Pesan untukmu,,,

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Anak Semua Bangsa-Pramudya Ananta Toer)

Selasa, Oktober 21, 2008

SUDAH MAPANKAH PARPOL KITA?


Dunia perpolitikan di Indonesia yang sistem pemerintahannya menggunakan sistem demokrasi tidak bisa dipisahkan dari keberadaan partai politik sebagai bentuk aspirasi masyarakat. Suasana demokrasi memunculkan partai politik sebagai wadah yang menampung suara rakyat yang merasa memiliki kesamaan visi, misi, cita-cita, atau bahkan mungkin, sebuah kepentingan.
Iklim demokrasi memungkinkan suasana yang bebas untuk berserikat dan bersuara menyampaikan aspirasi. Adanya partai politik menjadi satu prinsip dalam iklim yang seperti ini. Jika partai politik tidak hadir, maka apa yang disebut sebagai konsep, prinsip atau asas demokrasi menjadi hal yang harus dipertanyakan. Adanya parpol juga mampu menjadi alat kontrol pada pemerintahan yang berkuasa. Partai oposisi di Amerika contohnya, adalah partai yang menjadi penyeimbang roda pemerintahan yang akan memberikan kritikan -yang pedas sekalipun- atau bahkan melakukan aksi menolak kebijakan pemerintahan. Sampai saat ini, sistem demokrasi di Amerika memang masih menjadi sistem ‘idola’ yang ditiru di Indonesia. Meskipun diketahui, bahwa di Amerika sendiri, demokrasi belum karuan sistemnya.
Adanya calon independen di Amerika, misalnya, yang tidak pernah lolos menjadi pemenang dalam pemilu di Amerika. Meskipun ini merupakan respon dan pendidikan politik yang positif bagi rakyat karena akan menjadi sarana kritis bagi masyarakat, tapi penerapan di Indonesia mengalami penyimpangan. Adanya calon independen yang sekarang rame-rame ditiru dan diterapkan di Indonesia seakan-akan digunakan untuk membiaskan pola yang ada. Karena calon-calon yang ditawarkan dalam pemilu atau pilkada, misalnya berasal dari latar belakang (background) yang sama, dimunculkanlah calon independen yang berfungsi menetralisir suasana atau mungkin sebagai ‘penggembira’ saja. Hanya saja, jika di Amerika sana calon independen tidak pernah lolos dalam pemilu, berbeda dengan iklim Indonesia yang secara sekilas kita bisa melihat keberterimaan masyarakat atas mereka (calon independen).
Kembali pada kondisi partai politik di Indonesia. Negara kita telah merdeka selama 62 tahun, namun selama itu pula belum menemukan sistem demokrasi yang ideal untuk pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Bongkar pasang sistem pemerintahan terjadi sejak awal terbentuknya negara sampai saat ini. Para pemimpin bingung menentukan sistem yang benar-benar ideal untuk diterapkan di negeri ini. Atau mungkin, itu karena pemimpin yang terpilih memang belum mampu untuk menerima estafet kepemimpinan sehingga keputusan yang mereka buat tidak benar-benar terasa manfaatnya bagi rakyat.
Pemilu yang dilakukan secara periodik belum bisa memunculkan orang-orang yang pantas memimpin. Ketika rakyat ditanya alasan memilih seorang calon, mungkin jawaban mereka adalah “lha mau milih siapa lagi, wong calonnya cuma itu-itu saja. Ya mungkin yang saya pilih itu baik.” Partai politik yang ingin menelurkan calon-calon pemimpin negeri ini selalu mempertimbangkan untung rugi apa yang nanti akan diterima setelah si calon menjabat. Jelas, kepentingan rakyat menjadi hal yang tidak begitu utama. Partai politik belum bisa mewakili rakyat yang memilihnya. Para anggota legislatif lebih mempertimbangkan uang sogokan dan kepentingan partai, dari pada kepentingan konstituennya.
Dalam sejarahnya, kinerja partai politik terbagus yang dimiliki oleh negeri ini adalah saat pemilu pertama dilakukan di Indonesia, yakni pada tahun 1955. Pemilu yang diikuti oleh sekitar 30an parpol ini dinilai sebagai pesta rakyat yang paling demokratis hingga mengusung nama Indonesia sebagai negara yang paling demokratis saat itu. Partai politik ketika itu merupakan wujud suara rakyat yang menginginkan perubahan keadaan negara menjadi lebih baik. Partai politik tidak disibukkan dengan aneka dana yang akan mereka terima ketika partai yang mereka inginkan telah terbentuk. Perkembangan selanjutnya di masa Soeharto, pilar-pilar demokrasi benar-benar dipasung termasuk juga dengan aktifitas partai politik. Ini juga yang menjadi alasan kenapa gerakan-gerakan perubahan menjadi kian lembek. Kita seperti anak singa yang dibesarkan di kawanan kambing. Tidak mengetahui seberapa besar kekuatan kita. Sudh terlalu lama dininabobokan oleh pemerintahan Soeharto.
Setelah itu sampai saat ini, partai politik belum bisa di andalkan dan belum representatif. Partai politik seharusnya melihat ke bawah. Karena basis mereka ada di bawah. Tapi sekarang, partai tidak melihat konstituennya. Partai politik hidup sendiri, tapi saat menjelang pemilu memberikan janji-janji yang terlupa lagi setelah berjaya dan calon-calon yang diajukannya terpilih kembali. Selama lima tahun mereka (partai politik) akan mati suri dan begitu selanjutnya seperti sebuah siklus air. Inilah yang terjadi di negeri ini karena bobroknya sistem yang ada. Banyak borok di sana-sini. Dalam konteks demokrasi, kondisi seperti ini jelas telah menyalahi arti dari demokrasi itu sendiri.
Partai politik di Indonesia sekarang memang telah mengalami pergeseran makna dan pergeseran kedudukan. Kalau dahulu, parpol merupakan sebuah lembaga untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, sekarang berganti menjadi ajang mencari uang dan penghidupan. Anggaran yang dikeluarkan negara untuk pembiayaan pembentukan partai politik dalam pemilu bahkan melebihi anggaran pendidikan yang hanya 12 %. Inilah yang mungkin menjadi hal yang menggiurkan bagi para pendiri partai politik. Sampai saat ini saja, tercatat sebanyak 87 partai politik telah mengajukan berkas permohonan pendaftaran pendirian pada Departemen Hukum dan HAM RI tahun 2004 dan 2007.
Tampuk kepemimpinan yang akan dijabat nantinya memang terasa lebih menggiurkan daripada amanah berat selanjutnya yang harus diusung dipundak para pemimpin kita. Yang penting, kekuasaan itu ada di tangan kita dulu. Setidaknya, seperti itu gambaran pola kepemimpinan di negara kita. Partai politik yang diharapkan akan membawa perubahan pun masih menghasilkan kinerja yang sama. Stagnan atau mungkin mandeg.
Dengan melihat perkembangan yang seperti sekarang ini, pantas jika kita menjadi bertanya-tanya adakah pemimpin yang kita idam-idamkan sedangkan sarana yang seharusnya mampu menawarkan orang-orang yang pantas menjadi pemimpin pun (partai politik) masih seperti itu saja kinerjanya. Rakyat Indonesia masih menunggu Sang Ratu Adil yang telah dinanti-nanti kedatangannya yang diramalkan akan datang memimpin negeri ini. Akankah sosok Ratu Adil ini merupakan salah satu tokoh yang akan ditawarkan oleh partai politik kita di tahun 2009 ini. Menjelang pemilu 2009 nanti tentu akan terdengar lagi gembar-gembor kampanye partai politik yang akan memberi kita mimpi-mimpi lagi tanpa kita ketahui akan ditepati. Karena itu adalah janji.

Tidak ada komentar: