Pesan untukmu,,,
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Anak Semua Bangsa-Pramudya Ananta Toer)
Selasa, Oktober 21, 2008
Cerita Indah....
Ternyata hari ini setahun usia pernikahan aku dan dia. Ya, tepat setahun yang lalu. 14 November di Masjid Al Hikmah. Air mata haru, bahagia, dan kesadaran akan tanggung jawab yang besar yang akan menanti mengalir dari mata ini ketika dia, Latief Kusuma Arifin mengucap ijab kabul pernikahan kami. Ah, aku bukan anak-anak lagi. Ada amanah yang harus kujalani bersamanya. Membantunya menjadi nahkoda kapal kehidupan kami.
Hari ini tepat setahun. Hanya saja, aku sendiri menunggu Mas Latief datang.
***
Dan waktu terus berganti. Ia terus bergerak seiring dengan pergantian musim. Di sini, memang hanya ada dua musim. Tapi, dalam istana cintaku selalu ada musim semi. Musim saat cinta antara aku dan suamiku tumbuh subur. Muncul tunas-tunas kecil yang membuat hijau dan indah cintaku. Tak terasa pula ketiga buah cinta kami beranjak remaja dan dewasa. Ya. Mereka bukan kanak-kanak lagi.
Kemal beranjak dewasa dengan badannya yang tinggi gagah. Ia mewarisi senyum manis ayahnya. Tak ayal ia menjadi pusat perhatian gadis-gadis seusianya. Ya, pemuda kami itu sekarang telah berusia 20 tahun. Usia yang benar-benar membuat pemuda kelihatan gagah dan sekaligus usia yang rentan dengan masalah-masalah hati. Nisa, gadis manis yang tangguh untuk seukurannya. Gadisku telah menginjak usia 18 tahun. Ia sedang berada di akhir-akhir masa sekolah di SMA. Tentu saja, ia meyakinkan aku dan mas Latief bahwa ia akan menjadi kebanggaan kami saat pengumuman kelulusan terpampang. Sekarang ini Nisa sedang menenggelamkan dirinya dalam soal-soal latihan ujian. Tentu saja karena ujian tinggal empat bulan lagi. Tapi, jangan ditanya juga, ia tetap aktif dalam kegiatan sekolah dan sering jadi tempat bertanya adik kelasnya. Putriku juga telah memilih target PTN yang ingin dimasuki selepas SMA. Katanya, ia ingin kuliah sama kakaknya. Amien. Aku dan Mas Latief selalu mendukung langkah tersebut dan menebarkan doa di dalamnya.
Lain lagi dengan anakku yang terakhir, si lincah Laila. Ia menjadi gadis yang sangat energik. Ia tidak bisa diam dan selalu mencari aktifitas. Karena itulah seabrek kegiatan dan predikat ia sandang. Sama dengan Nisa, Laila juga memasuki masa-masa akhir di SMP. Aku melihat diriku dalam dirinya, Citra kecil, gurau suamiku jika ia mendengar dan melihat tingkah polah Laila. Seperti obrolan usai makan malam itu saat semua permata hatiku bisa berkumpul,
“Laila sayang, tadi kata Nur kamu habis berantem ya disekolah?”, tanyaku membuka percakapan di antara kami.
“Ehm...memang Nur cerita apa bu?”, jawabnya lumayan kaget karena waktu itu ia sedang melihat televisi.
“Lho, ibu tanya kok malah balik nanya. Hayoo, dijawab dulu dong sayang?”,
“Ehm... ya, bu. Tapi Laila ga salah kok. Laila cuma pengen jujur aja. Andre yang nakal dan usil. Nyontek waktu ulangan. Padahal tadi kan ulangan penting buat kelulusan nanti”, jawab Laila dengan panjang lebar. Aku tahu ia tidak berbohong. Apalagi dengan jawaban yang sepanjang itu. Meski Laila pintar, ia bukan tipe anak yang pintar ngeles. Aku tersenyum mendengar jawabannya.
“Dik Laila masih nakal to rupanya? Katanya mau latihan jadi gadis kalem?”, goda Kemal dengan senyum manisnya pada Laila.
“Ih, kok Mas Kemal gitu. Bener kok. Aku ga bohong. Kalem kan ada waktunya hee....ya kan, Bu”, jawab Laila seraya menghambur ke pangkuanku. Ia memang tetap gadis kecilku yang manja.
“Iya sayang, tapi jangan keseringan lho. Mending tadi dilaporkan saja sama pak guru. Ga usah pake acara berantem segala”, jawabku sambil mengelus rambut hitamnya.
“Iya lho dek, nanti kamu kapan jadi kalemnya kalau berantem terus. Kan mau SMA lho”, sahut Nisa yang dari tadi masih konsen melihat TV.
“Ehm, udah kok. Tadi dah taklaporkan ke pak guru. Si Andre ketahuan akhirnya. Kalau masalah kalem nanti kan bisa belajar sama ibu. Ya kan Ibuku sayang”, ia merayuku sambil memainkan mata dan bibirnya. Aku hanya tersenyum, tapi Mas Latief malah mengomentarinya, “Laila memang seperti ibu kalian waktu masih kecil dulu. Ga mau diem kalau ada yang salah. Cuma sering nangis juga “, ungkap Mas Latief sambil main mata denganku dan menebarkan senyum manisnya ke anak-anak. Tentu saja anak-anak jadi tertarik dan bertanya balik. Aku hanya mengangguk dan tersenyum pada mereka.
“Tapi, akhirnya gadis energik itu ngaku kalah juga dengan ayah kalian ini. Dan mau hidup bersama dengan ayah yang tampan ini”, lanjut suamiku. Kontan saja anak-anak jadi ramai sendiri. Tepuk tangan dan ciuman Laila mendarat di pipiku. Ah, suasana yang begini indah. Aku tak ingin kehilangan satu detikpun bersama mereka, suami dan anak-anakku. Istana cintaku.
***
Malam dihiasi dengan rintik gerimis sejak sore. Keluargaku tetap hangat dengan hati yang terselimuti oleh cinta. Aku tahu, bahagia tidak akan selamanya. Tapi sebisa mungkin aku dan suamiku bersama dengan ketiga buah cinta kami akan mengatasi masalah yang ada bersama-sama. Menikmati setiap problem kehidupan yang ada.
“Sayang kok di sini. Ditutup gordennya. Sudah malam juga kok. Tuh, anak-anak sudah tidur”, suara lembut suamiku membuyarkan lamunanku yang dari tadi menikmati gerimis lewat jendela.
“Ya, Mas. Ini juga mau ditutup gordennya kok”, jawabku. Dari belakang suamiku memelukku mesra. Aku sangat hafal dengan kehangatan dan nafas yang telah memberiku cinta di lebih separo hidupku ini. Ia pasti memelukku dengan senyum manis di bibirnya.
Aku berbalik, balas memeluknya. Sebentar kemudian ia mencium keningku. Hangat terasa di sana. “Terimakasih, Cinta”, ujarnya dengan tatapan sayang.
“Aku mencintaimu, Mas. Semoga titipan ini bisa kita jaga dan menambah kebahagiaan kita”, jawabku setelah memberi ciuman kecil padanya.
Ah, malam-malam yang hangat penuh dengan cinta menjadi penghias rumah tanggaku. Membuat semakin subur cinta antara aku dan suamiku. Sepasang anak manusia yang sedang mengeja makna cinta dan kehidupan.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar