puluhan tahun mendatang ketika para tentara sudah pensiun atau meningal dunia. Nyatanya, gerakan yang membawa nafas simpati dan empati memang masih cukup efektif di negeri ini. Dukungan yang cukup besar hadir untuk perjuangan Soetarti-Rusmini dan menjadi semangat tersendiri bagi mereka.
“Tidak ada Republik ini kalau tidak ada pahlawan!!!” Begitulah yang diungkapkan oleh salah satu Sejarawan kita. Miris sekali memang jika cerita para janda pahlawan itu berakhir dengan keputusan bahwa mereka harus menghabiskan waktu dua tahun dalam jeruji besi atas ‘ulah’ mereka yang tidak mau meninggalkan rumah yang telah mereka diami selama puluhan tahun. Begitulah, waktu dua tahun dalam jeruji besi memang menjadi ancaman buat mereka jika mereka kalah dalam putusan pengadilan pada hari ini (27/7). Sebuah pengadilan yang konyol. Istri pahlawan kita dipidanakan karena perkara yang seharusnya dapat diselesaikan lewat usaha kekeluargaan.
Bukan tanpa usaha jika akhirnya Soetarti-Rusmini harus memperkarakan masalah ini sampai tingkat ini. Pada 2008 lalu keduanya sudah mengajak berunding dan mengambil solusi bahwa mereka akan membeli saja tanah dan rumah tersebut jika mereka sudah tidak bisa menempatinya lagi karena alasan pegadaian membutuhkan dana. Tapi, keinginan tersebut tidak diindahkan oleh pihak pegadaian. Isu yang beredar selanjutnya adalah bahwa tanah tersebut akan digunakan sebagai perumahan elite. Sebuah alasan yang menurut saya sangat tidak berperasaan melihat bahwa kedua janda tersebut memiliki nilai yang lebih dari sekadar uang puluhan atau ratusan juta. Mereka memiliki kenangan atas tempat tersebut. Saya pikir, ini adalah nilai yang tidak bisa dikalahkan oleh apapun. Terkesan sentimental memang.
Dan pengadilan telah memutuskan siang tadi, sekitar pukul 12 siang, bahwa Soetarti divonis bebas dari tuduhan yang diberikan. Pihak pegadaian pun diminta untuk melakukan rehabilitasi atas nama baik Soetarti. Rusmini masih menunggu keputusan sidangnya. Keinginan masyarakat –atau mungkin saya pribadi- adalah bahwa Rusmini memiliki nasib yang sama dengan Soetarti. Divonis bebas dengan rehabilitasi nama dan mereka dapat hidup dengan tenang di usia senja mereka di rumah yang telah mereka tinggali selama ini sambil mengenang masing-masing suami tercinta. Mengingat getir perjuangan yang telah mereka alami demi berdirinya Republik ini. Tidak terbayangkan seandainya hukuman dua tahun kurungan penjara benar-benar dijatuhkan kepada mereka berdua. “Saya akan memindahkan jenazah suami saya dari makam pahlawan. Dan menguburnya kembali di Solo. Tidak pantas kiranya jika istrinya dicap sebagai seorang pidana sedangkan suaminya adalah pahlawan. Juga akan saya kembalikan tanda jasa yang dimiliki suami saya kepada negara melalui presiden”. Kurang lebihnya seperti itulah yang diungkapkan Soetarti kalau putusan pengadilan tidak berpihak padanya. Ungkapannya juga mewakili Rusmini yang juga akan memindahkan jenazah suaminya ke Banyumas jika ia mendapat hukuman penjara.
Miris sekaligus merinding yang saya rasakan ketika mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut janda para pahlawan itu. Seperti inikah bangsaku??? Tidak terbayangkan jika simbah putriku mendapatkan perlakuan yang serupa. Ya, almarhum simbah kakung juga seorang pejuang dulu. Meski namanya tidak diabadikan sebagai pahlawan Republik ini. Tapi simbah ikut berjuang dalam upaya penyatuan Republik ini. Pun simbah sangat kecewa ketika Timor Timur lepas dari badan Republik ini karena timah panas dulu pernah masuk ke tubuhnya demi usaha penyatuan daerah itu ke tubuh NKRI. Berpisahnya Timor Timur dari negara ini menjadi kisah sedih tersendiri bagi simbah kakung.
Negeri ini bernama Indonesia. Salah satu founding father negara ini, Ir. Soekarno pernah menyebutkan bahwa bangsa yang besar adalah yang mampu menghargai jasa pahlawannya. Maka, patut kita pertanyakan seberapa besar jiwa kita? Pasti masih terlalu kerdil hingga untuk menghormati para pahlawan lewat keluarganya yang masih hidup saja kita harus belajar. Catatan penting, entah ini adalah ‘pikiran buruk’ saya atau entahlah mau diberi nama apa. Banyak sindiran dan kata-kata pedas diberikan kepada pihak pengadilan dan para jaksa penuntut atas kasus tersebut. Tak terbayangkan lagi juga seandainya vonis bebas tidak diberikan pengadilan terhadap dua janda pahlawan tersebut. Maka, pengadilan dan para jaksa tinggal menunggu vonis penilaian dari masyarakat atas kinerja mereka yang makin tidak menggunakan nurani sebagai pedomannya!!!

Maru, selamat datang untuk membuat perubahan!!!


Mahasiswa. Sapaan ini akan menjadi mesra dan telah melekat pada teman-teman mahasiswa baru. Setiap tahun, ratusan bahkan ribuan pemuda berebut untuk mendapatkan posisi yang sama dan sekarang teman-teman yang duduk di kursi inilah yang mendapatkanya. Berbanggalah karena posisi ini adalah yang diinginkan oleh ribuan pemuda lagi yang ada di luar sana yang gagal bersaing karena kurang beruntung atau keterbatasan biaya pendidikan yang dimilikinya. Berpikirlah dan bergeraklah karena posisi ini menuntut setiap orang yang mendudukinya untuk melakukan sesuatu dan berbuat. Membuat sebuah perubahan, membuat sebuah perbaikan. Kumpulan sebuah-sebuah inilah yang nanti akan terkumpul menjadi satu dari ribuan mahasiswa yang akan membuat perbaikan dan kemajuan yang besar bagi Indonesia.
Posisi mahasiswa jelas diakui masyarakat kita sebagai sebuah posisi yang memiliki nilai tawar yang tinggi. Artinya, pada posisi ini mahasiswa dapat mempengaruhi kebijakan atau sebuah aturan jika tidak sesuai dan tidak memihak rakyat. Itu jika kita membicarakan permasalahan posisi tawar dari sudut pandang politik. Tetapi, mahasiswa memang tidak akan banyak memiliki banyak jarak dengan lingkup ini seharusnya. Sejak awal kemunculannya, mahasiswa begitu dekat dengan peran dan pergerakan politik. Di negara mana saja jika kita mau melakukan kilas balik sejarah.
Mahasiswa. Posisi ini memang jelas berbeda jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan yang telah dilalui oleh para pemuda pada beberapa tahun sebelumnya. Jika pada jenjang sebelumnya, para siswa banyak disibukkan dengan pertemuan di kelas, PR, tugas, ulangan, maka hal yang sama sangat mungkin juga akan ditemui pada jenjang perkuliahan. Tetapi, tentu saja orientasi harus sudah mulai bergeser. Manajemen waktu yang apik sangat diperlukan agar mahasiswa tidak terjebak pada rutinitas yang kalau boleh dikatakan “monoton” itu. Jika masih sama, maka pemuda yang berada pada posisi mahasiswa pun tidak akan pandai melakukan peran politik dan sosialnya karena sesungguhnya peran inilah yang menjadi penting bagi diri mahasiswa. Kaum intelek yang peduli dengan sesamanya, tidak hanya sibuk dengan kepentingan dirinya yang hanya berkutat dengan modul dan buku-buku kuliah agar nilai kuliahnya mendapatkan predikat A.
Tidak. Bukan berarti tulisan ini membuat teman-teman yang sekarang berstatus mahasiswa berpikir bahwa belajar tidak lagi menjadi kewajiban. Belajar adalah sebuah kebutuhan untuk manusia dan tentu saja mahasiswa sangat membutuhkannya. Belajar bisa dilakukan di mana saja dan sebuah teori tentang belajar mengatakan bahwa lingkungan adalah tempat dan sumber belajar yang terbaik. Dalam kondisi ini, mahasiswa dapat belajar dari lingkungan sekitar. Permasalahan masyarakat seharusnya membuat mahasiswa peka dan berpikir untuk memberikan solusi atasnya.
Sangat menyedihkan jika ternyata mahasiswa terjebak dan terperangkap pada padatnya susunan kurikulum saat ini. Kurikulum padat, praktikum sampai sore, tugas yang setumpuk, kuis tiap hari. Semuanya tidak layak untuk dijadikan alasan dan kambing hitam bahwa sekarang mahasiswa sulit memiliki waktu untuk berorganisasi, untuk mendapatkan life skill yang lain. Mau menyalahkan siapa? Sistem pendidikan kita sudah seperti ini. Mahasiswa yang tetap harus mencari celah untuk berkegiatan, untuk berorganisasi. Karena sekali lagi mahasiswa hadir untuk bergerak, untuk berbuat, untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Maka, selamat datang untuk mahasiswa baru 2010. semoga kalian akan menemukan hakikat diri kalian di kampus hijau ini. Salam!!!

*Tutut Dwi Handayani
Bastin’06, masih menunggu waktu wisuda….
Tulisan pendek untuk adik-adikku di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS.

SEMBURAT CINTA FAJAR


“Maafkan Arini, Mas… Bukan maksud Arini untuk mengkhianati Mas. Tapi beginilah aku”.
Gadis itu terisak perlahan meski air mata tidak mengalir dari dua matanya. Kepalanya dari tadi menunduk tidak berani melihat orang yang menjadi lawan bicaranya. Sedangkan Fajar yang dari tadi diajak bicara pun hanya diam. Ada jarum-jarum yang seperti menahannya untuk menjawab atau sedikit mengomentari perkataan gadis yang ada di sampingnya.
Suasana hening dan hanya detak jam saja yang meriuhkan suasana.
“Dan ternyata bukan adek yang selama ini mas cari. Aku gagal lagi!”, suara Fajar memecah suasana di ruang tamu yang lumayan luas itu. Arini yang ada di sampingnya makin menundukkan kepalanya. Mungkin sekali ia menahan tangis agar tidak pecah. Dia sadari bahwa kali ini kesalahan memang telah dibuatnya. Membuat luka pada sebuah hati yang sempat ingin meminangnya.
“Mas memang kecewa dek, tapi akan lebih kecewa lagi jika mas tahu adek berbohong hanya untuk membahagiakan mas. Jadi, pengumuman yang sudah dibuat sejak sebulan lalu bahwa kita akan menikah harus segera dikonfirmasi ke teman-teman dan saudara. Untunglah undangan belum sempat dipesan untuk dicetak”, Fajar lancar melanjutkan potongan kalimatnya yang terpisah tadi. Tapi tidak begitu dengan hatinya. Hatinya remuk redam. Ini adalah kesekian kalinya cintanya tidak segera dapat ia labuhkan ke dalam mahligai pernikahan. Hubungan yang ia dambakan akan mampu menemaninya dalam hidup.
***
Fajar tidak bisa memejamkan matanya walau sebentar di dalam bis. Perjalanan ke kota Brebes kali ini menghabiskan tenaga dan pikirannya. Tadi pagi ia berangkat dengan semangat bahwa ia akan mampu memperbaiki hubungan antara dia dan Arini yang merenggang beberapa akhir ini. Tapi yang terjadi ternyata sebaliknya. Hubungan tidak hanya merenggang tapi ternyata meminta untuk diakhiri.
Ya, satu bulan yang lalu ia telah ‘nembung’ bapak ibu arini di rumah dan semuanya sepakat. Dalam waktu kurang dari dua bulan dia akan diijinkan untuk menyunting Arini. Membawa Arini ke rumahnya sebagai permaisuri. Menjadikannya sebagai wanita yang akan sangat dicintainya. Tapi selama masa penantian itu, satu minggu setelah peristiwa yang membahagiakannya hubungan antara mereka berdua merenggang. Arini sulit sekali dihubungi olehnya. Karena penasaran dan kekhawatiran yang ada di hatinya ia memberanikan diri untuk datang kembali ke kota Brebes, menemui wanita yang dicintainya.
Tapi sepertinya benang jodoh belum mampu menghubungkan mereka berdua. Seperti karang yang pecah karena ombak, begitulah hati Fajar. Tak pernah disangka bahwa hati Arini telah berubah. Satu minggu setelah Fajar datang ke rumahnya untuk kali yang pertama hadir seseorang dari masa lalu Arini. Dan pemuda inilah yang telah membuat hati Arini berubah. Ya, dan hati memang mudah sekali untuk dibolak-balik. Perkara ini bukannya tidak diketahui oleh orang tua Arini. Orang tua arini juga mengingatkan dengan statusnya sekarang. Tapi Arini memang lebih memilih pemuda dari masa lalunya itu. Meninggalkan pemuda lain bernama Fajar yang sudah memberikan satu harapan indah kepada keluarganya di rumah bahwa ia akan pulang dengan membawa kabar dari wanita yang diimpikannya.
Semuanya telah berubah. Dan ini untuk ke sekian kalinya. Ketika hatinya mulai tertambat pada seseorang harus dilepaskan lagi tali itu untuk berlayar mencari separo bagian yang akan melengkapkan hidupnya.
***
Pagi itu Fajar pergi dengan perasaan yang berbunga karena restu dari orang tua untuk meminang seorang perempuan yang akan menemani jiwanya akhirnya didapatinya. Sebelumnya, ia mengalami kesulitan untuk mendapatkan restu itu. Simbah putri yang sangat dicintainya selalu menolak keinginan Fajar untuk segera menikah. Selalu saja hal yang sama disampaikan oleh perempuan berusia senja itu kepada Fajar.
“Kamu itu jangan menikah dulu, Tole! Adek-adekmu itu masih butuh bantuanmu untuk menyelesaikan sekolah mereka. Kalau kamu langsung menikah pasti konsentrasimu untuk keluarga ini terpecah…”. Selalu begitu yang dikatakan sang nenek ketika Fajar meminta restu darinya. Tapi pagi ini Fajar memberanikan diri untuk membicarakan hal yang sama lagi dengan neneknya sebelum Fajar memutuskan pergi dari rumahnya dan berangkat menuju kota gadis yang diimpikan untuk dipersuntingnya. Restu dari kedua orang tunya belum cukup membuat dia mantap sebelum restu dari simbah terkasih ada di genggam tangannya juga.
“Simbah, semalam Fajar sudah dapat restu dari Ibu-Bapak untuk pergi ke rumah Laras. Fajar ingin mengatakan keinginan Fajar untuk meminangnya, Mbah. Kali ini tidak hanya kepada Laras, tetapi juga kepada orang tuanya, keluarganya. Apa Simbah masih juga belum memberikan restu kepada Fajar untuk menikah?”, Fajar mengurai keinginannya panjang lebar dengan bahasa yang disusunnya dengan hati-hati. Dia takut Simbahnya tersinggung karena keinginannya yang selalu saja sama selama dua tahun terakhir ini. Ya, hubungan antara Fajar dan Laras memang sudah terjalin selama kurang lebih lima tahunan. Dua tahun terakhir keinginan Fajar untuk menyunting Laras telah bulat, tetapi selalu saja terhalang masalah yang timbul karena belum adanya restu atau hati Laras yang merasa kurang mantap.
Larasati nama gadis itu. Gadis sederhana berparas manis yang membuat hati Fajar tertambat padanya. Wajahnya yang manis membuat Fajar harus rela bersaing dengan beberapa pemuda yang lain untuk memperebutkan hati Laras. Sikapnya yang sederhana dan keibuan meskipun terkadang kekanak-kanakan membuat Fajar mencintainya. Cinta yang hebat karena ketika pertama kali mendapatkannya Fajar harus menyembuhkan terlebih dahulu luka di hati Laras. Luka yang pernah diberikan oleh pemuda sebelumnya yang pernah memasuki hati Laras.
Dan terbukti bahwa Fajar mampu menyembuhkan luka itu. Namun, Fajar dapat melihat bahwa Laras tidak pernah mencintainya seperti Fajar yang mencintainya. Yang Fajar ketahui adalah Laras belajar untuk mencintainya. Terkadang ia merasa jengah karena Laras seperti menganggap hubungan mereka seperti hubungan ewuh pekewuh. Laras hanya ingin membalas kebaikan Fajar terhadapnya. Tapi perasaan itu ditepisnya sendiri. Peribahasa trisno jalaran soko kulino masih diyakininya. Balasan untuk cintanya mungkin sekali akan didapatinya sepanjang berjalannya waktu.
Lamunan Fajar melambung tinggi pada gadis bernama Laras sehingga simbah putri yang ada di depannya seperti tak terlihat olehnya. Pandangan matanya kosong.
“Kamu benar-benar mencintainya, Tole??”, pertanyaan simbah membuyarkan lamunan Fajar. Meyakinkan bahwa ia masih di rumahnya sendiri.
“Eh… Apa Mbah? Iya, Mbah…Fajar sangat ingin menjadikan Laras sebagai menantu di rumah ini”, tergagap Fajar menjawabnya. Jiwanya yang tadi melayang dipaksakan sendiri olehnya untuk kembali dan menemui simbahnya terlebih dahulu.
“Baiklah kalau begitu, bawalah restu simbah bersamamu. Segeralah tembung si Laras situ sama orang tuanya. Simbah juga menyukainya, dia gadis yang baik. Semoga dia memang jodohmu, Le..”. Jawaban simbah membuat hati Fajar serasa diguyur air yang membuatnya sangat segar. Seperti menemukan oase di tengah sahara. Segera Fajar menciumi tangan simbah untuk menyatakan kegembiraannya.
“Matursuwun, Mbah. Insyaallah, semoga Laras memang jodoh Fajar”, senyum yang sangat ikhlas merekah di bibir Simbah yang memantul pada bibir Fajar. Kebahagiaan yang menyebar.
Setelah berpamitan dengan keluarga, Fajar mengambil motor dan memulai perjalanannya menuju kota Jepara. Kediaman Laras dan keluarganya. Senyum tersungging saja di bibirnya. Senyum yang seperti ingin ia bagi dengan orang-orang yang lalu lalang di jalan raya dengan aneka kebutuhan dan tujuan yang berbeda. Seperti ingin ia katakana pada dunia bahwa restu yang dimilikinya sekarang akan membuat ia mudah menyunting wanita yang diimpikannya, yang akan menggenapi hidup dan melengkapi dirinya.
***
“Semarang akhir… Semarang akhir…”, kondektur berteriak untuk memperingatkan para penumpang bahwa bus telah sampai di Terminal Terboyo. Fajar terkesiap, ternyata sepanjang perjalanan pulang dari kota kediaman Arini ia melamunkan sesuatu yang telah terjadi pada beberapa waktu lalu. Keadaan yang sama yang ia alami beberapa bulan sebelumnya ketika ia ingin menyunting Larasati, wanita impiannya sebelum Arini.
Larasati. Gadis impian itu yang telah mengisi hatinya selama empat tahun lebih. Tidak ada keinginan lain dari Fajar selain menyunting dan menjadikannya sebagai wanita yang akan menemani dalam sisa hidupnya. Tapi keinginan itu ternyata hanya berhenti sampai batas itu saja. Tuhan tidak membuat keputusan sesuai dengan yang telah direncanakan dan diinginkan Fajar. Keinginan Fajar akhirnya memang tersampaikan kepada keluarga Larasati dan keluarga Larasati juga menerimanya dengan senang hati atas keinginan tersebut. Tapi inilah hidup. Hanya Allah pemilik keputusan tertinggi di atas rencana manusia.
Larasati tidak dijadikan istri olehnya. Larasati yang memang tidak pernah dapat mencintai Fajar seperti Fajar yang mencintainya kemudian juga menerima pinangan dari pemuda yang baru dikenalnya. Bukan maksud hati Larasati juga bahwa ia akan lebih memilih pemuda yang baru dikenalnya itu. Tetapi semua tanda dan isyarat yang didapatinya bahkan setelah sholat istikharoh pun tidak ada yang mengarah pada Fajar. Semuanya mengarah pada pemuda tersebut. Pemuda asing yang baru dikenalnya dalam beberapa bulan saja. Namun, ia telah mampu memantapkan hati Larasati untuk menerima pinangannya. Pun dengan keluarga Larasati.
Sedih yang tak terkira dirasakan Fajar. Marah juga mungkin tertahan di hatinya kala itu. Tapi kemudian baru Fajar sadari bahwa cinta Larasati memang tidak pernah bisa tercipta untuknya meski Larasati telah berusaha untuk mencintainya. Fajar tahun usaha larasati untuk itu. Baru dia sadari juga bahwa skenario atas cintanya kepada Larasati yang telah digariskan Tuhan tidak semulus yang ia kira sebelumnya. Pikirnya, restu orang tua akan meluluskannya untuk pernikahan itu. Larasati ternyata harus melanjutkan skenario hidup selanjutnya bukan dengan Fajar. Begitu pula Fajar yang ternyata tidak bisa menggandeng Larasati untuk perjalanan di sisa usianya.
Akhirnya, memang tidak ada pilihan lain bagi Fajar selain mengikhlaskan yang terjadi. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Fajar tahu larasati tidak akan salah memilih dalam hal ini. Pemuda itu pun baik di mata Fajar. Pemuda sederhana yang juga begitu ramah padanya ketika mereka bertemu setelah pernikahan Larasati. Larasati pasti akan bahagia dengan pria itu.
Fajar tidak sepenuhnya kehilangan kebahagiaan itu. Keluarga Larasati sangat menyayanginya. Ia seperti memiliki keluarga kedua. Bapak Ibu Larasati sudah menganggapnya sebagai putra mereka sendiri. Adik-adik Larasati pun begitu. Sebuah persaudaraan yang indah sebagai ganti hubungan yang indah yang sempat menjadi mimpinya.
***
Hari-hari kemudian berlalu seperti biasa. Fajar dengan pekerjaannya yang menumpuk. Menjadi tangan kanan sang bos memang membuatnya memiliki kesibukan yang ekstra dibanding dengan pegawai yang lainnya. Hari Sabtu dan Minggu pun sering dihabiskannya di kantor. Fajar bekerja di salah satu perusahaan yang bergelut di bidang properti. Keuletannya dalam bekerjalah yang membuat ia mampu mendapatkan kepercayaan yang besar dari Pak Sigit, bos besarnya. Terkadang teman-teman sekantornya sering menggoda bahwa kedekatan Pak Sigit dengannya karena Pak Sigit menginginkan Fajar menjadi menantunya. Tapi hal tersebut selalu dijawab oleh Fajar.
“Dasar kalian ini!!! Bekerja sudah berapa tahun di sini? Mana mungkin Pak Sigit ingin menjadikanku sebagai menantunya, anak-anak Pak Sigit itu cowok semua, sudah berkeluarga pula?”
“Kalau mereka belum berkeluarga, apa kau mau, Jar?”, seloroh Candra, temannya yang paling suka menggoda Fajar.
“Mau kuapakan kau ini sebenarnya, bung?”, jawab Fajar sambil nyengir dan berniat memukul kepala Candra setelah akhirnya Candra mengelak dan pergi ke belakang, membuat kopi.
Status Fajar yang masih lajang di kantor selalu menjadi bahan lelucon teman-temannya. Hanya dia saja yang masih belum menikah dalam kantor itu. Terkadang, Fajar menanggapi lelucon itu dengan guyonan yang tidak kalah dengan yang dibuat teman-temannya. Tetapi, lebih sering ia hanya menjawab singkat untuk kemudian diam dan merenung sambil menatap layar komputer di depannya. Dengan begitu, teman-teman yang tadi menggodanya akan berhenti karena mengira ia sedang mengerjakan satu proyek yang harus segera diselesaikan.
Hatinya memang sepi. Sampai usianya yang ke dua puluh tujuh wajah gadis yang ingin dijadikan istri ternyata masih saja samar. Wajah-wajah gadis yang pernah hidup di hatinya harus segera di hapusnya agar hatinya dapat terisi dengan nama dan wajah gadis yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Tapi, hal terebut masih saja menjadi sesuatu yang sulit baginya. Ketakutan akan kegagalan yang akan hadir terkadang menghantuinya ketika ia akan menjalin sebuah hubungan baru. Takut salah pilih, takut akan terulang hal yang sama setelah ia berniat meminang gadisnya. Ketakutan-ketakutan inilah yang ingin dilepaskan dulu dari pikirannya.
Satu hal yang sangat ia percaya adalah bahwa di suatu tempat entah di mana, ada seorang gadis yang juga menunggunya seperti ia yang ingin segera menemuinya tapi belum bisa. Skenario yang indah telah ada dan ia tinggal menjalaninya. Doa tidak putus baginya agar Sang Pencipta memendekkan waktu pertemuan antara ia dan gadisnya.
“Aku menyerahkan pada-Mu, Tuhan”. Selalu kalimat itu yang menjadi penutup doa Fajar ketika ia meminta pertemuannya dengan perempuan yang akan menjadi penyempurna setengah agamanya.


* untuk seorang kakak, semoga segera bertemu dengan ‘perempuan’mu…
Hehe,,sudah kehabisan alur cerita, jangan2 malah jadi novel. Jadi, untuk konflik selanjutnya masih menunggu masa ‘pengeraman’ ide cerita…^^v

Donna-Donna, Sita RSD Ost. Gie


On a waggon bound for market
there’s a calf with a mournful eye.
High above him there’s a swallow,
winging swiftly through the sky.
Reff:
How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summers night.
Donna, Donna, Donna, Donna;
Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna;
Donna, Donna, Donna, Don.
Stop complaining!!! said the farmer,
Who told you a calf to be?
Why don’t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?
Repeat Reff
Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly.

Jumat, Juli 23, 2010

23 Juli '10 pada 23.12


malam ini,,,
masih sama seperti malam-malam sebelumnya,,
aku masih menunggumu di depan rumah kita,
dengan baju hangat yang kau berikan sebagai kado hari pernikahan kita,,,
berapa tahun lalu,,
beberapa tahun yang mungkin telah membuat baju ini menjadi usang,,
tak lagi terlihat cantik,,
tapi aku semakin merasakan hangatnya,,
angin malam yang dingin tak lagi terasa di badan kecilku ini,,,

malam ini,
masih sama seperti malam-malam sebelumnya,,,
aku masih menunggumu sambil membuat catatan-catatan kecil...
tumpukan catatan itu telah mengisi lembaran buku bersampul merah marun itu,,
kamu tahu bukan?? Aku suka dengan warna itu...
kau dulu membelikannya,,,setumpuk sampul merah marun untuk setiap buku...
sekarang mereka berjajar rapi memenuhi rak di sudut kamar kita,,,

malam ini,
masih sama seperti malam-malam sebelumnya,,
si kecil tidur lebih dulu dan disusul kakaknya...
aku masih berdiri dan bersandar pada tiang rumah kita,,,
berharap kau datang dan memasuki pagar rumah kita...
berharap dapat kukecup tanganmu dan menyilakanmu masuk,,,
melihat si kecil yang terlelap tidur, melihat kakaknya yang sedang bermimpi indah....

malam ini,
masih sama seperti malam-malam sebelumnya...
aku masih saja belum mendapatkan kabar tentang kau yang pergi pada subuh buta itu,,,
laut tidak lagi membawa kabarmu padaku,,,
bahkan asin anginnya yang telah akrab denganku....
tangan ini masih merasai mesranya ketika mengusap peluh di dahimu,,

kangmas,,,
aku rindu.....


* setelah mengutak-atik jurnal ^^v

Kamis, Juli 22, 2010

Entah kapan, tapi ingin sekali ke sana...

Sebuah kota yang memiliki arsitektur klasik, dengan jalannya yang lebar dan bersih. Dengan hamparan rumput yang luas di samping kanan dan kirinya. Dengan pepohonan yang masih hijau atau berubah putih ketika musim dingin datang. Dengan salju yang menumpuk dan memenuhi badan jalan. Melewatinya dengan jaket dan baju hangat. Menikmati pagi dan malamnya dengan secangkir kopi atau cokelat panas. Bercengkerama dengan seorang yang sangat dekat.
Sebuah tempat yang meski terpencil dan ada di pelosok tapi begitu nyaman dan damai. Cukup sebuah rumah kecil dan sederhana untukku. Di belakang rumah akan ada ladang atau cukup sepetak lahan saja untuk kuolah sendiri dengan keluarga kecilku. Di samping kanan dan kiri akan ada tempat bermain untuk melepaskan lelah dan penat dengan orang-orang tercinta. Dan di depannya, akan terlihat biru. Laut yang biru. Ya, selalu saja laut yang menjadi obsesiku... aku ingin selalu bisa melihatnya. Berbagi cerita dengan lautku....
Entah di mana itu, Ingin sekali ke sana. Suatu saat, semoga....

Rabu, Juni 16, 2010

seperti itu,,,,

seperti laut,,,ia mendamaikan
seperti angin,,,ia menyejukkan,
tapi kau adalah keduanya buatku.....

seperti gerimis yang syahdu,
ia membuatku larut...
seperti hujan,
ia membawa gemuruh
dan kau adalah keduanya bagiku....

kau adalah yang tak tergambar olehku....
kata-kataku tak mampu menjelaskanmu...

kau adalah tanda yang penuh isyarat buatku,
hingga harus mengeja ketika aku membacamu....

kau adalah dirimu,...
yang tersembunyi di balik dadamu....

hatimu,,,

Senin, Juni 14, 2010

Tentang sebuah yang menjadi tempat tinggal kita,,,

Yang pasti aku rindukan adalah kunang-kunang
Yang kerlipnya seperti bintang yang begitu dekat,,,
Hingga tangan ini ingin sekali merengkuh dan menyimpannya dalam genggaman,,

Yang pasti aku rindukan adalah bunga melati di depan sana,,
Yang wanginya selalu saja membuat hidung ingin mendekatinya
Dan mencoba bermain di bawahnya meski malam telah menjelang,,
Putihnya yang selalu indah di antara semak di depan rumah kita,,,

Yang pasti aku rindukan adalah bau hujan kala siang,,,
Atau gemericik derasnya air hujan yang jatuh menimpa atap rumah kita,,
Hingga kita berselimut hangat di bawahnya kala malam,,,

Yang pasti aku rindukan adalah aroma kopi tiap pagi,,,
Atau teh hangat buatan tangan kita masing-masing…
Dan makanan ringan ala kadar untuk menemaninya,,,
Sambil celotehan dan tawa ringan saat melihat televisi asyik bercerita,,

Yang pasti aku rindukan adalah deretan kursi di depan itu,,
Seperti singgasana tempat kita bercerita,,
Meski hanya sebentar saja,,,


Dan yang pasti aku rindukan adalah tawa kita,,
Canda kita yang menghiasi setiap sudut di sana,,,
Atau bahkan sedikit prasangka karena lemahnya hati kita,,,

Yang pasti kurindukan adalah semua cerita tentang kita,,,,



* untuk teman-teman di rumah kecil kita,,,
aku pasti akan sangat rindu...

Senin, April 19, 2010

berita gembira itu...^^

ehmm,,
sebenarnya tidak ada inspirasi untuk menulis hari ini. tapi seorang adik tiba-tiba menyuruhku untuk membuat sebuah catatan. dia ingin membaca sesuatu dariku. okelah kalau begitu, aku buat catatan ini. tentang kabar gembira yang aku terima kemarin.

seorang kawan menerima lamaran dari seorang pemuda. ^^...kebahagiaan itu seperti aku yang merasakan sendiri. teman yang lain bahkan sempat mengatakan seperti aku saja yang menerima lamaran itu,,hehe...
andai bisa cepet nyusul, teman... ^^v,,waktu itu aku membayangkan wajah temanku pasti bersemu merah dengan hati yang deg-degan ketika menunggu kata lamaran itu dikatakan oleh pemuda yang akan menyuntingnya. iya, ini memang baru lamaran, tapi pernikahan seolah sudah sangat dekat waktunya...^^
ketika itu, hanya ada satu pesanku untuknya,,,"pintar-pintar jaga hubungan setelah ini, kata orang waktu antara lamaran dan pernikahan adalah waktu yang rawan,," hehe...nasehatku seperti aku pernah berpengalaman saja ^^v

pernikahan....
kata ini menjadi kata-kata yang belakangan sering aku dengar dari teman dan kerabat. iya, mungkin usia yang sudah memasuki usia sensitif inilah yang membuat kami sering membicarakannya. bahkan dalam diskusi ringan yang terjadi antara aku dengan beberapa teman kampus pun pasti menyerempet 'isu' ini. biasanya kami hanya membicarakan kebijakan kampus, borok birokrasi, dan sejenisnya. temanku juga mengakui hal ini, dan biasanya kami hanya senyum-senyum sendiri...hehe...^^

eh,,biar saja ini jadi pembicaraan ringan ini berhenti dulu sampai di sini,,
beberapa teman yang sering bercanda seringkali mengatakan "semua akan indah pada waktunya"
ah,ya..pasti akan seperti itu,,meskipun bisa dikatakan kata-kata itu biasa digunakan untuk menghibur diri sendiri..^^

eh,,sepertinya tulisan ini menjadi begitu panjang,,sampai di sini dulu saja kali ini.
untuk temanku,,semoga prosesnya makin lancar setelah ini,,
supaya aku bisa segera datang ke acara resepsi,,hehe...^^v
Barakallah...

Senin, April 05, 2010

Setelah dari Puncak Lawu


Lawu, 2-3 April 2010

Alhamdulillah, pendakian ke Puncak Lawu (3265 mdpl) kemarin berjalan dengan lancar. Kami dapat kembali ke kampus dengan selamat. Dengan sisa-sisa badan yang pegal dan nyeri di sana-sini tentunya.hehe…tak apalah, Tuhan sudah berbaik hati pada kami. Pendakian kami yang kemarin tidak seperti pendakian yang biasanya. Cuaca sangat cerah. Malam hari cahaya bulan menemani kami hingga subuh menjelang. Siang pun matahari bersinar dengan ramahnya. Hanya sebentar saja kabut menebal untuk kemudian turun menjadi hujan ketika kami turun dari Hargodumilah, Puncak Lawu.
Pendakian kali ini kami mulai dari pos Cemoro Kandang. Seorang kawan yang sudah sering mendaki mengatakan bahwa pendakian dari pos ini meskipun lebih lama tapi cenderung aman dan ada persediaan mata air di tengah jalan jika kami kehabisan keperluan air. Perjalanan kami mulai pada pukul 19.30 pada 2 April 2010. sebelumnya kami sholat maghrib dan isya terlebih dahulu. Kami bernagkat dengan diawali doa tentu saja. Agar perjalanan kami lancar dan selamat. Oh ya, tim ekspedisi kali ini bertambah menjadi delapan orang. Ada Aji dan Bram yang ikut bergabung dalam 6 orang yang sebelumnya sudah sepakat mendaki Lawu.
Di tengah cahaya bulan yang menemani kami, beberapa kali kami berhenti untuk memandang suasana kota dari gunung tempat kami berdiri. Lampu-lampu kota masih semarak. Terlihat seperti bintang yang bergerombol pada titik tertentu dan menyebar pada bagian yang lain. Jalanan kota Solo, Slamet Riyadi terlihat lurus dari gunung. Seperti garis lurus, lampu-lampu pada pemukiman di sana. Dengan istirahat dua kali, kami sampai di pos 1 pada 20.30. Istirahat sebentar untuk kami merilekskan kaki-kaki kami.
Perjalanan kami lanjutkan ke pos 2 dan kami sampai di sana pada 21.48 dengan istirahat 3 kali dari pos 1. Istirahat kami lebih karena kami takjub dengan pemandangan yang ada di bawah dan atas kami. Di bawah kami, lampu-lampu kota masih saja menarik mata kami untuk sekadar menikmatinya sejenak. Semakin tinggi kami semakin dapat melihat wilayah di bawah kami lebih luas. Kami bahkan dapat melihat pemandangan Merapi-Merbabu dengan wilayah Selo yang juga dihiasi dengan kerlip lampu pada pemukiman di sana. Sedangkan di atas kami, langit menunjukkan keindahannya dengan kilatan-kilatan petir dan gemuruh yang sebentar-sebentar terlihat. Masyaallah, indah sekali.
Diskusi dan pembicaraan dari yang ringan sampai sedikit berat juga menghiasi perjalanan kali ini. Dari masalah kampus sampai masalah cinta. Haha,….lucu sekali kami membicarakan buruknya birokrasi kampus kami. Dengan dekan dan rektor dan para pembantunya yang tidak luput dari ‘makian’ kami. Kami juga membicarakan orang-orang yang sekiranya akan atau menjadi incaran kami untuk menerima cinta. Terdengar lucu karena kami membicarakan secara vulgar nama-nama itu. Tapi tidak semuanya membicarakan masalah yang satu ini. Hanya beberapa kawan laki-laki saja yang terang-terangan membicarakn wanita idaman mereka…^^v. Satu pertanyaan dariku untuk kami adalah mengapa para pendaki mencintai gunung? Dan ini belum mampu kami jawab, bahkan olehku pada malam itu.
Perjalanan dari pos 2 ke pos 3 memang cenderung lama. Kami juga lebih sering istirahat. Kami baru sampai pos 3 pada 01.30 pada 3 April 2010. Di pos ini kami mengeluarkan perlengkapan masak kami. Aku dan beberapa kawan menyiapkan tempat untuk tidur kami. Sedangkan teman yang lain menyiapkan masakan untuk jadi menu tengah malam kami. Sekadar mengisi energi untuk perjalanan ke alam mimpi. Jam 02.00 kami memutuskan untuk tidur. Tetapi dua orang teman masih memilih untuk berdiskusi. Ada hal yang menarik ketika berdiskusi tentang Islam dan gerakan di bawahnya. Ternyata tim yang istirahat di pos yang sama dengan kami, mungkin, sedikit tersinggung atau terganggu dengan pembicaraan yang kami lakukan. Daripada menjadi masalah yang panjang, dua teman tadi langsung masuk pos dan memutuskan untuk istirahat juga. Aku yang tidur tanpa matras menjadi kedinginan. Sangat kedinginan. Aku hanya tidur dengan jaket yang menempel di badan dan kaos kaki yang melindungi kaki dari hawa dingin. Bagian kiri yang menjadi tumpuan badanku seakan beku ketika bangun pada pagi harinya.
Rencana bangun jam 03.00 ternyata tidak berjalan. Kami baru bangun jam 04.30 untuk kemudian subuh dan melanjutkan perjalanan. Kami sudah pesimis bahwa kami tidak bisa menikmati sunrise di puncak. Tapi, tak apalah, pemandangan sepanjang jalan sangat mengurangi kekecewaan kami. Kabut yang turun masih menutupi kota di bawah kami. Pemandangan yang tidak akan kami dapatkan kalau kami berada di kota. Perlahan-lahan kabut itu hilang dan tampaklah kota Solo dan sekitarnya. Seperti kota hilang yang tiba-tiba muncul ke permukaan. Bayangan Gunung Lawu yang tertimpa sinar matahari jatuh menimpa kota-kota di bawahnya. Sangat menakjubkan karena bayangannya mampu menutupi daerah Karanganyar. Wow,,perlu kalian lihat sendiri, kawan…
Perjalanan selanjutnya yang kami target hanya satu jam ternyata mengalami kemoloran. Terlalu banyak berhenti dan menikmati pemandangan membuat kami membutuhkan waktu dua jam lebih untuk sampai pada pos 4. Kami sampai di pos 4 (Cokrosuryo) pada 07.42. Tananhnya yang hijau dan lapang membuatku langsung ingin merebahkan badan. Ya, aku langsung rebah di hamparan rumput di sana tanpa alas apapun. Dan ternyata aku langsung tidur selama satu setengah jam di sana. Haha..cepat sekali ternyata mataku ini terpejam. Aku baru dibangunkan teman-teman ketika perjalanan akan dilanjutkan. Sebelumnya aku diminta untuk makan. Aku hanya makan sesuap saja. Foto-foto sebentar kemudian kami melanjutkan perjalanan.
Perjalanan selanjutnya adalah perjalanan menuju Puncak Lawu. Padang Edelweiss menemani kami sepanjang jalan. Sayang Edelweiss belum berbunga saat itu. Beberapa masih berbentuk kuncup. Namun, wanginya sedikit mengisi indera penciuman kami dan memberi ketenangan pada langkah kami. Mendekati puncak, perjalanan dihiasi dengan medan berbatu yang lebih terjal. Kami harus bersabar dan lebih hati-hati agar sampai ke puncak dengan selamat. Beberapa kawan sudah hamper menyerah dan lebih banyak yang mengeluh. Wajar saja, memang. Medan lebih terjal daripada sebelumnya. Dan akhirnya perjalanan yang terjal itu terbayar juga. Tepat pukul 10.58 rombongan kami sampai di Puncak Lawu, Hargodumilah. Ahhh…kami langsung berteriak menandakan kebanggaan dan kebahagiaan kami. Merdeka!!! Terlalu berlebihan mungkin. Aku sendiri menarik nafas yang sangat panjang. Memenuhi rongga paruku dengan udara yang menipis di sana namun terasa sangat segar. Berjalan berkeliling sebentar dan melihat pemandangan sekitar. Dari jauh, bukit di bawah kami terlihat nama-nama pendaki yang ditulis dari susunan batu. Cukup kreatif, batinku. Ada perasaan puas dan bangga karena sampai pada puncak ini. Selanjutnya, aku tertidur kembali ^^v… Kali ini aku tidur di samping tugu Hargodumilah. Tidur di sampingnya seperti tidur di samping bantal gulingku saja. Dan inilah tidur terlelapku selama perjalanan. Matahari memang sukup panas bersinar, tetapi hawa masih terasa sejuk. Kututup mukaku dengan slayer dan aku tertidur hingga hampir dua jam lamanya. Tidur yang nyeyak dan puas karena Tuhan juga memberi mimpi yang indah dalam tidurku….^^
Mungkin teman-teman memang segan membangunkanku. Karena aku baru bangun setelah terdengar suara rombongan lain yang sudah sampai puncak. Kami mengobrol sebentar untuk selanjutnya foto-foto lagi di puncak sebelum melanjutkan perjalanan untuk memulai turun. Dengan rombongan dari Bogor tadi, kami mengobrol sebentar dan foto-foto juga,hehe..
Pukul 12.38 kami turun dari puncak menuju Hargodalem. Di tengah perjalanan inilah kami harus istirahat sebentar untuk memakai mantol yang kami bawa karena hujan kabut turun lumayan deras. Pukul 13.00 kami sampai di Hargodalem. Istirahat sebentar karena hujan sudah berhenti dan kabut telah menipis. Kami melanjutkan perjalanan dan berhenti di warung sambil sholat zuhur jamak sholat asar. Kami sampai di warung pada 13.15. Merehatkan badan lagi, kami makan dan sholat, sedikit bersih-bersih badan dan perlengkapan masak kami. Pukul 14.35 kami melanjutkan perjalanan untuk turun ke pos utama. Pengisian energi dan badan yang cukup bersih membuat semangat kami full lagi.
Perjalanan kami berhadapan lagi dengan jalan berbatu yang menurun cukup terjal juga meskipun bebatuan tersebut lebih teratur. Satu yang ada dalam pikiranku, siapa ya yang membuat jalur sedemikian rapinya,,hehe..ini kan gunung. Kami sampai pada pos 3 pada 16.00. Selama itu, kami lumayan sering istirahat. Di pos 3 ini kami berhenti cukup lama. Sedikit berdiskusi tentang organisasi kami dan kelangsungannya. Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan dan sampai pos 2 pada 16.20. Perjalanan yang cukup cepat. Dalam perjalanan ini, ada satu anggota tim yang mengalami keseleo pada kakinya. Ini membuat perjalanan selanjutnya tidak lagi begitu cepat. Kekompakan rombongan cukup diuji di sini. Perjalanan selanjutnya mke pos 1 membuat kami sedikit bosan karena kami seperti lama menemui pos 1. Kami baru sampai pada pos 1 pada 17.25.
Rombongan tidak mengambil waktu istirahat yang cukup lama karena waktu sudah menunjukkan sore dan sebentar lagi senja turun. Target kami adalah dapat sampai ke pos utama maksimal saat adzan maghrib dikumandangkan. Sedikit terlambat dari target karena saat adzan dikumandangkan kami masih dalam perjalanan ke pos utama. Kami masih berada di daerah ladang wortel. Rasanya kaki ini memang ingin istirahat meski sebentar, tapi hati ini cepat sampai di pos utama. Jadi sedikit diseret kaki ini berjalan ke pos utama. Alhamdulillah…kami dapat sampai di pos induk pada 18.15. di bawah lampu kota, kami terbaring meluruskan kaki. Ah,,,puas rasanya. Bayangan Lawu yang menghitam membuatku memandangnya dengan mesra. Aku baru saja menginjak puncaknya, dan sekarang telah sampai lagi di bawahnya. Kapan lagi ke sana?

Sebelum ke Lawu

Solo, 2 April 2010

Sepertinya memang tidak ada yang istimewa dengan hari ini. Tapi sore nanti aku dan beberapa kawan akan melakukan pendakian ke Puncak Lawu. Sebenarnya ide yang cukup nekat juga karena diantara kami berenam (aku, dhika, djoko, tisna, anjar, dan qodri) tidak ada yang berpengalaman untuk memimpin pendakian. Hanya aku, tisna, dan qodri yang pernah ke sana. Tapi itu pun berada dalam posisi anggota tim, bukan ketua rombongan.
Tapi modal nekat ini cukup bisa menjadi modal awal ini. Entahlah, aku sangat ingin mendaki gunung pada saat ini. Kerinduan yang sangat kurasakan pada belaian angin gunung. Aku takut tidak bisa menikmatinya lagi besok-besok ketika waktuku di Solo semakin pendek saja. Setelah ini, aku mungkin akan sering berada di rumah, berperan sebagai anak gadis pada umumnya. Aku ingin memeluk gunung jika ini menjadi pendakianku yang terakhir, meskipun aku tidak berharap begitu. Aku masih ingin mendaki gunung-gunung yang lain. Baru beberapa kali saja aku mendaki dan aku sudah begitu cinta dengan gunung. Sama seperti aku cinta dengan laut. Dengan hawa asinnya.
Karena itulah ide itu kucetuskan di antara beberapa kawan dan mereka mengamininya. Maka, terciptalah tim ekspedisi dengan bondo nekatnya. Semoga perjalanan ke Puncak Lawu lancar dan kami dapat kembali dengan selamat ke kampus. Membawa nafas baru dan semangat guru setelah gunung memeluk kami dengan dinginnya. Mari mendaki!!!

Senin, Maret 29, 2010

tak semesra dahulu...

perjalananku kembali ke solo siang ini,,entahlah. tak semesra dahulu lagi. hampir empat tahun aku melewati jalan yang sama ketika pulang atau kembali ke kota solo ini. setiap belokan, gang, perempatan, pertigaan, simpang lima. seperti ada setiap cerita yang tertinggal di sana ketika mata ini melihatnya (karena biasanya aku sering tidur di dalam bis,,hehe...). tapi berbeda sekali dengan perjalanan siang tadi. semuanya terlihat sangat biasa, bahkan terlalu biasa.
sepanjang perjalanan tadi mata ini bahkan (tumben) tapi tidak terpejam. sulit terpejam tepatnya. mata dan pikiran ini mencari kenangan pada setiap gang dan belokan yang kulalui. tapi memori yang biasanya kunikmati pada setiap perjalanan tidak kunikmati kali ini. semuanya sangat terlaalu biasa. seperti hanya memandang kosong saja. kosong.
bahkan keberangkatanku pagi tadi untuk kembali ke solo seperti tidak kurelakan. aku masih ingin ada di rumah. menikmati hawa rumah dengan rutinisku yang sudah sangat biasa juga, sebenarnya. rutinitas gadis desa pada umumnya. bantu-bantu ibu, bapak, dan emak di rumah.

kembali pada perjalanan pagi tadi. seperti kutinggalkan Pandanganku dengan setengah hati. kepulangan ke Solo yang tidak kuingini. aku juga masih belum mengerti kenapa? bahkan setelah aku berada pada lingkungan kampus yang biasa kucumbui mesra....

*masih tertinggal di sana,,
pada tempat kelahiran yang kucinta...
mungkin karena dia,,

Rabu, Maret 03, 2010

Kembali atau di sini dulu??

Belakangan ini, pertanyaan yang kutimbulkan sendiri sedikit mengganggu pikiranku,,
“kembali ke desa atau melanjutkan perjalananku di kota perantauan ini?”
Sedangkan Karimunjawa dan pulau yang ada di luar Jawa masih saja menarikku untuk sekedar bertandang mengunjunginya. Ya, entah kenapa…aku ingin sekali keluar dari Pulau Jawa ini. kebiasaanku untuk memulai kehidupan yang baru di tempat yang baru setiap tiga tahun sepertinya memang belum sembuh juga.
Luar Jawa? Sedikit di luar kemampuan memang, tapi masih ada harapan jika aku ingin menginjakkan kakiku pada tanah di luar sana.

Kembali ke desa?
Banyak yang menarikku untuk melakukan ini. Kembali pada keluargaku, kembali pada lingkungan awalku. Sebagai wanita, kembali ke desa sama saja dengan menjadi wanita seutuhnya. Pikiran semacam ini masih cukup kental di masyarakatku. Aku mungkin berbeda. Sangat malah!!! Kembali ke desa berarti mewujudkan cita-citaku di desa kecil itu. Ah,,masih dengan idealismeku sebagai “AKU”. Begitu banyak hal tercatat dari kecil hingga menginjak usia yang sekarang. Dan ini yang akan jadi catatan-catatan yang segera harus kutuntaskan. Agar tidak hanya jadi sekedar catatan. Bapak Ibu terkadang hanya tersenyum saja ketika melihatku dengan mimpi-mimpiku yang terdengar ‘aneh’ itu. Tentang mimpi yang dimiliki oleh gadis kecil mereka. Ah, Ibu…bukankah aku belajar membuat mimpi ini darimu,,dan sifat ‘keras’ ini kudapatkan dari engkau, Bapakku. Terimakasih untuk itu.
Rasa keperempuananku sepertinya belum menyentuhku terlalu jauh. Hehe…tapi tenang saja, tentu saja aku masih wanita seutuhnya. Dengan mimpi-mimpi wanitaku dan dengan adanya aku sebagai perempuan.

Melanjutkan perjalanan di kota perantauan ini?
Sama saja, aku punya rencana yang begitu banyak di sini. Catatan selama hampir empat tahun ini sudah memenuhi ‘tas’ bekalku meski aku tidak pernah merasa cukup dengan itu. Haha…jangan meremehkan mimpiku, pun jangan pernah menertawakannya. Wartawan atau guru? Aku ingin menikmati keduanya. Atau tawaran lain yang akan ada. Berpetualang? Mengenal ‘mereka’ lebih jauh. Mengaplikasikan ilmu dan mencoba untuk menimbang sejauh mana idealismeku. Menjaganya dan menguji diri sendiri seberapa kuatkah aku.
Eitss…tapi semoga aku tidak melupakan sesuatu. S1 masih belum di tangan, tentu ijin dari orang tua untuk berpetualang yang sudah ada di tangan tidak bisa kulaksanakan kalau yang satu ini belum kuselesaikan. Hehe… (maaf, skripsiku sayang, masih enggan kau kulirik meski waktu telah menjelang. Sebentar lagi ya. Kau tahu aku, bukan?)

Sedangkan dunia luar sana masih saja merayuku.
Ingat saja, jika memang diijinkan akan kupenuhi rayuan kalian. Tunggulah aku!!!
^_^…

Minggu, Februari 07, 2010

Untuk MUHAMMAD kecilku

7 Februari 2010

Kau pasti begitu tampan,,
Senyummu pasti begitu manis sayang,,
Dan matamu pasti berkilau seperti menelan kejora...

Maafkan aku,,
Kutinggalkan kau dengan setengah hati
Apa begitu marah kau padaku,
Hingga kau memilih untuk meninggalkanku di sini
Dengan iklas hati,,
Kau memaksaku untuk itu,,

Muhammad sayang,,
Kau pasti juga begitu cerdas dan pandai,,
Sudah kami siapkan nama dan tempat indah buatmu,,
Tapi ternyata kau memilih tempat yang lain...

Tak apa sayang,,,
Dalam hitungan jam ini kau telah memberi kami gembira yang sangat,,
Setidaknya tangismu sudah meramaikan keluarga kecil ini,,

Hanya saja maaf,,
Belum sempat kutatap kejora pada matamu
....
Maafkan aku,,,


Selaksa doa untuk Muhammad kecilku,,
Semoga surga terindah akan menjagamu,,
maafkan bulikmu sayang,,
yang belum sempat menggendongmu,,,

Jumat, Januari 22, 2010

MIMPI....

Letak mimpi itu hanya 5 cm di atas kepala kita. Begitu dekat.
Tinggal kita ingin meraihnya atau tidak....

Pada sebuah buku yang pernah saya baca ada ungkapan seperti di atas. Tidak sama persis memang, tetapi secara substansial seperti itulah perasan cerita yang ingin disampaikan oleh penulis buku. Tentang sebuah mimpi sekumpulan anak muda yang ingin menaklukkan gunung tertinggi di Jawa, Semeru. Pemuda-pemuda yang berkumpul dalam sebuah hubungan persahabatan dan berminat untuk menginjakkan kaki mereka bersama-sama dan merasakan belaian angin pada puncak Semeru. Tidak ada yang membuat mereka begitu antusias untuk menaklukkan Semeru selain mereka ingin merasakan suasana yang berbeda di puncak gunung tertinggi di Jawa itu. Keluar dari kebiasaan mereka yang suka ‘nongkrong’ di tempat kesayangan mereka atau ‘ngobrol’ dan menikmati malam di rumah salah satu dari mereka.
Mereka sampai pada puncak Semeru. Dengan kemampuan pendakian yang sangat kurang mereka bisa menikmati dingginnya angin Semeru bersama-sama tanpa kehilangan satu kawan di antara mereka. Awalnya, medan Semeru yang belum dikenal cukup membuat mereka kecil hati untuk mencapai puncak. Tetapi mereka memiliki mimpi yang begitu kuat untuk sampai pada puncak Semeru. Mereka berhasil mewujudkan ‘mimpi gila’ milik mereka .
Dan kita, apakah memiliki ‘mimpi gila’ seperti itu? Manusia normal memiliki banyak mimpi dan keinginan yang ingin mereka wujudkan. Ini adalah salah satu fitrah yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk membedakannya dengan makhluk lain bernama Malaikat. Manusia berkehendak agar ia bisa semakin membuat hidupnya lebih hidup. Bayangkan saja jika manusia hidup stagnan dan menerima hidupnya yang sekarang tanpa ada keinginan untuk bergerak maju. Kemandegan. Itulah sebuah keniscayaan yang akan terjadi. Bermimpi, berkeinginan, berkehendak bukanlah sebuah pembelotan atas sifat qonaah (‘nrimo’, bahasa Jawa). Mimpilah yang membuat manusia mampu berbuat untuk perubahan-perubahan yang lebih baik. Tentu saja mimpi pun membutuhkan sebuah penyaluran dan dikondisikan dengan apik agar bukan kerusakan yang dihadirkannya, melainkan sebuah kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.
Pada sebuah film karya anak negeri pun digambarkan bagaimana dahsyatnya kekuatan sebuah mimpi. Mimpi mengantarkan pada lorong-lorong kecil Eropa dan membuat si tokoh dalam film tersebut berhasil mengecap nikmatnya ilmu pengetahuan yang ada di seberang lautan dan pulau yang sangat jauh. Tempat yang sebelumnya hanya tertulis di papan tulis sekolah mereka. Universitas yang hanya mampu mereka lisankan namanya dengan penuh keinginan untuk memasukinya. Akhirnya mereka merasakannya, kenikmatan atas mimpi-mimpi yang berani mereka susun dengan pikiran mereka sendiri.
***
Mimpi. Berbicara tentang mimpi akan membuat kita membicarakan peradaban yang tercipta karenanya. Pada peradaban manausia yang terbentuk karena kekuatan mimpi yang dimiliki oleh manusia pada masing-masing zamannya. Bagaimana Islam pada masa keemasannya mampu memeluk peradaban Andalusia dan eropa adalah karena mimpi yang disertai usaha keras sang khalifah pada masa itu. Bagaimana Jepang mampu menjadi saingan utama Amerika Serikat dalam perdagangan alat elektronik di dunia adalah beraninya mereka bermimpi, berani berkeinginan atas hidup mereka. Berani menyertai mimpi mereka dengan usaha tiada henti hingga mereka mampu mewujudkan mimpi dan keinginan tersebut.