Pesan untukmu,,,

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Anak Semua Bangsa-Pramudya Ananta Toer)

Selasa, Oktober 21, 2008

Senandung Jalanan

Debu mengepul. Pengap rasanya dadaku dan sepertinya sudak penuh sesak dengan asap kendaraan bermotor yang sedari tadi hilir mudik di depanku. Lelahkah aku? Jangan ada yang menanyakan pertanyaan itu padaku. Karena sungguh aku tak bisa menjawabnya. Bagiku, itu pertanyaan tersulit yang harus aku jawab. Kalau ku jawab jujur, itu artinya bisa saja aku mati karena semangat sebagai satu-satunya hal yang aku miliki menjadi kendor. Tapi jika kujawab sebaliknya. Ya… Ya sudahlah tak perlu dibahas. Hidupku harus terus dilanjutkan, bukan?

“Permen…permen…kacang…tahu…”, suara cempreng teman-temanku mengagetkan dan membuyarkan lamunanku. Mungkin sudah lama aku melamun tadi, hari ini aku baru dapat sedikit. Harus kerja keras lagi. Padahal matahari sedang ada di puncaknya. Kalau saja aku bisa tidak ada di jalanan dan berteriak-teriak di sini, mungkin aku bisa berleha-leha sebentar. Mungkin malah bisa menikmati tidur siang. Ah, bodoh sekali aku ini. Mimpi di siang bolong seperti ini. Jelas, aku tak bisa menikmati hal yang seperti itu sekarang ini. Mungkin nanti. Semoga!!

Dengan berlari aku mengejar dan masuk ke salah satu bis yang sedang berhenti. “Permen, Bu,..dingin..dingin..aqua dingin..”. tak ada satu pun penumpang yang merespon. Mungkin malah suaraku yang juga cempreng ini mengganggu waktu tidur mereka di bis ini. Biarlah, aku kan harus mencari rezeki yang mungkin saja Tuhan selipkan di bis ini untukku.

“Permen, Bu..tahu…tahu…aqua dingin…”, aku mengulangi ucapanku lagi. Entah untuk yang ke berapa kalinya. Akhirnya, entah karena terganggu atau apa, ada seorang bapak yang meminta satu botol minuman. “Satu dhek, air minumnya”. Cepat kuserahkan padanya satu botol air minum. Dapat juga rezeki dari bis ini. Ya, lumayan 3000 rupiah. Benar kan? Tuhan menaruh rezeki di sembarang tempat untuk hambanya. Tinggal mau mencari atau tidak. Aku menemukannya di sini. Alhamdulillah.

Bis akan segera melanjutkan perjalanan. Aku harus turun. Sudah siang begini, lebih baik memang aku istirahat dulu. Rasanya segar jika membasuh wajah kotor ini dengan air wudhu.lagipula suasana masjid selalu menawarkan kesejukan tersendiri.

***

Lumayan untuk hari ini. Setidaknya aku pulang dengan penghasilan yang lumayan dan tidak mengecewakan ibuku di rumah. Pasti Ayu juga senang, setidaknya karena kakaknya ini bisa pulang dengan nasi bungkus dengan lauk yang lebih enak. Ya, malam ini aku pulang dengan 3 bungkus dengan nasi dan lauk tempe plus telur goreng. Biasanya, lauk tempe saja yang aku bawa pulang.

“Assalamualaikum…Ibu, Ayu.., aku pulang”. Tumben sekali keadaan rumahku lengang seperti ini. Ke belakang, aku mencari Ibu dan Ayu tapi tidak ketemu juga. Akhirnya, kuputuskan saja untuk menunggu mereka datang. Mungkin mereka sedang pergi atau Ayu menemani Ibu bermain ke rumah tetangga sebelah. Sengaja tidak kususul, badanku berontak ingin istirahat sebentar.

Selesai mandi aku rebahan sebentar. Rasanya nikmat meluruskan punggung setelah sehari bekerja. Itu kalau yang aku lakukan seharian setiap hari pantas disebut sebagai suatu pekerjaan. Bagiku, asal tidak mencuri dan merampok saja, aku berharap bisa berkah.

“Assalamualaikum…”.

“Waalaikumsalam…”, akhirnya yang kutunggu-tunggu datang juga. “Ibu dari mana saja? rumah sepi sekali? Ayu juga ikut, to?”, berondongan pertanyaanku membuat ibuku tersenyum.

“Iya, ini dari rumah Pak Jamal. Tadi adekmu memang ibu ajak, daripada di rumah sendirian. Wong kamu belum pulang”. Aku menyodorkan nasi bungkus yang tadi aku beli. “Wah, Kak Roni dapat rezeki lumayan ya? Lauknya lebih maknyuss..hee…”, sambut adikku saat membuka nasi bungkus bagiannya. “Ya, lumayan tadi. Makanya, habis makan nanti Ayu mijitin kakak ya? Harus mau lho, kalau nggak, kakak tarik nanti nasinya?”, candaku. “Beres bos, tukang pijit akan beraksi setelah perut kenyang hee…”, adikku melanjutkan makan dengan lahapnya.

“Ron, terimakasih ya? Kamu sudah dewasa sekarang, Nak! Sudah mampu menggantikan Bapakmu”, Ibuku tersenyum bijak. Ah, aku bahagia melihat senyumnya. Sifat manjaku kumat, aku langsung saja memeluk ibuku. “Anakmu ini sudah pintar kan, Bu? Tambah cakep lagi hee…”. Ibuku hanya mengelus rambutku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Beginilah hidupku. Mungkin terlalu sederhana bagimu. Tapi begitu indah untuk kujalani. Sejak Bapak tiada, aku mengambil tugas beliau. Latihan untuk memimpin keluarga. Istilah itu kubuat untuk menghibur diriku sendiri. Ya, setiap hari kujanjikan pada Ibu dan Ayu bahwa aku akan memberi kehidupan yang baik untuk mereka. Meski setiap hari harus berlarian di jalanan sambil menyanyikan senandung jalanan. Hidup kami harus dilanjutkan bukan?

Tidak ada komentar: