23 Januari 1998
Hari-hari menjelang pernikahanku semakin dekat. Keluargaku dan semuanya sudah mempersiapkan segalanya. Semuanya diusahakan dengan sangat sempurna. Makanan, dekorasi, undangan yang sudah mulai di sebar, dan penghulu yang sudah dihubungi bapak kemarin sore. Ah, semuanya seperti sudah menungguku untuk melangkahkan kaki menuju kehidupan baruku. Dengan dia, kekasihku.
Hatiku rasanya bergemuruh. Antara rasa bahagia dan bimbang bahwa aku akan menjalani hidup baru dengan seorang pria. Pria yang dulu begitu asing dan tak pernah ada dalam pikiranku. Pria yang baru masuk dalam kehidupanku beberapa tahun yang lalu. Pria yang sederhana dengan adanya dia. Aku mencintainya. Inilah yang kemudian membuatku mantap menjalani sisa kehidupanku dengannya.
Doaku, semoga ini yang terbaik bagi aku dan dia. Masih banyak yang harus kusiapkan untuk hidup bersamanya. Tapi kata orang, jika menunggu terlalu lama untuk satu hal yang baik, tidak baik hasilnya. Meski aku belum sempurna mengetahui apa itu cinta dan bagaimana hidup berkeluarga, aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuknya. Agar ia tak merasa salah memilihku menjadi teman dalam perjalanannya. Agar dia bangga dengan aku sebagai istrinya.
Kami akan belajar bersama tentang arti hidup bersama dengan orang yang mulanya berbeda…
4 Februari 1998
Alhamdulillah. Pernikahanku berjalan dengan lancar. Pernikahan yang sederhaa memang. Kami berdua memakai baju putih. Tak banyak hiasan di sana. Hanya mawar putih yang juga menghiasi jilbab putihku. Ehm,. Suamiku sangat manis di mataku. Apa tadi dia juga menilaiku begitu?
Acara ijab kabul berjalan sangat khidmat. Menetes air mataku ketika mas Sigit mengucapkan kalimat yang disakralkan itu. Aku sudah sah menjadi istrinya. Sekarang dia imamku. Ah, ada amanah baru bagiku mulai hari ini. Aku bukan hanya seorang anak sekarang. Tapi sebagai wanita, aku adalah seorang istri dari seorang pria. Akan kusempurnakan agamaku dengan berbakti padanya. Berkasih sayang, mencintai, menghormati, dan menjaganya. Sigit Putra Atmaja dan Gendhis Putri Ariyani. Dua nama yang indah.
Sekarang dia masih di luar. Karena itulah aku bisa menulis rasaku di buku ini. Buku yang menyimpan cerita panjang kisahku dalam setiap lembarnya. Malam ini adalah yang pertama bagi kami berdua. Semoga berkah Allah untuk malam ini bagi kami berdua.
14 Maret 1998
Sebulan lebih 10 hari. Aku telah menjadi istrinya. Ya, banyak hal baru yang aku temui bersamanya. Tentangnya. Dia tidak setegar seperti yang dilihat orang saat ia di luar sana. Ia manja denganku, bahkan kadang-kadang seperti anak kecil yang sering bergelayutan pada ibunya. Dia sering bergelayutan manja pada pinggangku. Memelukku mesra. Mencium pipiku.
Aku masih belajar menjaganya. Jujur saja, terkadang aku merasa ia begitu mencintaiku dan aku tidak bisa membalas hal yang sama. Tapi, aku mencintainya. Sangat mencintainya. Aku masih harus banyak belajar untuk mengerti dirinya dan menjadi tempat labuhan segala rasanya.
Ada hal lucu saat malam pertama dulu. Aku hampir teriak ketika kudapati ada seorang pria tidur di sampingku. Untung saja aku langsung sadar bahwa aku telah menikah dengannya. Dan aku telah menjadi istrinya. Tersenyum aku jika ingat itu. Ssstt…dia tidak tahu tentang yang satu ini.
22 Mei 1998
Hari ini aku terkejut dengan pertanyaan darinya. Ia menanyakan padaku tentang hatiku. Mas Sigit bertanya alasanku mencintainya. Sebuah pertanyaan yang mengejutkanku. Kami sedang duduk berdua di serambi rumah kami. Memandang dan menikmati senja yang mulai tenggelam ketika pertanyaan itu terlontar dari bibirnya.
“Adek sayang, kenapa Adek setuju menikah dengan Mas? Kenapa Adek mencintai Mas?” Itu pertanyaannya untukku. Mulanya aku tersenyum. Berpikir bahwa Mas Sigit hanya bercanda saja dengan pertanyaannya itu. Tapi, ternyata tidak. Dia menunggu jawaban dariku. Ah, aku merasa aneh dengan pertanyaan itu. Menjawabnya pun aku merasa aneh. Hatiku bertanya apakah ada jawaban untuk pertanyaan itu. Dan apakah untuk mencintainya aku harus memiliki sebuah alasan?
Aku mengatakan padanya bahwa aku tidak punya alasan mencintainya. Ya, aku tak punya jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. ”Aku mencintai hatimu. Aku merasa kenal dengan hatimu”. Itu jawabanku untuk Mas Sigit.
Tapi Mas Sigit hanya mengerutkan keningnya. Itu artiya ia tidak puas dengan jawabanku. Ah, aku serba salah, tak bisa memberi jawaban selain itu. Bagaimana ini, aku memang tidak punya jawaban lain. Kecuali aku mencintainya, cinta hatinya...
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Maka ketika kau tanyakan alasanku itu,,,
Aku tidak punya jawaban atasnya
Aku mencintai hatimu...
Lalu jangan kau tanyakan hati yang mana?
Hati yang tersembunyi di balik dadamu
Aku suka senyummu, sayangku...
Yang bisa membuatku ikut tersenyum,,,
lalu alasan apa lagi?
Aku benar-benar tidak punya alasan lain
Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana...
Bolehkah???
4 Februari 1999
Ternyata hari ini setahun usia pernikahan aku dan dia. Ya, tepat setahun yang lalu. 4 Februari di Masjid Al Hikmah. Air mata haru, bahagia, dan kesadaran akan tanggung jawab yang besar yang akan menanti mengalir dari mata ini ketika dia, Sigit Putra Atmaja mengucap ijab kabul pernikahan kami. Ah, aku bukan anak-anak lagi. Ada amanah yang harus kujalani bersamanya. Membantunya menjadi nahkoda kapal kehidupan kami.
Hari ini tepat setahun. Hanya saja, aku sendiri menunggu Mas Sigit datang, ada kerja di luar sana yang mengharuskan ia tak di rumah hari ini. Alhamdulillah, Mas Sigit tidak lupa dengan hari ini. Tadi ia menelepon dan memberi ucapan padaku. ”Selamat setahun pernikahan, Cinta. Terimakasih untuk semuanya”, begitu ucapnya. Ah, Tuhan...aku mencintainya dengan hatiku, sungguh!!
1 Mei 2003
Awal bulan…
Sejenak aku mundur ke belakang. Kurenungi, kenapa aku memilihmu…?
Belum ku dapat jawaban…
Teringat juga aku pada pertanyaanmu, di bulan ini tapi lima tahun yang lalu. Kenapa aku mencintaimu? Itu pertanyaanmu. Dan jawabku, ‘karena kucinta hatimu. Karena aku merasa kenal dengan hatimu….’ Tapi kau tak puas dengan jawaban itu.
Aku menyerah, karena tak ada jawaban selain itu.
Aku mundur lagi… Ke waktu, saat kita bertemu untuk pertama kali. Jantung ini nakal. Debarannya sangat keras waktu itu. Pertama kali kupikir karena jantungku masih asing denganmu…
Tapi teryata, sampai sekarangpun masih begitu. Berdebar keras saat memikirkanmu, terkadang nyeri jika ingat salahmu…
Dan sekarang,
Aku ada di detik ini, di menit ini. Belum ku dapat jawaban lain jika kau bertanya yang sama. “Aku cinta hatimu, jadi jangan kau buat ia asing dariku…”
23 November 2003
Ada apa denganmu, Mas.....?
Aku merasa kau asing bagiku. Adakah masalah yang tidak bisa diselesaikan bersama? Adakah rahasia yng tersimpan di hatimu? Bukankah sudah kubilang padamu, jangan buat hatimu asing bagiku.
Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan di antara kita, semoga bukan satu hal yang bisa mengganggu hubungan kita.
14 Februari 2004
Apa kabar cinta?
Baikkah? Kuharap selalu begitu...
Apa kabar keluarga? Baik pulakah...
Aku juga hanya bisa berdoa dan berharap, semoga ujian yang sedang melanda ini hanyalah sebuah riak kecil di samudra yang hanya mampu menggoyang sebentar bahtera kota. Karena dengan gelomang dan riak itu mungkin akan semakin mempercepat laju bahtera kita ke tujuannya. Semoga begitu...
Cinta...jemukah kau padaku?
Bosankah kau pada lakuku? Aku yang telah mendampingimu bertahun-tahun ini pasti tak semenarik dahulu. Tak secantik ketika kau ucapkan cinta pertama kalinya di suatu sore yang romantis itu. Badanku juga tak seperti dulu. Sekarang menggembung karena 3 permata hati kita pernah bersatu denganku. Tapi aku selalu tersenyum ketika kau dengan ucap tulus mengatakan ‘kau masih secantik dulu, cinta. Kau adalah bidadari itu yang tercipta untukku”. Kau membuatku tersipu, cinta...
Cinta....
Sapaan itu menjadi terasa akrab karena menjadi panggilan bagi kita masing-masing.
Cinta....
Jangan pernah bertanya karena aku begitu bangga ketika akulah wanita terpilih itu yang kau sunting menjadi bidadari di hidupmu. Menjadi wanita yang kau pilih untuk melahirkan manusia-manusia yang kita harapkan mampu menghiasi dan membangun dunia ini. Syukur dan airmata terurai ketika kau jabat erat tangan penghulu mengucap ijab qobul pernikahan kita. Dan sepenuh hati, janji juga terikat dihatiku untuk melayani dan menghormatimu sebagai suamiku...separo agamaku...
Sekarang...Aku hanya bisa berdoa. Semoga aku juga yang akan dipilih nanti di surga yang akan mendampingimu dan mengalahkan bidadari-bidadari Allah yang lain.
Cinta....Ujian ini, kita akan mampu menjalaninya bukan? Kau akan mendampingiku, kan? Karena aku tidak bisa berjuang sendiri untuk mempertahankan bahtera kita. Bisa oleng dan terbalik atau karam di tengah samudra
Kau akan di sini bukan?
Karena dua permata hati kita sedang ikut berjuang di dalamnya. Aku tak ingin mereka ikut hancur bersama rapuhnya perekat bahtera ini.
Hatimu.....masih hati yang dulu aku kenal bukan??
Mengapa tak beri jawaban??!!
10 Mei 2004
Akhirnya, kita bisa melewati semuanya, cinta...biduk kita selamat dan bisa melaju kembali ke arah tujuannya. Kita, aku san kamu serta dua permata, buah cinta kita. Gelombang ini bisa kita lalui bersama.
Semoga gelombang selanjutnya makin menguatkan kita...amien
11 September 2011
Dan waktu terus berganti. Ia terus bergerak seiring dengan pergantian musim. Di sini, memang hanya ada dua musim. Tapi, dalam istana cintaku selalu ada musim semi. Musim saat cinta antara aku dan suamiku tumbuh subur. Muncul tunas-tunas kecil yang membuat hijau dan indah cintaku. Tak terasa pula ketiga buah cinta kami beranjak remaja dan dewasa. Ya. Mereka bukan kanak-kanak lagi.
Aku bangga dengan keluargaku. Dengan suamiku dan ketiga putra-putriku. Ah, mereka membuatku merasa menjadi wanita yang sempurna. Membuatku ingin memberikan yang terbaik untuk mereka. Menjadikanku wanita yang bahagia. Beribu syukur rasanya tak cukup untuk kusampaikan padaNya. Telah memberiku karunia dan anugerah terindah dengan memasukkan mereka dalam kehidupanku. Syukurku padaMu, Allah.....
Suatu senja yang kunikmati dengan kekasih tercinta....
Sepotong sajak untuk suamiku tercinta, Sigit Putra Atmaja,,,
Bagaimana kalau kita tak bertemu waktu itu...
Bagaimana kalau tak ada senyum waktu itu?
Akankah sekarang akan seperti ini,,,
Kau di samping, menikmati senja yang menua seperti usia kita,,,
Rasanya baru kemarin kulihat senyum itu
Baru kemarin juga kau ucap ijab kabul meminangku...
Tapi ternyata...
Sekarang bahkan cucu-cucu kita yang lucu bisa membuat kita tertawa berdua
Duhai, kau yang bersandar di pundakku...
Tak kuragukan lagi cinta yang telah menemaniku
Terimakasih kuucapkan pada setiamu....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar