Dia...Aku biasa menyebutnya seperti itu. Hanya dengan kata itu. Dia. Sosok dan gambarnya mulai mengganggu sejak usiaku belasan tahun. Antara 15-17 tahunan. Dia mulai hadir dan bersamaku.
Usiaku masih belasan tahun dan kulihat dia dengan senyum manisnya. Manis sekali, karena belum pernah kulihat ada pemuda yang memiliki senyum semanis senyumnya. Dia juga sangat tampan dengan lesung di pipinya. Ehm...bukan dinx!! Dia tidak sangat tampan juga. Hanya saja, mungkin karena dia berwajah cerah dan selalu tersenyum padaku dia kelihatan tampan. Dia, secara sekilas aku menilai, juga terlihat ramah, lembut dan kalem. Ah, nanti aku terlalu banyak bercerita tentang fisiknya. Aku tak mau!!!
Dia kemudian sering hadir menemaniku. Sseperti biasa, memberi senyum termanisnya untukku dan aku selalu terhibur karena itu. Dia selalu datang dengan tiba-tiba dan membawa kebahagiaan tersendiri. Terkadang, ketika aku ingin sekali bertemu dengannya, dia tidak datang meski sebentar untuk memberi senyum manisnya. Tapi, ketika asa itu hampir hilang, dia meyakinkanku bahwa dia ada untukku, dia akan menemaniku.
Pertemuan pertama dengannya. Waktu itu aku berjalan. Perjalanan yang sangat panjang. Sungguh melelahkan. Langit di atasku sangat biru, tak ada awan sama sekali. Anehnya, warna langit biru itu juga tak selamanya, kadang berubah putih dengan awan yang memenuhinya, abu-abu dengan mendungnya dan hitam dengan bintang sebagai penghiasnya. Perjalanan yang meski panjang, tapi aku sangat menikmatinya.
Lalu kutemukan sebuah tempat yang teduh. Ada kali dengan gemericik airnya, jernih dan begitu segar. Aku bermain sebentar di sana. Lalu kulepaskan lelah selama perjalanan, aku bersandar pada sebuah pohon. Nikmatnya menyandarkan punggung benar-benar kusyukuri. Rasanya, ingin kuluruskan punggungku ke tanah jika tidak tiba-tiba kudengar suara halus pemuda.
“Assalamualaikum gadis...apa kau istirahat di sini untuk sejenak saja?” Aku yang tergagap menjawabnya dengan sedikit terbata.
“Waalaikumsalam warahmatullah...ehm, iya. Aku Cuma beristirahat sebentar. Apa ada yang salah jika aku istirahat di sini. Adakah ini tanahmu?” batinku berkata, untung saja aku tadi belum tiduran di sini hee...
“Oh, bukan. Kalau begitu kita sama. Aku juga hanya sedang beristirahat saja di sini. Kalau begitu, mungkin kita bisa melanjutkan perjalanan bersama. Maukah?”
“Oh, memang ke mana tujuanmu? Kita sama-sama masih asing?”
“Bukankah surga adalah tujuanmu. Aku ingin ke sana dan aku ingin dlam perjalanan ini ada seorang yang mendampingiku. Maukah kau jadi sahabatku dalam perjalanan ini?”
“Tentu saja, aku hendak ke sana. Jadi, Insyaallah kita bisa sama-sama”
Entahlah. Tapi aku yang tadi masih merasa asing dengannya sekarang seperti sudah begitu mengenalnya. Dia juga menggandeng tanganku. Ada aliran hangat di sana yang membuatku nyaman.
Sayang, sebelum sampai perjalanan, akuterbangun dari tidurku. Ya, aku hanya bermimpi. Mimpi yang indah. Mimpi yangseperti nyata. Satu hal lagi, aku juga lupa menanyakan siapa namanya. Dan sejak saat itulah aku sering memanggilnya dengan hanya ‘Dia’.
Bukan cuma sekali itu. Untuk selanjutnya, aku masih sering bertemu dengannya. Terkadang, dia mengimamiku sholat. Terkadang juga, dia membimbingku ngaji. Dia masih dengan senyum manisnya, mata damainya dan jenggot tipis di dagunya. Itu membuat dia semakin manis, di mataku.
Dalam dunia nyata, aku sering dibuatnya tersenyum, jika teringat ucapannya, “ maukah kamu menjadi sahabatku menuju surga?” Ah, tentu saja aku mau. Sangat mau. Hanya saja, kenapa dia tidak keluar saja dari mimpi, lalu mengucapkan kalimat itu padaku, di dunia nyata ini. Satu hal juga, kenapa aku selalu lupa menanyakan namanya. Selalu terbangun sebelum aku menanyakan itu.
Terkadang, lama sekali aku tak bertemu dengannya. Sepi. Dan ketika itu, dengan hanya memejamkan mata saja, aku bisa melihatnya tersenyum manis padaku. Hanya saja, terkadang aku merasa wajahnya masih samar. Masih tertutup awan hee...
Dia. Entah siapa dia. Aku lebih senang menganggap kalau dia adalah pemudaku. Pemuda yang akan membimbingku dalam hidup ini. Dia. Entah sedang apa dia sekarang. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Apa juga sedang memikirkan aku seperti ini. Dia. Semoga dia cepat datang dan memintaku pada orangtuaku. Mengucap ijab sah pernikahan. Lalu, seperti mimpi itu, aku dan dia akan bergandengan tangan, saling membimbing, menjaga menuju surga yang didamba.
Ba’da tarawih......
Siapa kamu....???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar