Pesan untukmu,,,

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Anak Semua Bangsa-Pramudya Ananta Toer)

Kamis, Maret 12, 2009

AKAN LEBIH BAIK JIKA MILIK SENDIRI...


Solo, The Spirit of Java atau Solo, World Heritage Cities. Tiba-tiba saja gugusan kata-kata tersebut tidak lagi menjadi asing di telinga kita. Apalagi mereka yang sudah sekian lama berdomisili di Kota Surakarta atau yang sekarang lebih terkenal dengan Kota Solo. Dua jargon di atas sudah demikian akrab dengan telinga kita sejak beberapa tahun terakhir. Tantangan globalisasi dianggap sebagai satu alasan tentang digunakannya istilah-istilah asing yang menggunakan bahasa Inggris sebagai frasa yang dipilih untuk mengakrabkan jargon tersebut kepada masyarakat.
Padahal, jika kita tilik ke belakang. Makna dari kedua jargon tersebut adalah untuk memberikan pengertian kepada masayarakat Indonesia atau para turis yang berkunjung bahwa Solo adalah salah satu dari kota yang ada di Indonesia yang masih mampu menjaga keaslian dan keperawanan budaya yang dimilikinya. Solo dianggap masih mampu menjadi penjaga budaya asli Indonesia, khususnya Jawa dengan aneka keunikannya.
Jika kita mengingat sejarah kita, bahasa Indonesia telah menjadi bagian yang panjang dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Sejak ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan bahasa resmi negara pada tanggal 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia memiliki peranan penting bagi bangsa Indonesia. Peran yang besar, baik di masa penjajahan, kemerdekaan maupun masa pembangunan seperti sekarang ini. Bahasa Indonesia mampu mempersatukan bangsa Indonesia dan membuatnya sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bahasa Indonesia pula yang mampu mempersatukan daerah di Indonesia sehingga timbul kesadaran nasional yang menjadi semangat dalam mengusir penjajah dari negeri ini. Perkembangan menjadi sangat pesat waktu itu karena semua orang ingin menunjukkan jati dirinya sebagai rakyat dan bangsa Indonesia.
Meskipun, pada awalnya timbul keraguan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, yaitu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan atau ilmu pengetahuan. Tapi, semangat rakyat dan keinginan untuk bersatu membuat banyak istilah ilmu pengetahuan lahir. Hal ini seperti dijelaskan dalam Kongres Bahasa Indonesia pada tahun 1938 di Solo. Maka, pada tahun 1980an sampai awal 1990an segala hal yang berbau asing harus dinasionalisasikan. Nama-nama pabrik asing harus diganti dengan menggunakan nama Indonesia. Singkatnya, ketika itu dicanangkan program yang disebut dengan berbahasa yang baik dan benar. Penghargaan terhadap bahasa Indonesia kala itu sangat besar. Ejaan disempurnakan untuk mendapatkan kaidah berbahasa yang benar.
Namun, kemunduran bahasa Indonesia kembali terjadi ketika arus reformasi mulai digulirkan. maraknya penggunaan bahasa-bahasa asing dan pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa di luarnya. Adanya media yang kurang peduli dengan perkembangan bahasa Indonesia pun ikut mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia yang salah. Menghadapi kondisi yang semacam itu, pemerintah perlu melakukan tindakan penjagaan terhadap bahasa Indonesia agar di masa depan bahasa Indonesia semakin berkembang, bukan hanya pada penggunanya tapi juga terjaga dari segi pemakaiannya. Pemerintah dapat membuat peraturan tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dalam acara-acara kenegaraan, televisi dan media cetak. Perilaku bahasa para pejabat dan tokoh panutan masyarakat juga harus dibina sehingga mampu berbahasa dengan lebih baik, benar, demokratis, dan lugas sehingga dapat menjadi teladan masyarakat. Ini untuk memenuhi tuntutan iklim reformasi yang sedang berkembang di negara kita.
Dan jika kita kembali menilik permasalahan penggunaan bahasa asing pada jargon kota Solo, hal ini semakin menunjukkan bahwa kemunduran atas penggunaan bahasa Indonesia sekaligus kebanggaan atasnya masih terjadi hingga sekarang ini sejak reformasi. Jika penggunaan bahasa Inggris bertujuan untuk mengakrabkan Solo dengan para turis asing, akan sangat merugi sekali karena kita mengorbankan budaya dan bahasa kita sendiri. Harusnya kita seperti bangsa Jepang yang dalam setiap tanda jalan pun ditulis dalam aksara mereka sendiri. Orang asing yang akan berkunjung harus beradaptasi untuk bisa berhubungan dengan masyarakat di sana. Atau seperti beberapa negara di Benua Eropa. Mereka begitu menjunjung budaya dan bahasa yang mereka miliki.
Selain itu, penggunaan bahasa Inggris dalam pemilihan kata untuk jargon-jargon tersebut tentu merupakan kontradiksi tersendiri. Jika Solo diidentikkan dengan budaya, terutama budaya Jawa. Mengapa pula harus menggunakan bahasa Inggris untuk merumuskan jargon yang dimiliki. Padahal di sisi lain, kita punya bahasa Indonesia yang asli produk dalam negeri. Atau kita juga bisa menggunakan bahasa Jawa demi memunculkan nilai budaya Jawa ysesungguhnya. Kalau orang Jawa bilang ben luwih njawani.

1 komentar:

chocolate mengatakan...

kok lum nambah tulisan?