Pesan untukmu,,,

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Anak Semua Bangsa-Pramudya Ananta Toer)

Rabu, April 18, 2012

Gadis Pantai dan Langit Biru


Bibir pantai ini masih sama. seperti belasan tahun yang lalu. Saat awal-awal aku mulai menikmatinya untuk mengenangmu. Mengingat setiap kluster waktu yang pernah terlewat dengan senyuman. Masa-masa terindah dalam usiaku yang menginjak 23. Bukan masa-masa SMA seperti sebuah lagu yang sering didendangkan. Tapi adalah masa ketika usiaku belum meninggalkan usia dalam ukuran satuan. Sebelum melepaskan usia 11. Waktu aku masih asyik bermain denganmu. Di pantai ini. Di laut ini.
Kurebahkan punggungku. Telentang menghadap langitku yang biru. Ah, biru. Aku selalu menyukai warna itu. Karena warna laut juga biru. Air laut yang menyentuh bibir pantai ini juga menyentuh punggungku. Menyentuh setiap bagian tubuhku. Seandainya aku bisa berenang, mungkin aku akan masuk ke dalam lautmu. Menyelam dan mengintip sebentar duniamu. Tapi aku tidak bisa dan memilih telentang di sini, di bibir pantaimu. Kugenggam sedikit pasir basah yang mengelilingi tubuhku. Andai, aku bisa menggenggam mimpiku itu seperti ini. Andai aku bisa menggenggam tanganmu seperti ini. Tapi, aku selalu tak bisa. Aku memilih untuk melepasmu. Selalu. Kupejamkan mata untuk merasai hadirmu. Itulah aku pada beberapa tahun lalu.
***

 “Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam... Siapa ini?” Sebuah nomor asing masuk dalam handphoneku. Nomor yang sama sekali tidak kukenal karena 6 digit nomor di awal tidak kukenal dari daerah mana.
“Ini aku. Ini Laras. Larasati? Bener?” Suara seorang laki-laki. Suara yang mengembalikanku pada sebuah memori yang jauh. Tapi, aku masih samar mengenalnya. “Iya. Ini Laras. Tapi ini siapa ya? Nomornya tidak ada di handphoneku. Maaf, beberapa kali ganti nomor.”
“Ini aku, Ras. Jiwo. Masih ingat, nggak? Ehm,,,”
Kali ini aku terdampar pada sebuah lorong waktu yang kusimpan rapat dalam hatiku. Jiwo. Nama itu...
“Jiwo? Jiwo...teman SD-ku? Bener, Jiwo temen SD-ku?” Bibirku mengucapkan pertanyaan beruntun untuk penelponku. Sedangkan pikiranku masih asyik untuk membongkar kenangan pada lorong waktu. Tak perlu membuka paksa pintu waktu itu karena aku sering membuka pintu ini jika aku merinduinya. Rindu pada penghuninya. Rindu pada Jiwo.
“Hehe... alhamdulillah, masih diingat sama Laras. Bagaimana kabarnya, Ras?”
“Aku alhamdulillah baik, Wo. Kamu bagaimana? Sekarang di mana? Kok tiba-tiba menghubungiku? Dapat nomorku dari mana?” Pertanyaan beruntun masih saja keluar dari bibirku. Aku sedikit malu.
“Aku juga baik. Sehat, Ras. Aku dapat nomormu dari tetanggaku. Teman adikmu. Sekarang di mana, Ras?”
“Aku di Yogya, Wo. Kamu di mana sekarang?” Sedikit demi sedikit mulai kukuasai suaraku sendiri. Menatanya agar menjadi lebih tenang. Aku malu jika Jiwo menyadari suaraku yang lebih bersemangat dari pertama tadi.
“Aku di Cape Town sekarang, Ras. Di Afrika. Kapal sedang bersandar beberapa hari. Tiba-tiba mengingatmu. Jadi, kutelepon dirimu. Aku... mengganggumu tidak?”
“Cape Town? Wah,, sedang keliling dunia rupanya! Mengapa tak kau ajak diriku? Hehe... Tentu saja tidak mengganggu. Seorang teman yang jauh di sana mengingatku. Tentu aku malah senang... Semoga lancar perjalanannya, Wo.”
“Amin. Makasih, Ras. Setelah ini, kapalku akan berlayar lagi dan kembali ke Jepang. Begitu baru bisa kembali ke Indonesia. Aku sudah kangen. Kangen ibu di rumah, kangen bapak. Aku kangen kamu juga, Ras.”
Deg... Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Kok diam, Ras. Aku salah omong ya? Aku memang kangen dirimu. Boleh, to?”
“Ah, nggak, Wo. Nggak pa-pa. Tentu saja kangen. Kita sudah lama sekali tidak bertemu. Berapa tahun? Ehm.. delapan tahun ya? Tapi, kangen itu tidak enak. Jadi, sebaiknya tidak usah kangen, hehe...”
“Hehe,,iya,, kangen dengan dirimu memang sangat tidak enak. Tapi aku suka, aku selalu menikmatinya....”
Sungguh. Jika boleh aku mengatakan, perasaanku begitu senang. Jiwo merinduiku. Orang yang namanya kusimpan rapat dalam hatiku hingga hanya aku yang tahu. Jiwo, semoga kamu tidak tahu tentang perasaanku yang satu ini... Aku akan malu jika kamu mengetahuinya...
“Ah, apa iya? Eh,,kapan balik ke Indonesia, Wo?”, kubuat pertanyaan lain untuk mengalihkan pembicaraan kami.
“Aku masih tiga bulan lagi, Ras. Insyaallah. Kalau ada cuti barang sebulan, aku akan pulang. Sudah sangat rindu dengan ibu di rumah. Rindu bermain dengan teman-teman juga”.
“Ehm,,iya. Yang di rumah pasti juga rindu dengan dirimu. Sebaiknya memang kamu pulang jika ada waktu.”
“Kamu juga rindu padaku, Ras?”
“Oh,, hehe...”
“Kok cuma tertawa?”
“Aku... rindu nggak ya, Wo? Hehe... ehm,,sandar berapa hari?
“Di sini hanya 2 hari,, belanja persediaan makanan dan istirahat sebentar untuk awak kapal. Ehm,, Ras. Aku tutup dulu ya,, ini aku di wartel. Lain kali aku hubungi lagi. Jangan ganti nomor lho ya? Hehe...”
“Oh, iya... Baik-baik di sana ya, Wo? Jaga kesehatan, jangan lupa sholatnya!”
“Siap, Laras! Assalamualaikum....”
“Waalaikumsalam...”
Klik. Telepon terputus.
Itu kali pertama kau menghubungiku setelah delapan tahun lewat. Potongan-potongan gambar masa lalu saling berganti seperti sebuah film yang ditayangkan kembali di hadapanku. Aku menikmatinya. Kau yang tertawa, aku yang mengejekmu manja, teman-teman masa kecil yang bergantian menyapa. Ah, kenangan yang selalu terasa manis...
Kau menghubungiku di tempat yang jauh di sana. Jauh di lepas pantai sana. Jiwo... Nama yang kembali menghangatkan hatiku...
***
Hari-hari selanjutnya, aku menunggu panggilan di handphoneku. Kali ini aku sengaja menunggu nomor asing masuk untuk memanggilku. Berharap Jiwo menghubungiku kembali. Sekadar mendengarkan suaranya. Tapi dua hari telah lewat. Artinya, waktu bersandar Jiwo di Cape Town sudah habis. Dan aku telah menunggunya selama itu. Menanti panggilan darinya.
Jiwo mungkin sangat sibuk di sana. Kerja di sebuah kapal yang berkelas internasional tentu sangat menguras tenaganya. Waktu kosong tentu lebih baik jika digunakan untuk beristirahat daripada harus keluar dan melakukan panggilan untukku. Ah, aku menghibur diriku sendiri. Entah untuk apa? Aku sendiri tidak tahu.
Aku sudah menunggunya selama delapan tahun dan rasa-rasanya itu sudah cukup dengan satu kali kesempatan untuk mendengarkan suaranya. Meskipun melalui telepon. Satu kali kesempatan itu ia bercerita tentang rindunya kepadaku. Entahlah,,mengapa bagiku itu sudah cukup. Sudah cukup untuk membalas perasaanku selama ini. Rasa yang kusimpan dalam ruang hatiku yang paling rahasia. Ruang yang selama ini hanya diisi oleh Jiwo dan semua tentangnya. Senyumnya, tawanya, usilnya, nakalnya, suaranya. Semua tentang Jiwo.
***
Waktu tak pernah bisa kuajak untuk berkompromi. Ia bergerak saja meski banyak orang memintanya berhenti barang sejenak. Ia adalah suatu kepastian yang bergerak dengan teratur dan tidak pernah berjalan mundur. Seandainya bisa, aku akan mengajaknya untuk berjalan mundur agar aku bisa menemui masa-masa kecilku di sebuah desa di pesisir pantai ini. Potongan kisah hidup yang tak akan terlupakan selama aku tidak kehilangan ingatanku. Dan aku memang memohon untuk tidak kehilangan memori indah itu.
Jiwo. Nama itu tenggelam, muncul, lalu bergerak menjauh lagi dari hidupku. Ia tidak menghubungiku lagi. Enam bulan telah lewat sejak panggilannya yang pertama dulu. Harus kuakui jika aku rindu. Tapi, aku tak akan mampu mengatakannya jika ia menanyakan rindukah aku padanya selama ini. Aku begitu takut untuk mengakui perasaanku sendiri.
***
Dalam penantianku, aku bertemu dengan seorang pemuda yang menawariku dengan perasaannya. Cinta sederhana yang diberikan oleh pemuda yang juga sederhana. Ia datang dengan cara yang sangat sederhana. Bagiku, hanya kesederhanaan saja yang dimiliki olehnya. Dan kesederhanaan ini tak bisa kutolak seperti aku menolak beberapa pemuda yang ingin memasuki ruang hati. Aku memilihnya. Aku menyukainya sama seperti aku menyukai namanya. Lintang Kelana.
Belum pernah kutemui seorang pemuda seperti dia. Ia tak pernah mengungkapkan cinta secara berlebihan kepadaku. Tak pernah mengatakan cinta tapi matanya begitu tulus memancarkannya. Tak pernah mengatakan rindu tapi bibirnya tulus tersenyum padaku. Dan aku belajar untuk mencintai dan merindukannya dengan cara yang sederhana pula. Jantungku kemudian mulai berlatih untuk berdetak lebih kencang saat memikirkannya. Dan bibirku kemudian mulai fasih untuk menyebut namanya. Tanganku mulai rajin untuk menulis namanya dalam buku catatan yang kupunya. Kali ini aku berani mengungkapkannya. Mengatakan bahwa aku mencintainya. Seorang pemuda pemilik senyum sederhana.
Aku mulai melupakan kisah masa kecilku yang hanya dipenuhi oleh Jiwo.  Aku mulai suka melihat laut dengan Lintang dan membuat diriku mengingat nama Lintang saat melihatnya. Bukan nama yang kukenang sejak kecil dulu. Aku telah memberi janji pada Lintang. Hatinya pun harus kujaga karena sebuah komitmen yang entah bernama apa. Dengannya aku memiliki mimpi yang nyata. Yang bisa kulihat meski baru samar terbaca.
Keluargaku menyukainya. Ia laki-laki sopan dengan apa adanya dia. Ibu dan saudara perempuanku menilainya sebagai seorang laki-laki yang lembut hatinya. Bapakku menilainya sebagai laki-laki yang akan bertanggung jawab untuk hidupku kelak. Aku mulai menikmati kisah ini. Semuanya terasa jelas dan mudah terbaca. Aku belajar untuk semakin mengingatnya dalam ejaan semesta.
***
Adikku berlari menemuiku yang sedang asyik bermain dengan sepupu kecilku di depan rumah. Di tangannya ada handphone milikku. Sebuah lagu masih mengalun merdu sebagai nada deringnya.
“Mbak, ada telepon. Udah berkali-kali bunyi nih,” adikku mengabarkan padaku.
“Dari siapa?”, tanyaku.
Adikku hanya menjawab dengan mengangkat bahunya tanda ia tak tahu siapa peneleponku.
“Halo”, akhirnya kuputus nada dering hapeku dan mencoba menjawab panggilan itu. Dari sebuah nomor asing. Enam digit angka menunjukkan Jakarta sebagai pemilik kode nomor itu.
“Assalamualaikum, Laras”.
Suara itu, tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat.
“Waalaikumsalam. Siapa ini?” Aku mencoba membuat suaraku datar saja.
“Ini Jiwo, Ras. Sudah lupa lagi dengan suaraku, ya?” suaranya sedikit tergelak mengejekku. Ada keceriaan yang kutangkap dari riang suaranya.
Nama itu lagi dan tiba-tiba aku lemas mendengar suaranya memasuki gendang telingaku.
“Jiwo...” suaraku menggantung.
“Iya, Ras. Ini Jiwo. Sekarang aku sudah kembali ke Indonesia. Ini baru keluar dari Bandara Soekarno-Hatta. Rasa-rasanya ingin segera pulang dan sampai di desa kita. Aku senang sekali bisa pulang kembali ke tanah air, Ras.”
Suara Jiwo terdengar begitu bahagia. Ia menceritakan panjang lebar perjalanan pulangnya kali ini. Aku mendengarkan dengan rasa yang tak bisa kuterjemahkan sendiri. Aku hanya tahu bahwa aku pun begitu bahagia dengan kepulangannya. Tapi, aku tak tahu harus bagaimana untuk mengungkapkannya.
“Ras, kamu sehat, kan?”
“Ehm...iya Wo, aku sangat sehat. Kamu juga, kan? Terdengar dari suaramu bahwa kamu begitu sehat...”
“Hahaa...aku alhamdulillah juga sehat. Laras, aku tutup dulu teleponnya ya. Aku mau cari taksi dulu untuk ke kontrakan. Aku mungkin akan di Jakarta dulu sehari, masih ada yang harus diurus baru bisa pulang ke rumah. Aku cuma ingin kamu jadi orang pertama yang tahu kepulanganku ke tanah air kali ini, hehe...”.
“Ehm, iya Wo. Terima kasih sudah mengabariku. Kamu tetap hati-hati di Jakarta. Hati-hati juga pulang ke rumah.”
“Iya, Laras. Insyaallah... aku tutup dulu ya, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Jiwo...”
Klik. Telepon terputus. Tapi tidak dengan debaran jantungku yang masih kencang.
Ada bagian yang seperti berteriak kegirangan atas kepulangan Jiwo kali ini. Dan apa katanya tadi, aku orang pertama yang diberi kabar tentang kepulangannya. Benarkah? Ah, Jiwo... Kau datang lagi setelah payah aku berusaha untuk mengubur setiap bagian tentangmu....
Tapi apa ini, satu ruang kecil di hatiku menginginkan kau datang hanya untuk sekadar melihat dirimu yang sekarang ini? Ah, hatiku...
***
Malam selalu menjadi kekasih para pecinta. Ia adalah waktu bagi orang yang jatuh cinta untuk melukis mimpi dengan memasukkan nama yang tercinta. Membuat mimpi yang akan diwujudkan bersama untuk menjadi nyata. Aku pun begitu. Tahun-tahun terakhir selalu kuhiasi malam dengan memasukkan nama pemudaku di dalamnya. Nama Lintang Kelana. Bayangan tentang sebuah rumah yang akan kami tempati pun seperti sudah terekam dalam mimpi-mimpiku selama ini. tapi tidak dengan malam ini.
Aku terbangun dan bukan wajah Lintang yang kutemukan dalam mimpi malam tadi. Wajah lain yang aku temukan di dalamnya. Wajah yang sudah begitu dekat dan sangat kukenal. Wajah Jiwo dengan senyumnya.
Tuhan, aku takut berkhianat meski hanya hatiku. Lintang... aku ingin sekali menghubungimu saat ini. tapi, akhir-akhir ini kau sangat disibukkan dengan segala kegiatanmu... aku butuh sedikit waktu.

***
Perasaanku semakin menguasaiku. Ini tidak seperti diriku yang biasa memakai logika untuk menyeimbangkannya. Cluster masa lalu yang tiba-tiba datang kembali itu begitu mengganggu dan merayuku untuk memilikinya kembali.
Saat begini biasanya ada Lintang yang menemaniku. Tidak perlu menceritakan semuanya padanya karena hanya dengan melihat ia ada di sini dan melihat mata teduhnya saja aku bisa menemukan diriku lagi. Tapi tidak dengan sekarang. Lintang sedang memenuhi tugasnya di luar kota. Aku yang harus menguatkan diriku sendiri.
Lagu Reason, salah satu soundtrack film Endless Love mengalun dari hapeku. ada sebuah pesan dari Lintang. Ia hadir di saat yang tepat.
“Sedang apa gadisku di sana? Tiba-tiba aku memikirkanmu. Gadisku sehat? Semuanya baik di sana?”
Ah, Lintang. Apa perasaan ini telah bisa kau rasa? aku seperti telah berkhianat padamu. Aku membalas pesannya seperti biasa. Menanyakan kepulangannya agar aku bisa melihat mata teduhnya. Bercanda lagi dengan pesan singkat yang saling kami kirimkan. Dan inilah aku yang ternyata adalah wanita dengan segala rasanya. Aku butuh untuk dikuatkan. Ditemani dan bukan untuk ditinggalkan.
            Lintang, terimakasih telah mengingatkanku lagi tentang ikatan yang ada di antara kita. aku sungguh minta maaf telah lupa sesaat tentang janji ini.
***
            “Langit biru!”, ucapku yang duduk di belakang Lintang di atas sepeda motor. Kami hampir sampai di tempat yang kami tuju. Dia sudah pulang kepada kota ini. kepadaku. Dan aku memintanya untuk menemaniku menengok pantai.
            “Iya, langit cerah. Semoga tidak mendung atau hujan, jadi kita bisa menikmati cuaca hari ini,” Lintang menjawabku sambil sedikit mengeraskan suaranya. Kalah dengan angin.
            Dan selalu begini yang terjadi saat kami mengunjungi pantai. Aku akan diam beberapa saat seperti berdialog sendiri dengan pantai. Dia hanya akan melihatku lalu membuang pandangannya ke laut yang ada di hadapannya. Saat aku mulai bermain dengan laut pun, dia hanya akan menungguku kembali untuk duduk di sampingnya.
            “Laras, kau begitu cinta laut, ya?” aku menoleh kepadanya saat mendengar pertanyaan yang disampaikannya saat aku kembali duduk di sampingnya.
            “He ehm, aku begitu mencintainya. Dia adalah cinta pertamaku”, jawabku sambil kembali melihat laut.
            “Kalau begitu, aku akan jadi langit saja!”. Lintang seperti berbicara sendiri. Ia mengatakannya sambil merebahkan badannya di atas pasir dan melepaskan pandangannya ke langit yang masih biru.
            “Langit? Mas ingin jadi langit? Kenapa?”
            “Karena aku bukan cinta pertamamu. Kalau aku jadi langit, kau tidak perlu melepaskan semua kenangan cinta pertamamu kepadaku karena aku bukan laut yang akan memintamu untuk bermuara padaku. Tapi, kalau aku jadi langit, di mana pun dirimu, sedang apa dirimu, dan bagaimana keadaanmu, aku akan tahu karena aku selalu dapat melihatmu, bahkan dari tempat yang jauh darimu. Aku tahu, kau bisa nyaman hanya dengan melihat langit. Jadi, dengan melihatku kau juga harus menjadi tenang. Bagaimana? Aku bisa kan, menjadi langitmu?”
            Aku memandangnya. Melihat bahwa ia sedang memperlihatkan cengiran khasnya kepadaku. Dan aku menjawabnya dengan senyuman yang membuat hatiku menjadi begitu ringan.
            “He ehm, kalau begitu, Mas jadi langitku saja. Langit yang biru pertanda Mas sedang bahagia, langit yang jingga pertanda Mas sedang merindukanku, Langit yang mendung dan hujan pertanda Mas merindukanku sampai menangis. Haha... Bagaimana?” Aku membalas cengiran khasnya.
“Oh, tidak bisa. Aku tidak pernah menangis, wek...”. Jawaban itu membuat kami saling membuat keusilan seperti biasa. Akan butuh waktu lama bagi kami untuk menyelesaikan obrolan yang berakhir dengan bercanda seperti ini.
Dan langit pun telah menjadi jingga. Aku memandang langit barat dan laut yang masih ada di hadapanku. Aku tersenyum. Ada hembusan nafas panjang yang kukeluarkan. Bukan sebuah keluhan. Tapi, mungkin aku telah membuat sebuah keputusan.
“Gadis manis, mau pulang atau tidak ini?” teriakan Lintang membuyarkan lamunanku senja pada senja ini. Ia sudah siap dengan motornya.
“Ah, iya, Mas ganteng”, aku berlari memenuhi panggilannya.
Langit biru inilah yang mungkin akan menjadi pelabuhan dari seorang gadis pantai. Yang pernah berhenti cukup lama pada laut yang menjadi cinta pertamanya. Aku kembali memandang langit yang telah menjadi jingga. Tersenyum dan berkata, “Semoga ini jawabannya”.
***

1 komentar:

Mas Koko NAyoung mengatakan...

LIke sangat this sekali ....... :) good-good-good, calon best seller jika diteruskan :)