BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semua manusia termasuk mereka yang hidup di daerah terpencil menggunakan bahasa untuk saling berkomunikasi. Bahasa menjadi sangat penting karena apapun yang dilakukan oleh manusia ketika berinteraksi dengan sesamanya adalah dengan media ini. Manusia saling berinteraksi dengan sesamanya dengan berbicara. Berbicara langsung (dengan lisan) dengan saling bertatap muka, berbicara melalui telepon atau mungkin cukup dengan menggunakan fasilitas handphone, dengan sms, misalnya.
Penggunaan bahasa bagi manusia merupakan satu fenomena yang bersifat universal. Banyaknya jumlah bahasa yang ada di dunia menyebabkan munculnya perbedaan-perbedaan di antara bahasa-bahasa tersebut. Perbedaan tersebut antara lain disebabkan karena bahasa merupakan suatu convention (kesepakatan umum) dan bersifat arbitrary (manasuka).
Faktor lain yang menyebabkan perbedaan di antara bahasa-bahasa yang digunakan oleh manusia adalah faktor budaya dan cuaca. Misalnya saja, orang Indonesia yang memunyai budaya menanam padi di sawah telah membuat satu kesepakatan umum mengenai gabah, padi, dan beras untuk menggambarkan budaya menanam padi tersebut. Sementara itu, Perancis yang tidak mengenal budaya menanam padi di sawah hanya mengenal satu kata, yaitu le riz untuk menerjemahkan ketiga kata dalam bahasa Indonesia tersebut. Demikian pula sebaliknya, di dalam bahasa Perancis dikenal kata-kata pinard, vin, dan eau de vie untuk menggambarkan budaya menanam anggur. Tapi tidak dengan bahasa Indonesia yang hanya mengenal satu kata saja, yaitu anggur.
Biasanya, setiap orang hanya mampu berbicara dengan menggunakan satu bahasa saja, yaitu bahasa yang ia peroleh secara otomatis dan wajar karena biasa digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh orang-orang yang berada dalam kelompok masyarakatnya. Ia tidak memahami bahasa-bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi oleh orang yang berada di luar lingkungan kelompok masyarakatnya. Bahasa yang didapatkan pertama dan diperoleh secara alamiah dan wajar sejak lahir ini kemudian disebut bahasa ibu atau bahasa pertama. Sedangkan, bahasa di luar kelompoknya yang kemudian ia kenal dan pelajari menjadi bahasa pengantar baginya yang disebut dengan bahasa kedua. Dalam pembahasan selanjutnya, bahasa kedua dalam tulisan ini mengacu pada bahasa Inggris.
Pemerolehan bahasa selalu berkembang sepanjang hayat. Dari masa bayi sampai manusia dewasa dan tua, manusia akan mengalami perkembangan pada kemampuan bahasanya. Sedangkan, masa yang paling penting dan ideal untuk pengajaran bahasa adalah jika bahasa tersebut diberikan sejak anak masih berusia kanak-kanak.
Berkaitan dengan pembelajaran bahasa, sekarang ini banyak orang tua yang begitu antusias mendaftarkan anaknya untuk mempelajari bahasa Inggris. Alasannya bermacam-macam, agar anaknya pandai berbicara dalam bahasa Inggris, karena globalisasi sampai pada alasan karena adanya gengsi.
Pembelajaran bahasa asing tersebut, terutama bahasa Inggris akhirnya membawa dampak bagi sang anak. Bagi pemerolehan bahasa anak dan juga pada pribadi anak yang menjadi tidak begitu mengenal bahasa Indonesia atau bahkan bahasa daerah sebagai bahasa yang ia kenal pertama kali dalam hidupnya. Lunturnya nilai nasionalisme dan cinta tanah air kemudian menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah ini karena adanya pembelajaran bahasa Inggris yang diberikan kepada anak sejak mereka masih usia kanak-kanak.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh pengajaran bahasa Inggris terhadap pemerolehan bahasa anak?
2. Bagaimana pengaruh pengajaran bahasa Inggris bagi anak terhadap nasionalisme dan kebanggaan pada bahasa Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan pengaruh pengajaran bahasa Inggris terhadap kemampuan bahasa anak.
2. Mendeskripsikan pengaruh pengajaran bahasa Inggris terhadap nasionalisme dan kebanggaan pada bahasa daerah dan nasional, jika bahasa Inggris diajarkan sejak usia kanak-kanak.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Hasil tulisan ini dapat digunakan untuk:
a. mengetahui pengaruh pengajaran bahasa Inggris terhadap pemerolehan bahasa anak,
b. mengetahui pengaruh pengajaran bahasa Inggris terhadap nasionalisme bangsa dan kebanggaan pada bahasa daerah dan bahasa Indonesia,
c. menambah dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang bahasa dan pendidikan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Orang tua
1) Menjadi hal yang perlu diperhatikan ketika akan memberikan pendidikan bahasa asing kepada anak.
2) Membuat orang tua ikut menanamkan rasa cinta tanah air dan budaya Indonesia, seperti bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
b. Bagi Guru
1) Meningkatkan kinerja guru dalam menjalankan profesinya.
2) Menjadi perhatian bagi guru, khususnya guru bahasa Inggris agar dalam proses pengajaran bahasa asing tetap memberikan pengertian dan kebanggan terhadap budaya dan bahasa dalam negeri
c. Bagi Anak(Siswa)
1) Memahami bahwa penguasaan terhadap bahasa asing tidak harus membuatnya melupakan budaya dalam negeri, misalnya terhadap bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
2) Menjaga rasa cinta tanah air dan nasionalisme bangsa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bahasa Indonesia dalam Sejarahnya
Bahasa Indonesia telah menjadi bagian yang panjang dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Sejak ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan bahasa resmi negara pada tanggal 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia memunyai peranan penting bagi bangsa Indonesia. Peran yang besar, baik di masa penjajahan, kemerdekaan maupun masa pembangunan seperti sekarang ini. Bahasa Indonesia mampu mempersatukan bangsa Indonesia dan membuatnya sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bahasa Indonesia pula yang mampu mempersatukan daerah di Indonesia sehingga timbul kesadaran nasional yang menjadi semangat dalam mengusir penjajah dari negeri ini. Perkembangan menjadi sangat pesat waktu itu karena semua orang ingin menunjukkan jati dirinya sebagai rakyat dan bangsa Indonesia.
Meskipun, pada awalnya timbul keraguan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, yaitu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan atau ilmu pengetahuan. Tapi, semangat rakyat dan keinginan untuk bersatu membuat banyak istilah ilmu pengetahuan lahir. Hal ini seperti dijelaskan dalam Kongres Bahasa Indonesia pada tahun 1938 di Solo. Semangat anti Belanda sangat kental dan pertemuan tersebut menghasilkan istilah belah ketupat, jajaran genjang bagi bidang geometri (http://cesarzc.wordpress.com/2007/06/16/ banggalah-berbahasa-indonesia/).
Bahasa Indonesia kemudian terus berkembang, sehingga pada 1953 kamus Bahasa Indonesia yang memuat 23.000 kata muncul untuk pertama kalinya yang disusun oleh Poerwodarminta. Pada tahun 1976, muncul kamus kedua dengan hanya penambahan 1000 kosakata saja, dilanjutkan dengan penyempurnaan ejaan bahasa Indonesia yang pertama pada tahun 1972. pada tahun 1980an terjadi kekhawatiran dari pemerintah karena adanya peledakan ekonomi yang luar biasa hingga membuat banyaknya produk asing yang masuk. Dan pada tahun 1995 terjadi pencanangan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Keterpurukan kembali timbul ketika reformasi terjadi, yaitu dengan maraknya penggunaan bahasa-bahasa asing dan pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa di luarnya. Adanya media ikut mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia yang salah. Apalagi, kalangan remaja dan pelajar memunyai bahasa baru yang merupakan pencampuran antara bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa daerah yang sering disebut dengan bahasa gaul.
Perkembangan bahasa Indonesia selalu mengalami maju-mundur. Perkembangan teknologi membuat penyebaran bahasa Indonesia ke pelosok semakin mudah dan berkembang pesat. Adanya teknologi juga membuat bahasa Indonesia semakin dikenal di masyarakat. Jika pada awalnya, masyarakat Indonesia yang multietnis, multiras, multisuku, dan multiagama susah bergaul, dengan adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan membuat semua elemen tersebut dapat berkomunikasi satu sama lain.
Kemunduran dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia terjadi karena adanya dampak globalisasi dan pengaruh dari negara-negara besar, seperti Amerika Serikat. Pengaruh yang ada telah membuat bahasa Indonesia terpinggirkan, bahkan di negaranya sendiri, di kalangan masyarakat dan pelajar. Masyarakat kita menyepelekan bahasa Indonesia dan mengagungkan bahasa-bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Spanyol, Jepang, Arab, Perancis atau Mandarin. Keadaan yang begitu berlawanan dengan sejarah awal perkembangan bahasa Indonesia, saat para pemuda dan rakyat Indonesia dulu sangat menjunjung nilai-nilai kebangsaan dan budaya bangsa. Satu hal yang menjadi ironi lagi adalah bahwa kasus ketidaklulusan ujian nasional pelajar kita adalah karena menyepelekan pelajaran bahasa Indonesia yang menjadi salah satu mata pelajaran yang diujikan.
Faktor yang menjadi penyebab kemunduran bahasa Indonesia selain globalisasi adalah karena masyarakat kita sendiri yang enggan mempelajari bahasa Indonesia. Masyarakat kita beranggapan bahwa tidak penting untuk mempelajari bahasa Indonesia karena mereka berpikir mereka sudah cukup mampu untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia di negeri ini. Namun, faktanya ternyata penggunaan bahasa Indonesia di sini masih begitu amburadul. Bahkan, tidak jarang kosakata yang masih asing ditelinga kita. Kita lebih akrab dengan kosakata bahasa Inggris daripada kosakata bahasa Indonesia karena jarangnya kata tersebut kita gunakan dalam komunikasi sehari-hari.
Kemudian, jika dihadapkan dengan kondisi yang semacam itu, pemerintah perlu membutuhkan tindakan penjagaan terhadap bahasa Indonesia agar di masa depan bahasa Indonesia semakin berkembang, bukan hanya pada penggunanya tapi juga terjaga dari segi pemakaiannya. Pemerintah dapat membuat peraturan tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dalam acara-acara kenegaraan, televisi dan media cetak. Perilaku bahasa para pejabat dan tokoh panutan masyarakat juga harus dibina sehingga mampu berbahasa dengan lebih baik, benar, demokratis, dan lugas sehingga dapat menjadi teladan masyarakat. Ini untuk memenuhi tuntutan iklim reformasi yang sedang berkembang di negara kita. Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi informasi, dan sosial budaya dalam era globalisasi menuntut bahasa Indonesia untuk semakin meningkatkan mutunya. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan juga harus semakin dibina untuk menghadapi tantangan meluasnya penggunaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris di Indonesia dan dalam pergaulan internasional. Pembinaan yang dilakukan ini diharapkan akan mampu untuk menjadi sarana memanifestasikan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Pemerintah juga harus memperhatikan kurikulum pelajaran bahasa Indonesia sehingga pelajar tidak lagi menganggap remeh pelajaran bahasa Indonesia. Pengajaran bahasa Indonesia perlu dikembangkan secara terencana dan terarah sehingga bahasa lebih dikenal di pentas dunia internasional. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan tetap bangga menggunakan bahasa Indonesia sebab bahasa Indonesia ternyata merupakan bahasa keempat terbanyak yang dipakai di dunia setelah Mandarin, Inggris dan Spanyol (http://cesarzc. wordpress.com/2007/06/16/ banggalah-berbahasa-indonesia/). Bahasa Indonesia memiliki keindahan yang tidak kalah dengan bahasa-bahasa lain di dunia. Bahasa Indonesia memiliki sejarah yang jauh lebih panjang daripada sejarah NKRI sendiri yang muncul karena semangat para pemuda yang kuat dalam usahanya untuk mempersatukan bangsa dan untuk merdeka. Jadi, satu hal penting yang bias digunakan untuk tetap menjaga ‘adanya’ bahasa Indonesia adalah dengan sikap bangga kita menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam setiap laku interaksi kehidupan.
B. Pengajaran Bahasa Kedua
Terdapat dua pendekatan utama dalam pengajaran bahasa, yaitu pendekatan formalis yang mampu bertahan cukup lama dan pendekatan formalis yang berkembang pada tiga dekade terakhir.
Dalam pendekatan formalis, bentuk dan pengajaran bahasa berpusat pada bentuk-bentuk bahasa. Sedangkan pendekatan formalis yang didasarkan pada bidang sosiolinguistik menekankan pada aspek fungsi bahasa.
Sebelum sosiolinguistik lahir, para ahli selalu memperhatikan pada aspek bentuk bahasa. Salah satu definisi tentang bahasa berbunyi “bahasa adalah simbol vokal yang arbitrer yang digunakan manusia untuk berkomunikasi….” (http://www.ialf.edu/bipa/july1999/pengajarandanpemerolehan.html.). Walaupun kata “komunikasi” sudah masuk dalam definisi tersebut, perhatian yang lebih serius tentang pengajaran bahasa untuk komunikasi masih belum terarah dengan baik. Pendekatan formalis telah menghasilkan berbagai metode. Tapi keberhasilan ini masih dipertanyakan karena pengajarannya dianggap terlalu mekanistis dan melupakan faktor komunikasi.
Stephen Krashen (1984) menyatakan bahwa teori pemerolehan bahasa kedua adalah bagian dari linguistik teoritik karena sifatnya yang abstrak. Menurutnya, dalam pengajaram bahasa kedua, yang praktis adalah teori pemerolehan bahasa yang baik (http://www.ialf.edu/bipa/july1999/ pengajarandanpemerolehan.html.).
Istilah pemerolehan bahasa dipakai untuk membahas penguasaan bahasa pertama di kalangan anak-anak karena proses tersebut terjadi tanpa sadar. Sedangkan pemerolehan bahasa kedua biasanya melalui pembelajaran yang dilakukan dengan sadar. Pada anak-anak, kesalahan berbahasa akan dikoreksi oleh lingkungannya secara tidak formal, sedangkan kesalahan bahasa yang dilakukan oleh orang dewasa akan diperbaiki dengan berlatih ulang.
Sebelum menguasai bahasa kedua, ada istilah interlanguage, yaitu bahasa yang mengacu kepada sistem bahasa di luar sistem bahasa pertama dan kedudukannya berada di antara bahasa pertama dan bahasa kedua (Selinker, 1972). Istilah lain yang muncul adalah approximative system dan idiosyncratic dialect. Kajian studinya menghasilkan analisis kesalahan (error analyis) dan membedakannya dengan mistake. Selain itu, ada juga istilah bahasa pidgin, yaitu bahasa campuran yang muncul pada masyarakat pengguna bahasa kedua yang terjadi akibat penerapan dua atau tiga bahasa di dalam percakapan sehari-hari.
Menurut Corder (1973), tahap-tahap perkembangan bahasa antara adalah sebagai berikut:
a. Tahap kesalahan acak
Mula-mula, si belajar berkata “Mary cans dance” tapi kemudian diganti menjadi ”Mary can dance”.
b. Tahap kebangkitan
Pada tahap ini, si belajar mulai menginternalisasi beberapa kaidah bahasa kedua, tapi belum mampu membetulkan kesalahan yang dibuat penutur lain.
c. Tahap sistematik
Si belajar mampu menggunakan bahasa kedua secara konsisten, meski kaidah bahasa kedua belum sepenuhnya dikuasai.
d. Tahap stabilisasi
Si belajar relatif menguasai sistem bahasa kedua dan dapat menghasilkan bahasa tanpa banyak melakukan kesalahan atau telah berada dalam tingkat post systematic.
C. Metode Pembelajaran Bahasa Kedua
Banyak metode atau cara yang bisa digunakan untuk mempelajari bahasa kedua. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihannya antara lain adalah seberapa cepat waktu untuk menguasai bahasa tersebut, lingkungan tempat kita tinggal, dan dana yang mampu kita alokasikan untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa kedua tersebut.
Metode yang sering digunakan dalam pembelajaran bahasa kedua antara lain adalah:
1. pembelajaran di dalam kelas
Dalam pembelajaran yang terjadi dalam ruang kelas ini, guru bias memberikan materi, dorongan atau umpan balik serta bias menjadi partner dalam mempraktikkan kemampuan bahasa kedua kita. Agar pembelajaran berjalan dengan lebih lancar, guru membutuhkan sumber-sumber pembelajaran yang otentik. Hal ini makin dibutuhkan ketika pembelajaran terjadi di negara kita.keotentikan itu ada dalam hal lafal, intonasi, aksen, dan idiom. Untuk alasan ini, guru sebaiknya hanya menggunakan rekaman suara yang dituturkan oleh penutur aslinya. Hindari untuk menggunakan film atau video yang hanya menampilkan keindahan negara penutur bahasa kedua. Selain itu, guru atau pihak sekolah dituntut untuk mampu menyediakan Koran atau majalah dalam bahasa kedua karena merupakan sumber bacaan yang valid dan selalu memberikan informasi terkini mengenai kebuadayaan negara bahasa kedua.
2. pembelajaran otodidak
Metode ini bisa dilakukan dengan memebeli CD atau kaset pembelajaran bahasa kedua. Kelemahannya adalah tidak adanya guru yang membuat tidak ada tempat bertanya bagi siswa jika ingin bertanya.
3. pertukaran bahasa
Metode ini dapat dilakukan dengan mencari korespondensi penutur asli yang ingin belajar bahasa pertama kita. Ini akan menimbulkan pertukaran bahasa, karena keduanya akan sama-sama belajar dalam proses tersebut.
4. melakukan perjalanan atau tinggal selama beberapa waktu di luar negeri
Dengan melakukan hal ini akan membuat si belajar menyadari persamaan dan perbedaan kebudayaan negara sendiri dengan negara yang bahasanya ia pelajari. Selain itu, dengan tinggal di negara asli bahasa kedua akan membuat siswa mempraktikkan kemampuan berbahasa kedua yang ia miliki.
Demikian, metode-metode tersebut dapat digunakan secara sendiri-sendiri atau dengan dikombinasi. Tentu saja dengan cara mengkombinasikan metode yang ada akan semakin mempunyai peluang dalam keberhasilan pembelajaran bahasa kedua (http://www.tnial.mil.id/Majalah/Cakrawala/Artikel Cakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/articleId/174/PEMEROLEHAN-BAHASA-KEDUA.aspx).
D. Peranan Guru sebagai Lingkungan Belajar Bahasa Kedua
Jean piaget sebagai salah satu ahli yang berpegang pada teori kognitif menyatakan bahwa hakikat belajar sesungguhnya adalah interaksi antara individu pebelajar (learner) dengan lingkungan. Kemudian dalam Language Two, Heidy Dulay dkk mengemukakan adanya empat lingkungan makro dan tiga lingkungan mikro yang dapat mempengaruhi proses belajar seseorang.
Lingkungan makro yang dimaksud adalah kealamian bahasa yang didengar, peranan pebelajar dalam komunikasi, ketersediaan alat acuan, dan model bahasa sasaran. Sedangkan lingkungan makro terdiri dari tonjolan (salience), balikan (feedback), dan frekuensi.
Selanjutnya, posisi guru adalah sebagai salah satu tonggak lingkungan. Dalam lingkungan makro, guru dapat berposisi sebagai model dan pada lingkungan mikro guru dapat berperan sebagai pemberi umpan balik bagi siswa. Guru juga berperan sebagai pencipta lingkungan yang kondusif, pemotivasi, dan nara sumber (http://www.ialf.edu/bipa/april2000/perananguru.html). Karena itulah, guru harus mampu menggunakan teknik-teknik mengajar yang khas yang tetap memperhatikan pendekatan komunikatif dan integratif serta tetap memperhatikan konsep pemerolehan bahasa kedua melalui umpan balik terhadap tutur pebelajar sebagai koreksi.
E. Masa Penting bagi Pertumbuhan Anak
Anak adalah aset orang tua yang berharga dan cara orang tua mendidik akan mempengaruhi bagaimana perkembangan mental dan psokologis anak. Untuk itu, harus menjadi perhatian orang tua tentang waktu yang tepat untuk mulai memberikan pendidikan bagi sang anak.
Beberapa fakta tentang otak berdasarkan (http://forumkotasantri.com/ viewtopic.php? p=2194&sid=44bdb59b9901758608b5f79d70aa499b#21944) bisa dijelaskan sebagai berkut:
a. Saat lahir, bayi memunyai 100 miliar sel otak yang belum tersambung. Pada usia 0-3 tahun, terdapat 1000 triliun koneksi (sambungan antarsel). Pada usia inilah, anak mulai bisa diperkenalkan dengan berbagai hal dengan cara yang diulang-ulang. Kegiatan yang bisa dilakukan antara lain dengan mengajarkan bahasa asing seperti bahasa Inggris, memperkenalkan warna, dan memperkenlkan warna benda.
b. Pada usia 6 tahun, koneksi yang terus diulang akan menjadi permanen. Sedangkan koneksi yang tidak digunakan akan terpangkas percuma. Usia ini menjadi waktu yang efektif untuk mengoptimalkan daaya serap otak anak agar tidak terpangkas percuma.
c. Otak yang belum matang rentan terhadap trauma, baik ucapan maupun tindakan yang menyakitkan. Karena itulah, orang tua harus menghindari memarahi atau memukul anak. Jika anak melakukan kesalahan sebaiknya ditegur dengan sopan kemudian diberi teladan tindakan terpuji yang seharusnya dilakukan.
d. Otak terdiri dari dua belahan, yaitu kanan dan kiri yang memiliki fungsi berbeda tapi saling mendukung. Pekerjaan otak kiri berhubungan dengan fungsi verbal, temporal, logis, analitis, rasional, dan kegiatan berpola. Sedangkan otak kanan berhubungan dengan fungsi kreatif, kemampuan bekerja dengan gambar, berfikir intuitif sampai pembentukan moral dan akhlak.
Sistem pendidikan kita pada umumnya cenderung kurang memperhatikan potensi yang terkandung dalam belahan otak kanan. Menurut Bob Eberle, seorang ahli pendidikan, beliau mengungkapkan bahwa prestasi pikiran manusia memerlukan kerja yang terpadu antara belahan otak kiri dan kanan. Peran orang tua tentu menjadi sangat dominan karena dengan berada di dekat anak saja mereka bisa melakukan pendidikan yang dapat membentuk pribadi seorang anak. Dengan mengasuh, bercakap-cakap dan bermain akan membuat orang tua menjadi guru pertama bagi anak. Satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa anak tumbuh dan berkembang dengan sangat pesat sehingga waktu mendidik anak memang harus begitu diperhatikan.
Komunikasi merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam mendidik anak. Anak memunyai pola pikir, pengalaman, dan cara pandang yang sangat berbeda dengan orang dewasa yang membuat orang dewasa sulit memasuki dunia mereka. Andi Yudha Isfandiyar dari Mizan menyatakan bahwa dunia anak-anak berbeda dengan dunia orang dewasa, sehingga perlu menyadari dulu bahwa anak-anak berbeda dengan ‘dunia’ kita. Anak-anak cenderung belajar dari apa yang dilihat, diraba, didengar, dilakukan, dan lainnya. Mereka juga cenderung aktif, dinamis, imajinatif, kreatif, serta ekspresif. Keingintahuannya juga tinggi
Anak-anak lebih efektif belajar melalui gambar, pendengaran, dan gerak. Sedangkan pendidikan lebih efektif jika dilakukan dengan contoh. Dengan menjadikan contoh sebagai kebiasaan akan membuat anak terbiasa melakukan hal yang seharusnya ia lakukan. Saat berbicara dengan anak pun harus menunjukkan sikap kesungguhan dan memberikan kesempatan kepada anak untuk berekspresi dan menyampaikan aspirasinya. Berdiskusi dengan menggunakan ‘bahasa’ anak juga bisa menjadi ransangan yang intensif untuk otak anak, baik otak kiri maupun otak kanan. Hal ini selanjutnya yang akan membantu menentukan kepribadian anak.
Sebagaimana diketahui bahwa proses yang dijalani manusia untuk berbahasa adalah rumit, maka yang membuat anak bisa menguasai proses yang rumit itu adalah karena sejak lahir anak sudah dibekali dengan LAD. Noams Chomsky, ahli bahasa Amerika mengatakan bahwa seorang anak tidak dilahirkan bak piring kosong atau tabularasa. Begitu dilahirkan, ia sudah dilengkapi dengan perangkat bahasa yang dinamakan Language Acquisition Device (LAD). Perangkat ini bersifat universal sehingga dapat dikatakan ia sudah dibekali pengetahuan tertentu tentang bahasa. Anak membutuhkan hal yang digunakan untuk mengembangkan kemampuan berbahasanya untuk mengaktifkan tombol-tombol universal itu. Ini juga yang membuat anak bisa memperoleh bahasa apapun.
F. Kerangka Berpikir
Pengajaran bahasa kedua di Indonesia, dalam tulisan ini adalah bahasa Inggris ternyata dirasakan masih kurang optimal. Hal ini terlihat dari hasil pembelajaran bahasa kedua yang tidak bisa menunjukkan hasil yang cukup bisa dibanggakan. Dalam pembelajaran bahasa Inggris, anak cenderung hanya diberi pengetahuan tentang struktur bahasa kedua saja, tapi kurang diterapkan dalam komunikasi sehari-hari. Akhirnya, anak hanya menerima teori tanpa dibarengi dengan praktik yang mendukung.
Selain itu, pembelajaran bahasa Inggris di negara kita ternyata juga membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap rasa cinta tanah air dan nasionalisme, serta kebanggaan terhadap budaya dan bahasa Indonesia sendiri. Ini menjadi ironis karena bahasa Indonesia menjadi asing di negerinya.
Berdasarkan hal tersebut, perlu perhatian baik dari pihak sekolah, khususnya guru, orang tua, dan kesadaran dari diri anak agar rasa nasionalisme dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia tetap terjaga.
BAB III
METODE PENULISAN
A. Tempat dan Waktu
Penulisan karya tulis ini tidak terikat tempat karena dilakukan dengan cara studi pustaka, yaitu mengkaji sumber-sumber bacaan atau referensi yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Waktu penulisan karya tulis ini mulai dari persiapan sampai pelaporan memerlukan waktu tiga minggu.
B. Bentuk dan Strategi
Penulisan karya tulis ini berbentuk kajian kepustakaan. Teknik ini dilakukan dengan mengkaji dokumen-dokumen, seperti buku-buku, artikel, makalah, dan karya tulis ilmiah lain yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.
C. Sumber Data
Sumber data diperoleh dari dokumen atau arsip. Dokumen-dokumen ini berupa buku-buku yang menunjang materi dan permasalahan yang dikaji serta tulisan daan artikel ilmiah yang didapat dari internet.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah dengan analisis dokumen dan pengamatan fakta di lapangan. Pengamatan dilakukan dengan melihat realitas yang ada tentang pengaruh pengajaran bahasa Inggris bagi pemerolehan bahasa anak dan nasionalisme bangsa. Pengamatan ini dibandingkan dengan teori dan tulisan-tulisan yang sudah ada.
E. Uji Validitas Data
Validitas data diuji dengan melihat fakta di lapangan, opini masyarakat melalui tulisan-tulisan di internet dan kemudian dilanjutkan dengan teori-teori yang ada. Pada tulisan ini menggunakan teknik triangulasi metode yang dilakukan dengan cara pengumpulan data dari dokumen ke pengamatan lapangan, kemudian dilanjutkan kembali ke metode dokumen.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis mengalir (flow model of analyis). Interaksi dengan lingkungan tidak dilakukan dalam penyusunan karya tulis ini. Tetapi, dilakukan kajian pustaka yang tidak melibatkan manusia atau pun benda hidup lainnya. Ada tiga komponen penting dalam teknik ini yang digunakan dalam menganalisis data, yaitu pengumpulan data, display data, dan penarikan kesimpilan atau verifikasi. Ketiga komponen tersebut berjalan mengalir dan berurutan tahap demi tahap.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pemerolehan Bahasa Kedua
Istilah bahasa kedua atau second language digunakan untuk menggambarkan bahasa-bahasa yang pemerolehannya atau penguasaannya dimulai setelah masa anak-anak awal (early childhood), termasuk bahasa ketiga atau bahasa-bahasa lain yang dipelajari kemudian. Dalam istilah lain, bahasa-bahasa yang dipelajari ini juga dikenal dengan istilah bahasa target (target language).
Mempelajari bahasa asing kemudian dianggap sebagai kebutuhan karena adanya saling ketergantungan yang terjadi antara berbagai negara karena adanya globalisasi. Bahasa kedua dipelajari untuk memenuhi keperluan di bidang ekonomi, pendidikan, pariwisata, dan politik.
Proses pemerolehan bahasa kedua tidak sama dengan pemerolehan bahasa kedua. Jika dalam bahasa pertama, siswa belum menguasai bahasa apapun dan bahasa pertama berkembang sesuai dengan perkembangan fisik dan psikisnya. Maka, pada pemerolehan bahasa kedua siswa sudah mampu menguasai bahasa pertama dengan baik dan bahasa kedua berkembang tidak seiring dengan perkembangan fisik dan psikisnya. Bahasa pertama dipelajari secara informal dengan sadar dan motivasi tinggi karena siswa membutuhkannya untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat yang ada dalam kelompoknya. Sedangkan, bahasa kedua dipelajari secara formal dan motivasi yang umumnya tidak terlalu tinggi karena bahasa ini tidak digunakan secara intens untuk berkomunikasi dengan masyarakat sekitarnya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa siswa cenderung lama untuk menguasai bahasa kedua, seperti bahasa Inggris.
Beberapa hal yang menjadi aspek pembelajaran bahasa kedua antara lain adalah:
1) Kemampuan bahasa
Umumnya, saat seseorang ingin mempelajari bahasa kedua, ia akan mengambil pendidikan formal dan melalui tes kemampuan berbahasa yang dilakukan oleh lembaga kursus bahasa untuk menilai seberapa tinggi bakat bahasa yang dimilikinya. Ujian yang seperti ini biasa digunakan untuk memprediksi kemampuan para siswa. Tapi, penilaian tentang kemampuan bahasa dinilai tidak relevan dengan masalah yang dihadapi siswa. Apalagi dengan adanya penelitian yang menyatakan bahwa kemampuan berbahasa tidak dapat dirubah.
2) Usia
Belajar bahasa kedua saat usia telah dewasa memang terasa lebih sulit. Tapi mereka yang belajar bahasa kedua setelah dewasa dapat mencapai keberhasilan yang cukup tinggi. Hanya saja, pebelajar dewasa tidak akan mampu merubah aksen mereka seperti para penutur asli karena aksen orang dewasa adalah aksen bahasa pertama yang sulit dirubah. Kelebihan pebelajar dewasa adalah ketika mereka belajar dengan terjun langsung ke lapangan mereka akan lebih cepat menguasai bahasa kedua daripada anak-anak. Hal ini dikarenakan otak orang dewasa lebih matang dan orang dewasa memiliki pengalaman berbahasa yang lebih dibandingkan dengan anak-anak.
3) Strategi yang digunakan
Strategi yang efektif akan memberikan hasil yang lebih maksimal pada pembelajaran bahasa kedua. Strategi yang sering digunakan adalah strategi belajar dan berkomunikasi. Strategi belajar adalah strategi yang digunakan untuk meningkatkan hasil belajar bahasa kedua, seperti penggunaan kamus dan siaran-siaran TV yang menggunakan bahasa kedua. Sedangkan strategi berkomunikasi adalah cara yang digunakan untuk berkomunikasi antara penutur asli dengan siswa yang sedang belajar bahasa kedua jika terjadi kebuntuan, misalnya dengan mimic dan isyarat tangan.
4) Motivasi
Motivasi berkaitan erat dengan tingkat keberhasilan seseorang dalam pembelajaran bahasa kedua. Ini karena siswa yang memiliki motivasi tinggi akan sukses dan kesuksesannya akan semakin meningkatkan motivasinya. Salah satu hal yang mempengaruhi motivasi adalah guru dalam kelas yang juga dapat menjadi motivator bagi siswa.
Dalam proses pemerolehan bahasa kedua, aspek-aspek tersebut harus diperhatikan dan dimanfaatkan dengan maksinal agar bahasa kedua dapat mencapai hasil yang maksimal.
B. Bahasa Inggris di Indonesia
Penggunaan bahasa Inggris telah menjadi perdebatan panjang sejak masa Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun 60-an. Bangsa kita masih terombang-ambing antara mengadopsinya menjadi bahasa kedua atau menganggapnya sebagai bahasa asing. Karena jelas, antara keduanya akan muncul perlakuan yang berbeda.
Di negara kita, belajar bahasa Inggris diyakini akan dapat meningkatkan kerja para pegawai. Bangsa kita juga meyakini bahwa dengan belajar bahasa Inggris akan membuat negara kita menjadi negara yang maju di era globalisasi ini. Karena itulah, penguasaan bahasa Inggris kemudian menjadi syarat yang penting agar seseorang dapat lulus dalam ujian menjadi pegawai. Tapi, yang terjadi di negara kita adalah ternyata dengan masuk lembaga pendidikan bahasa Inggris yang paling bergengsi sekalipun tidak menjadi syarat mutlak yang membuat kita mampu mendongkrak kemampuan berbahasa Inggris.
Anggapan bangsa kita yang seperti itu sebenarnya adalah anggapan yang keliru. Kita seharusnya mengambil falsafah orang Jepang yang dalam belajar bahasa kedua mereka beranggapan ‘get the content, leave lhe language behind’ (dapatkan ide yang ada dalam bahasa tersebut dan tinggalkan bahasa asing tersebut). Mereka berkeyakinan bahwa tanpa menguasai bahasa Inggris pun, mereka akan sanggup menjadi bangsa yang besar. Dengan menterjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan ke dalam bahasa sendiri tentu akan lebih membawa manfaat karena akan lebih mudah dibaca oleh masyarakat kita, daripada harus sibuk membaca buku-buku barat dengan menyanding kamus besar bahasa Inggris.
Di negara kita, kemampuan penggunaan bahasa Inggris juga belum dimanfaatkan dengan optimal bagi mereka yang sudah menguasai bahasa kedua ini. Masyarakat atau orang yang menguasai bahasa tersebut cenderung tidak mampu menggunakan kemampuannya untuk ikut mengembangkan masyarakat sekitarnya. Jadi, kemampuan itu hanya untuk kepentingan pribadinya, misalnya saja dalam ekonomi dan politik. Lalu bagaimana dengan anggapan bahwa menguasai bahasa Inggris mampu membuat bangsa kita maju sedangkan fakta yang terjadi di lapangan seperti itu? Penguasaan bahasa Inggris harus dibersamai dengan aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat agar terasa manfaatnya. Jadi, bukan hanya untuk sekedar memenuhi gengsi kita atau ‘keren-kerenan’.
C. Pengajaran Bahasa Asing di Sekolah Dasar
Polemik di negara kita yang berkaitan dengan bahasa asing memang masih menjadi bahan kajian yang panjang. Misalnya, dengan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar.
Secara pedagogis, pembelajaran bahasa asing sejak usia dini mungkin tepat sasaran karena usia kanak-kanak memang menjadi waktu yang tepat untuk memberikan pendidikan bahasa. Tapi, ketika yang diajarkan adalah bahasa asing, apakah ini menjadi cara yang tepat sasaran? Karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa hal ini semakin membuat eksistensi bahasa Indonesia semakin terpinggirkan dalam fungsinya sebagai bahasa nasional. Anak-anak mengalami gangguan dalam kemampuannya untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Anak-anak sekarang lebih suka berbicara dengan bahasa asing yang diyakini membuat mereka lebih ‘keren’.
Beberapa pendapat tentang pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar adalah sebagai berikut, seperti dikutip dalam artikel “Perlukah Pengajaran Bahasa Asing di Sekolah Dasar, 28 agustus 2005”
a. Tomandar: “Saya setuju saja, asal dalam pelaksanaannya jauh dari kesan mengintimidasi anak untuk bisa. Begitu seharusnya kemampuan berbahasa tumbuh. Semacam pengenalan begitu lah…..Mudah-mudahan tidak menjadikan anak ‘miskin’ bahasa Indonesia. Toh, sehari-hari mereka justru akan lebih banyak bersentuhan dengan bahasa Indonesia. Bahasa ibunya tetap bahasa Indonesia (atau bahasa daerahnya). Saya belum melihat dampak negatif apa yang mungkin timbul dari ini.”
b. Hizbullah: “Saya malah kepikiran untuk selain bahasa asing perlu juga dikenalkan sama si anak bahasa daerah…..asal di manage dengan baik saya rasa hal tersebut sangat berguna mengingat pengetahuan akan bahasa itu mencakup budaya sesuatu, katakanlah, bangsa atau adat istiadat daerah tertentu….Toh, namanya juga sekolah dasar, kalo kita pahami konsep pendidikan dan pengajaran, ingat bahwa Ki Hajar Dewantara tidak pernah melepaskan konsep pendidikan dengan pengajaran secara sendiri-sendiri di dalam wacana pendidikan formalnya, maka sekolah dasar diperuntukkan lebih pada pemberian dasar-dasar bagi seseorang demi pendidikan lanjutnya.”
c. Fertob: “Saya termasuk orang yang tidak setuju pengajaran bahasa asing di sekolah dasar. Tapi, ada alasannya:
Yang kita bicarakan adalah ‘memasukkan pelajaran bahasa asing ke dalam kurikulum sekolah dasar’. Hal ini karena kemampuan anak-anak SD secara nasional itu tidak merata. Kita tidak bisa memasukkan pelajaran bahasa Inggris ke dalam kurikulum SD karena sesuai dengan perkembangan di kota Jakarta, sedangkan anak-anak di Papua bahkan masih belum mengerti apa itu kloset, helikopter, wastafel, dll. Jadi, karena kemampuan yang belum merata itulah yang membuat pelajaran bahasa asing secara nasional adalah hal yang sia-sia. Tapi, kalau bicara kurikulum swasta, itu lain persoalan.
Masih berkait dengan nomor 1. Banyak yang lupa bahwa kemampuan-kemampuan dasar yang diperlukan di SD adalah menghitung, membaca dan menulis. Di SD-lah, khususnya tahun-tahun awal, kemampuan itu yang menjadi dasar dalam pelajaran-pelajaran yang mereka dapatkan. Anak mulai belajar membaca sejak di SD, anak mulai belajar menghitung sejak di SD, termasuk kemampuan bahasa dalam hal ini adalah kemampuan dia mengembangkan bahasa nasional (Indonesia). Yang penting dari SD adalah bagaimana anak bisa mengembangkan kemampuan dasarnya dalam berbahasa Indonesia, karena itu adalah bahasa ibunya. Bahasa asing janganlah menjadi elemen lain yang mengganggu proses berbahasa itu. Minimal sampai kemampuan kognitif anak mampu untuk melalui proses berbahasa itu dengan baik (banyak yang bilang kelas ¾ SD, tapi itu juga ada teorinya.
Banyak pendapat yang muncul berkenaan dengan pengajaran bahasa Inggris yang diberikan sejak usia SD. Pengajaran bahasa asing di Indonesia cenderung digunakan untuk memberikan pengetahuan bahasa asing saja tanpa memberikan petunjuk dan pembinaan kepada anak tentang urgensi bahasa ibu sendiri. Jadi, setelah mampu menguasai bahasa Inggris, anak akan meremehkan bahasa Indonesia atau bahasa daerah dan mengagungkan bahasa Inggris. Faktanya, itulah yang terjadi di lapangan.
Dan inilah yang harus diluruskan, yaitu tentang berbagai kekeliruan yang terjadi dalam pembelajaran di sekolah tingkat dasar. Menurut Saiful Anam, Alumni IKIP Malang yang mantan pegawai GATRA, dalam bukunya yang berjudul “Jangan remehkan Taman Kanak Kanak: Taman yang Paling Indah”, menyatakan bahwa kekeliruan pengajaran baca-tulis-hitung di TK disebabkan oleh 3 faktor. Pertama, kebanggaan orang tua jika anaknya yang masih duduk di bangku TK sudah mahir calistung. Kedua, ketidakpahaman pengelola maupun guru TK tentang hakikat pendidikan sehingga pembelajaran di TK sudak dikondisikan seperti di SD. Ketiga, ada beberapa SD yang over acting dengan memberlakukan tes calistung, sehingga memaksa guru TK untuk mengajarkan dan melakukan ujian calistung agar anak bisa masuk SD favorit. Hal-hal inilah yang patut diperhatikan oleh tenaga-tenaga pendidik sehingga otak anak yang masih belum matang itu tidak terlalu dibebani dengan hal-hal yang terlalu memforsir kinerja otak. Karena masa anak kecil adalah masa mereka mencari pengalaman dengan rabaan, dengaran, dan penglihatan mereka.
D. Nasionalisme dan Pengajaran Bahasa Inggris
Realita yang aneh terjadi di negara kita. Berkaitan dengan bahasa Inggris, bangsa kita terlalu mengagungkan ketika seseorang mampu menguasai bahasa Inggris begitu juga dengan pengajaran bahasa Inggris. Di negara kita, akan lebih mudah kita jumpai orang yang dapat berkomunikasi dengan bahasa Inggris daripada di negara Jepang, karena masyarakat Jepang memang lebih bangga menggunakan bahasa asli yang mereka miliki daripada bahasa asing. Berbeda dengan masyarakat kita.
Sering juga ditemukan orang yang berbicara dengan bahasa campuran, mencampuri bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Meskipun, tidak salah dengan menguasai bahasa asing, tapi jangan membuat kita ikut dan mengagungkan bahasa asing tersebut di atas bahasa kita. Kita harus menjaga sikap cinta tanah air dan bangga pada produk anak negeri. Bahasa dan budaya yang ada di Indonesia adalah contoh karya anak bangsa yang harus dilestarikan dan dijaga eksistensinya.
Satu hal yang membedakan kenapa bahasa Inggris mampu menjadi bahasa internasional dan tidak dengan bahasa Indonesia adalah karena mereka mempunyai jati diri dan mampu mempertahankan yang seharusnya mereka pertahankan. Dan inilah yang belum dimiliki oleh bangsa kita. Bangsa kita belum mampu menunjukkan jati diri sebagai bangsa Indonesia sehingga kehilangan identitas dirinya di kancah pergaulan internasional.
Pembelajaran bahasa Inggris juga harus diperhatikan dalam pelaksanaannya agar tujuan pembelajaran yang ada tetap dapat tercapai secara maksimal. Dan di sisi lain, pembelajaran yang dilakukan tidak melunturkan semangat nasionalisme dan bangga terhadap bahasa dan budaya Indonesia pada pemuda kita.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Bahasa adalah sarana yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan saling berinteraksi dalam kelompok masyarakatnya. Dengan media bahasa pula, manusia dapat memahami dan mengetahui gagasan yang dimiliki orang lain juga mengungkapkan konsep yang sebelumnya masih abstrak.
Selain terdapat kelompok pertama yang bahasanya langsung dapat dikuasai anak, terdapat kelompok di luarnya yang mempunyai bahasa tersendiri. Hal ini terjadi karena bahasa bersifat arbitrer dan merupakan kesepakatan umum dari kelompok pemakai bahasa tersebut. Bahasa yang dimiliki kelompok kedua ini selanjutnya disebut sebagai bahasa kedua. Manusia perlu mempelajarinya jika ingin berkomunikasi dengan masyarakat pengguna bahasa kedua agar komunikasi yang ada berjalan lebih lancar.
Pembelajaran bahasa kedua kemudian diberikan untuk memenuhi kebutuhan ini. Dampak yang timbul karena pembelajaran bahasa kedua diberikan sejak usia kanak-kanak antara lain membuat pemerolehan bahasa pada anak-anak bertambah. LAD sebagai perangkat bahasa yang diperoleh anak sejak lahir akan menjadi lebih aktif sehingga meningkatkan pemerolehan bahasa anak. Dampak yang lain adalah pembelajaran bahasa kedua yang diberikan sejak usia dini dapat mempengaruhi kebanggaan anak-anak pada bahasa Indonesia atau bahasa daerah sebagai bahasa pertama (bahasa ibu). Rasa nasionalisme dan cinta tanah air selanjutnya menjadi hal yang dipertaruhkan karena pembelajaran bahasa kedua dibersamai dengan globalisasi yang membawa arus ide, paham, dan budaya asing dengan sangat mudah.
B. Implikasi
Adanya pembelajaran bahasa kedua (bahasa Inggris) yang diberikan sejak usia kanak-kanak menimbulkan pendapat-pendapat yang berbeda di beberapa kelompok masyarakat kita. Ada yang menganggap penting untuk memberikan bahasa kedua sejak dini pada anak tanpa memperhatikan aspek yang lain (nasionalisme). Ada yang menganggap bahwa masa kanak-kanak tidak boleh dicekoki dengan pembelajaran yang berat, seperti bahasa Inggris. Dan golongan yang lain mengatakan bahwa pembelajaran bahasa kedua dapat diberikan, tapi tetap dengan memperhatikan aspek psikologis, mental, dan nasionalisme anak terhadap budaya dan bahasa negeri sendiri. Hal ini dikarenakan kecenderungan yang terjadi adalah setelah anak-anak mendapat dan menguasai bahasa kedua, ia akan menggunakan bahasa kedua dengan mengesampingkan bahasa pertama. Atau, bahasa kedua yang mereka dapatkan membuat mereka menggunakan bahasa campuran antara bahasa pertama dan bahasa kedua.
C. Saran
Pembelajaran bahasa kedua selain membawa pengaruh positif, yaitu mampu meningkatkan pemerolehan bahasa anak, ternyata juga memberikan pengaruh negatif bagi perkembangan bahasa anak. Yaitu mampu melunturkan semangat nasionalisme dan sikap bangga pada bahasa dan budaya sendiri. Pembelajaran bahasa kedua juga berperan pada rendahnya kemampuan anak tentang bahasa pertama.
Hal inilah yang kemudian layak untuk diperhatikan oleh orang tua saat memutuskan untuk memberikan pembelajaran bahasa bagi anak. Perkembangan otak dan psikologi anak harus menjadi hal yang dipertimbangkan sebelum memutuskan. Guru sebagai pendidik dan pengajar juga harus tetap menanamkan pengertian tentang pentingnya bahasa pertama di atas bahasa kedua agar tetap menjaga kebanggaan pada tanah air sendiri. Sedangkan anak sebagai pebelajar harus menyadari juga bahwa bahasa kedua tidak lantas membuat mereka melupakan budaya sendiri. Siswa di tengah arus globalisasi harus tetap menjaga sikap nasionalisme agar tidak terombang-ambing dan tetap memiliki jati diri sebagai bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar