Bibir pantai ini masih sama.
seperti belasan tahun yang lalu. Saat awal-awal aku mulai menikmatinya untuk mengenangmu. Mengingat setiap kluster waktu yang pernah terlewat
dengan senyuman. Masa-masa terindah dalam usiaku yang menginjak 23. Bukan
masa-masa SMA seperti sebuah lagu yang sering didendangkan. Tapi adalah masa
ketika usiaku belum meninggalkan usia dalam ukuran satuan. Sebelum melepaskan
usia 11. Waktu aku masih asyik bermain denganmu. Di pantai ini. Di laut ini.
Kurebahkan punggungku. Telentang
menghadap langitku yang biru. Ah, biru. Aku selalu menyukai warna itu. Karena
warna laut juga biru. Air laut yang menyentuh bibir pantai ini juga menyentuh
punggungku. Menyentuh setiap bagian tubuhku. Seandainya aku bisa berenang,
mungkin aku akan masuk ke dalam lautmu. Menyelam dan mengintip sebentar
duniamu. Tapi aku tidak bisa dan memilih telentang di sini, di bibir pantaimu.
Kugenggam sedikit pasir basah yang mengelilingi tubuhku. Andai, aku bisa
menggenggam mimpiku itu seperti ini. Andai aku bisa menggenggam tanganmu
seperti ini. Tapi, aku selalu tak bisa. Aku memilih untuk melepasmu. Selalu. Kupejamkan
mata untuk merasai hadirmu. Itulah aku pada beberapa tahun lalu.
***
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam... Siapa ini?” Sebuah nomor
asing masuk dalam handphoneku. Nomor yang sama sekali tidak kukenal karena 6
digit nomor di awal tidak kukenal dari daerah mana.
“Ini aku. Ini Laras. Larasati? Bener?” Suara
seorang laki-laki. Suara yang mengembalikanku pada sebuah memori yang jauh.
Tapi, aku masih samar mengenalnya. “Iya. Ini Laras. Tapi ini siapa ya? Nomornya
tidak ada di handphoneku. Maaf, beberapa kali ganti nomor.”
“Ini aku, Ras. Jiwo. Masih ingat, nggak?
Ehm,,,”
Kali ini aku terdampar pada sebuah lorong
waktu yang kusimpan rapat dalam hatiku. Jiwo. Nama itu...
“Jiwo? Jiwo...teman SD-ku? Bener, Jiwo temen
SD-ku?” Bibirku mengucapkan pertanyaan beruntun untuk penelponku. Sedangkan
pikiranku masih asyik untuk membongkar kenangan pada lorong waktu. Tak perlu
membuka paksa pintu waktu itu karena aku sering membuka pintu ini jika aku
merinduinya. Rindu pada penghuninya. Rindu pada Jiwo.
“Hehe... alhamdulillah, masih diingat sama
Laras. Bagaimana kabarnya, Ras?”
“Aku alhamdulillah baik, Wo. Kamu bagaimana?
Sekarang di mana? Kok tiba-tiba menghubungiku? Dapat nomorku dari mana?” Pertanyaan
beruntun masih saja keluar dari bibirku. Aku sedikit malu.
“Aku juga baik. Sehat, Ras. Aku dapat nomormu
dari tetanggaku. Teman adikmu. Sekarang di mana, Ras?”
“Aku di Yogya, Wo. Kamu di mana sekarang?”
Sedikit demi sedikit mulai kukuasai suaraku sendiri. Menatanya agar menjadi
lebih tenang. Aku malu jika Jiwo menyadari suaraku yang lebih bersemangat dari
pertama tadi.
“Aku di Cape Town sekarang, Ras. Di Afrika.
Kapal sedang bersandar beberapa hari. Tiba-tiba mengingatmu. Jadi, kutelepon
dirimu. Aku... mengganggumu tidak?”
“Cape Town? Wah,, sedang keliling dunia
rupanya! Mengapa tak kau ajak diriku? Hehe... Tentu saja tidak mengganggu.
Seorang teman yang jauh di sana mengingatku. Tentu aku malah senang... Semoga
lancar perjalanannya, Wo.”
“Amin. Makasih, Ras. Setelah ini, kapalku
akan berlayar lagi dan kembali ke Jepang. Begitu baru bisa kembali ke
Indonesia. Aku sudah kangen. Kangen ibu di rumah, kangen bapak. Aku kangen kamu
juga, Ras.”
Deg... Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Kok diam, Ras. Aku salah omong ya? Aku
memang kangen dirimu. Boleh, to?”
“Ah, nggak, Wo. Nggak pa-pa. Tentu saja
kangen. Kita sudah lama sekali tidak bertemu. Berapa tahun? Ehm.. delapan tahun
ya? Tapi, kangen itu tidak enak. Jadi, sebaiknya tidak usah kangen, hehe...”
“Hehe,,iya,, kangen dengan dirimu memang
sangat tidak enak. Tapi aku suka, aku selalu menikmatinya....”
Sungguh. Jika boleh aku mengatakan,
perasaanku begitu senang. Jiwo merinduiku. Orang yang namanya kusimpan rapat
dalam hatiku hingga hanya aku yang tahu. Jiwo, semoga kamu tidak tahu tentang
perasaanku yang satu ini... Aku akan malu jika kamu mengetahuinya...
“Ah, apa iya? Eh,,kapan balik ke Indonesia,
Wo?”, kubuat pertanyaan lain untuk mengalihkan pembicaraan kami.
“Aku masih tiga bulan lagi, Ras. Insyaallah.
Kalau ada cuti barang sebulan, aku akan pulang. Sudah sangat rindu dengan ibu
di rumah. Rindu bermain dengan teman-teman juga”.
“Ehm,,iya. Yang di rumah pasti juga rindu
dengan dirimu. Sebaiknya memang kamu pulang jika ada waktu.”
“Kamu juga rindu padaku, Ras?”
“Oh,, hehe...”
“Kok cuma tertawa?”
“Aku... rindu nggak ya, Wo? Hehe...
ehm,,sandar berapa hari?
“Di sini hanya 2 hari,, belanja persediaan
makanan dan istirahat sebentar untuk awak kapal. Ehm,, Ras. Aku tutup dulu ya,,
ini aku di wartel. Lain kali aku hubungi lagi. Jangan ganti nomor lho ya?
Hehe...”
“Oh, iya... Baik-baik di sana ya, Wo? Jaga
kesehatan, jangan lupa sholatnya!”
“Siap, Laras! Assalamualaikum....”
“Waalaikumsalam...”
Klik. Telepon terputus.
Itu kali pertama kau
menghubungiku setelah delapan tahun lewat. Potongan-potongan gambar masa lalu
saling berganti seperti sebuah film yang ditayangkan kembali di hadapanku. Aku
menikmatinya. Kau yang tertawa, aku yang mengejekmu manja, teman-teman masa
kecil yang bergantian menyapa. Ah, kenangan yang selalu terasa manis...
Kau menghubungiku di tempat yang
jauh di sana. Jauh di lepas pantai sana. Jiwo... Nama yang kembali
menghangatkan hatiku...
***
Hari-hari selanjutnya, aku
menunggu panggilan di handphoneku. Kali ini aku sengaja menunggu nomor asing
masuk untuk memanggilku. Berharap Jiwo menghubungiku kembali. Sekadar
mendengarkan suaranya. Tapi dua hari telah lewat. Artinya, waktu bersandar Jiwo
di Cape Town sudah habis. Dan aku telah menunggunya selama itu. Menanti
panggilan darinya.
Jiwo mungkin sangat sibuk di
sana. Kerja di sebuah kapal yang berkelas internasional tentu sangat menguras
tenaganya. Waktu kosong tentu lebih baik jika digunakan untuk beristirahat
daripada harus keluar dan melakukan panggilan untukku. Ah, aku menghibur diriku
sendiri. Entah untuk apa? Aku sendiri tidak tahu.
Aku sudah menunggunya selama
delapan tahun dan rasa-rasanya itu sudah cukup dengan satu kali kesempatan
untuk mendengarkan suaranya. Meskipun melalui telepon. Satu kali kesempatan itu
ia bercerita tentang rindunya kepadaku. Entahlah,,mengapa bagiku itu sudah
cukup. Sudah cukup untuk membalas perasaanku selama ini. Rasa yang kusimpan
dalam ruang hatiku yang paling rahasia. Ruang yang selama ini hanya diisi oleh
Jiwo dan semua tentangnya. Senyumnya, tawanya, usilnya, nakalnya, suaranya.
Semua tentang Jiwo.
***
Waktu tak pernah bisa kuajak
untuk berkompromi. Ia bergerak saja meski banyak orang memintanya berhenti
barang sejenak. Ia adalah suatu kepastian yang bergerak dengan teratur dan
tidak pernah berjalan mundur. Seandainya bisa, aku akan mengajaknya untuk
berjalan mundur agar aku bisa menemui masa-masa kecilku di sebuah desa di
pesisir pantai ini. Potongan kisah hidup yang tak akan terlupakan selama aku
tidak kehilangan ingatanku. Dan aku memang memohon untuk tidak kehilangan
memori indah itu.
Jiwo. Nama itu tenggelam, muncul,
lalu bergerak menjauh lagi dari hidupku. Ia tidak menghubungiku lagi. Enam
bulan telah lewat sejak panggilannya yang pertama dulu. Harus kuakui jika aku
rindu. Tapi, aku tak akan mampu mengatakannya jika ia menanyakan rindukah aku
padanya selama ini. Aku begitu takut untuk mengakui perasaanku sendiri.
***
Dalam penantianku, aku bertemu
dengan seorang pemuda yang menawariku dengan perasaannya. Cinta sederhana yang
diberikan oleh pemuda yang juga sederhana. Ia datang dengan cara yang sangat
sederhana. Bagiku, hanya kesederhanaan saja yang dimiliki olehnya. Dan
kesederhanaan ini tak bisa kutolak seperti aku menolak beberapa pemuda yang
ingin memasuki ruang hati. Aku memilihnya. Aku menyukainya sama seperti aku
menyukai namanya. Lintang Kelana.
Belum pernah kutemui seorang
pemuda seperti dia. Ia tak pernah mengungkapkan cinta secara berlebihan
kepadaku. Tak pernah mengatakan cinta tapi matanya begitu tulus memancarkannya.
Tak pernah mengatakan rindu tapi bibirnya tulus tersenyum padaku. Dan aku
belajar untuk mencintai dan merindukannya dengan cara yang sederhana pula.
Jantungku kemudian mulai berlatih untuk berdetak lebih kencang saat
memikirkannya. Dan bibirku kemudian mulai fasih untuk menyebut namanya.
Tanganku mulai rajin untuk menulis namanya dalam buku catatan yang kupunya.
Kali ini aku berani mengungkapkannya. Mengatakan bahwa aku mencintainya.
Seorang pemuda pemilik senyum sederhana.
Aku mulai melupakan kisah masa
kecilku yang hanya dipenuhi oleh Jiwo. Aku
mulai suka melihat laut dengan Lintang dan membuat diriku mengingat nama Lintang
saat melihatnya. Bukan nama yang kukenang sejak kecil dulu. Aku telah memberi
janji pada Lintang. Hatinya pun harus kujaga karena sebuah komitmen yang entah
bernama apa. Dengannya aku memiliki mimpi yang nyata. Yang bisa kulihat meski
baru samar terbaca.
Keluargaku menyukainya. Ia
laki-laki sopan dengan apa adanya dia. Ibu dan saudara perempuanku menilainya
sebagai seorang laki-laki yang lembut hatinya. Bapakku menilainya sebagai
laki-laki yang akan bertanggung jawab untuk hidupku kelak. Aku mulai menikmati
kisah ini. Semuanya terasa jelas dan mudah terbaca. Aku belajar untuk semakin
mengingatnya dalam ejaan semesta.
***
Adikku berlari menemuiku yang
sedang asyik bermain dengan sepupu kecilku di depan rumah. Di tangannya ada
handphone milikku. Sebuah lagu masih mengalun merdu sebagai nada deringnya.
“Mbak, ada telepon. Udah berkali-kali bunyi
nih,” adikku mengabarkan padaku.
“Dari siapa?”, tanyaku.
Adikku hanya menjawab dengan mengangkat
bahunya tanda ia tak tahu siapa peneleponku.
“Halo”, akhirnya kuputus nada dering hapeku
dan mencoba menjawab panggilan itu. Dari sebuah nomor asing. Enam digit angka
menunjukkan Jakarta sebagai pemilik kode nomor itu.
“Assalamualaikum, Laras”.
Suara itu, tiba-tiba jantungku berdetak lebih
cepat.
“Waalaikumsalam. Siapa ini?” Aku mencoba
membuat suaraku datar saja.
“Ini Jiwo, Ras. Sudah lupa lagi dengan
suaraku, ya?” suaranya sedikit tergelak mengejekku. Ada keceriaan yang
kutangkap dari riang suaranya.
Nama itu lagi dan tiba-tiba aku lemas
mendengar suaranya memasuki gendang telingaku.
“Jiwo...” suaraku menggantung.
“Iya, Ras. Ini Jiwo. Sekarang aku sudah
kembali ke Indonesia. Ini baru keluar dari Bandara Soekarno-Hatta. Rasa-rasanya
ingin segera pulang dan sampai di desa kita. Aku senang sekali bisa pulang
kembali ke tanah air, Ras.”
Suara Jiwo terdengar begitu
bahagia. Ia menceritakan panjang lebar perjalanan pulangnya kali ini. Aku
mendengarkan dengan rasa yang tak bisa kuterjemahkan sendiri. Aku hanya tahu
bahwa aku pun begitu bahagia dengan kepulangannya. Tapi, aku tak tahu harus
bagaimana untuk mengungkapkannya.
“Ras, kamu sehat, kan?”
“Ehm...iya Wo, aku sangat sehat. Kamu juga,
kan? Terdengar dari suaramu bahwa kamu begitu sehat...”
“Hahaa...aku alhamdulillah juga sehat. Laras,
aku tutup dulu teleponnya ya. Aku mau cari taksi dulu untuk ke kontrakan. Aku
mungkin akan di Jakarta dulu sehari, masih ada yang harus diurus baru bisa
pulang ke rumah. Aku cuma ingin kamu jadi orang pertama yang tahu kepulanganku
ke tanah air kali ini, hehe...”.
“Ehm, iya Wo. Terima kasih sudah mengabariku.
Kamu tetap hati-hati di Jakarta. Hati-hati juga pulang ke rumah.”
“Iya, Laras. Insyaallah... aku tutup dulu ya,
Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Jiwo...”
Klik. Telepon terputus. Tapi
tidak dengan debaran jantungku yang masih kencang.
Ada bagian yang seperti berteriak
kegirangan atas kepulangan Jiwo kali ini. Dan apa katanya tadi, aku orang
pertama yang diberi kabar tentang kepulangannya. Benarkah? Ah, Jiwo... Kau
datang lagi setelah payah aku berusaha untuk mengubur setiap bagian tentangmu....
Tapi apa ini, satu ruang kecil di
hatiku menginginkan kau datang hanya untuk sekadar melihat dirimu yang sekarang
ini? Ah, hatiku...
***
Malam selalu menjadi kekasih para
pecinta. Ia adalah waktu bagi orang yang jatuh cinta untuk melukis mimpi dengan
memasukkan nama yang tercinta. Membuat mimpi yang akan diwujudkan bersama untuk
menjadi nyata. Aku pun begitu. Tahun-tahun terakhir selalu kuhiasi malam dengan
memasukkan nama pemudaku di dalamnya. Nama Lintang Kelana. Bayangan tentang
sebuah rumah yang akan kami tempati pun seperti sudah terekam dalam
mimpi-mimpiku selama ini. tapi tidak dengan malam ini.
Aku terbangun dan bukan wajah Lintang
yang kutemukan dalam mimpi malam tadi. Wajah lain yang aku temukan di dalamnya.
Wajah yang sudah begitu dekat dan sangat kukenal. Wajah Jiwo dengan senyumnya.
Tuhan, aku takut berkhianat meski
hanya hatiku. Lintang... aku ingin sekali menghubungimu saat ini. tapi,
akhir-akhir ini kau sangat disibukkan dengan segala kegiatanmu... aku butuh
sedikit waktu.
***
Perasaanku semakin menguasaiku. Ini
tidak seperti diriku yang biasa memakai logika untuk menyeimbangkannya. Cluster
masa lalu yang tiba-tiba datang kembali itu begitu mengganggu dan merayuku
untuk memilikinya kembali.
Saat begini biasanya ada Lintang
yang menemaniku. Tidak perlu menceritakan semuanya padanya karena hanya dengan
melihat ia ada di sini dan melihat mata teduhnya saja aku bisa menemukan diriku
lagi. Tapi tidak dengan sekarang. Lintang sedang memenuhi tugasnya di luar
kota. Aku yang harus menguatkan diriku sendiri.
Lagu Reason, salah satu soundtrack
film Endless Love mengalun dari hapeku. ada sebuah pesan dari Lintang. Ia
hadir di saat yang tepat.
“Sedang apa gadisku di sana? Tiba-tiba
aku memikirkanmu. Gadisku sehat? Semuanya baik di sana?”
Ah, Lintang. Apa perasaan ini
telah bisa kau rasa? aku seperti telah berkhianat padamu. Aku membalas pesannya
seperti biasa. Menanyakan kepulangannya agar aku bisa melihat mata teduhnya. Bercanda
lagi dengan pesan singkat yang saling kami kirimkan. Dan inilah aku yang
ternyata adalah wanita dengan segala rasanya. Aku butuh untuk dikuatkan. Ditemani
dan bukan untuk ditinggalkan.
Lintang,
terimakasih telah mengingatkanku lagi tentang ikatan yang ada di antara kita.
aku sungguh minta maaf telah lupa sesaat tentang janji ini.
***
“Langit
biru!”, ucapku yang duduk di belakang Lintang di atas sepeda motor. Kami hampir
sampai di tempat yang kami tuju. Dia sudah pulang kepada kota ini. kepadaku. Dan
aku memintanya untuk menemaniku menengok pantai.
“Iya,
langit cerah. Semoga tidak mendung atau hujan, jadi kita bisa menikmati cuaca
hari ini,” Lintang menjawabku sambil sedikit mengeraskan suaranya. Kalah dengan
angin.
Dan
selalu begini yang terjadi saat kami mengunjungi pantai. Aku akan diam beberapa
saat seperti berdialog sendiri dengan pantai. Dia hanya akan melihatku lalu
membuang pandangannya ke laut yang ada di hadapannya. Saat aku mulai bermain
dengan laut pun, dia hanya akan menungguku kembali untuk duduk di sampingnya.
“Laras,
kau begitu cinta laut, ya?” aku menoleh kepadanya saat mendengar pertanyaan
yang disampaikannya saat aku kembali duduk di sampingnya.
“He
ehm, aku begitu mencintainya. Dia adalah cinta pertamaku”, jawabku sambil
kembali melihat laut.
“Kalau
begitu, aku akan jadi langit saja!”. Lintang seperti berbicara sendiri. Ia mengatakannya
sambil merebahkan badannya di atas pasir dan melepaskan pandangannya ke langit
yang masih biru.
“Langit?
Mas ingin jadi langit? Kenapa?”
“Karena
aku bukan cinta pertamamu. Kalau aku jadi langit, kau tidak perlu melepaskan
semua kenangan cinta pertamamu kepadaku karena aku bukan laut yang akan memintamu
untuk bermuara padaku. Tapi, kalau aku jadi langit, di mana pun dirimu, sedang
apa dirimu, dan bagaimana keadaanmu, aku akan tahu karena aku selalu dapat
melihatmu, bahkan dari tempat yang jauh darimu. Aku tahu, kau bisa nyaman hanya
dengan melihat langit. Jadi, dengan melihatku kau juga harus menjadi tenang. Bagaimana?
Aku bisa kan, menjadi langitmu?”
Aku
memandangnya. Melihat bahwa ia sedang memperlihatkan cengiran khasnya kepadaku.
Dan aku menjawabnya dengan senyuman yang membuat hatiku menjadi begitu ringan.
“He
ehm, kalau begitu, Mas jadi langitku saja. Langit yang biru pertanda Mas sedang
bahagia, langit yang jingga pertanda Mas sedang merindukanku, Langit yang
mendung dan hujan pertanda Mas merindukanku sampai menangis. Haha... Bagaimana?”
Aku membalas cengiran khasnya.
“Oh, tidak bisa. Aku tidak pernah
menangis, wek...”. Jawaban itu membuat kami saling membuat keusilan seperti
biasa. Akan butuh waktu lama bagi kami untuk menyelesaikan obrolan yang
berakhir dengan bercanda seperti ini.
Dan langit pun telah menjadi
jingga. Aku memandang langit barat dan laut yang masih ada di hadapanku. Aku tersenyum.
Ada hembusan nafas panjang yang kukeluarkan. Bukan sebuah keluhan. Tapi,
mungkin aku telah membuat sebuah keputusan.
“Gadis manis, mau pulang atau
tidak ini?” teriakan Lintang membuyarkan lamunanku senja pada senja ini. Ia
sudah siap dengan motornya.
“Ah, iya, Mas ganteng”, aku
berlari memenuhi panggilannya.
Langit biru inilah yang mungkin
akan menjadi pelabuhan dari seorang gadis pantai. Yang pernah berhenti cukup
lama pada laut yang menjadi cinta pertamanya. Aku kembali memandang langit yang
telah menjadi jingga. Tersenyum dan berkata, “Semoga ini jawabannya”.
***
1 komentar:
LIke sangat this sekali ....... :) good-good-good, calon best seller jika diteruskan :)
Posting Komentar