Pembangunan berbagai gedung tinggi dan modern di kota Solo menyisakan polemik bagi beberapa golongan yang mengaku tidak setuju karena ada beberapa hal yang telah dilanggar dalam pembangunan tempat-tempat tersebut. Masyarakat pun mengajukan beberapa keberatan hingga usulan untuk menghentikan proyek yang berjalan. Namun, pemerintah kota tetap keukeuh melanjutkan proyek yang telah berjalan.
“Kami pernah melempari pembangunan Solo Paragon waktu pertama kali proyek itu berlangsung. Kami tidak setuju dengan pembangunan gedung yang terlalu tinggi itu”, ujar Nur Muhamad Fadhillah, warga RT 2/RW II, Mangkubumen. Dia adalah salah satu warga yang tinggal di daerah yang berdekatan dengan lokasi Solo Paragon didirikan. Tepat di samping bawah bangunan. Diakui warga sekitar bahwa pembangunan Solo Paragon banyak menuai masalah di belakangan hari.
Suasana pembangunan yang ramai jelas mengganggu kegiatan sehari-hari warga yang ada di sekitar lokasi proyek. Sampah dan debu adalah masalah yang tidak dapat dihindari. “Nah, itu Mbak. Seperti sampah yang sedang beterbangan itu jadi masalah buat kami”, ucap seorang bapak tua sambil menunjuk sampah yang beterbangan dari gedung yang direncanakan berlantai 24 itu. Permasalahan yang lain adalah sinyal antena TV yang terganggu karena gedung yang ada di samping rumah mereka memiliki ketingian yang jauh melebihi ketinggian rumah mereka. “Dulu, sebelum ada pembangunan Paragon sinyal antena TV kami baik-baik saja, jadi buruk setelah ada gedung tinggi itu”, ungkap warga kesal.
Pembangunan Solo Paragon menuai konflik sejak pertama kali mulai dilaksanakan. Setelah pernah berhenti sejak pertama kali pembangunannya, proses pembangunannya mulai dilaksanakan kembali sekitar Februari 2008 lalu. Warga yang pada awalnya sulit diajak kerja sama pun belakangan mulai mundur teratur dengan menerima proses pembangunan gedung tersebut. “Warga dulu sangat teguh menolak pembangunannya, tapi ya karena warga cuma rakyat kecil. Kami butuh uang untuk beli susu anak-anak kami, Mbak. Sempat saya dengar isu juga ada 200 ribu rupiah per kepala keluarga dulu”, jelas Nur. “Tapi saya ya ndak tahu pasti karena saya juga tidak menerimanya. Mungkin juga itu cuma isu”, tambahnya. Selanjutnya, ia juga menyampaikan bahwa ada tawaran untuk bekerja di sana (Solo Paragon, red) bagi beberapa warga. “Yang seperti itu kan biar kami ga teriak-teriak lagi, Mbak. Jadi, ya begitu cara membungkam kami”.
DKS Angkat Suara
Pemerintah Kota Solo yang dirasa sangat mudah memberikan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk bangunan tinggi dan modern di kota Solo pun mendapat tanggapan dari aktivis Dewan Kesenian Surakarta (DKS) dan Forum Penegak Keadilan dan Kebenaran (FPKK). Menurut mereka, pembangunan gedung-gedung tinggi tersebut akan mempertebal rasa kekalahan orang Jawa. “Orang Jawa menggunakan Keraton Kasunan sebagai panutan. Sekarang malah sudah tertutup dengan adanya gedung-gedung tinggi tersebut. Gedung tinggi lain yang sedang berada dalam proses pembangunan adalah Solo Center Point dan Kusuma Mulia Tower.
”Bangunan itu tingginya lebih dari 20 lantai, padahal di Solo masih ada Keraton dan juga Mangkunegaran. Jika dilihat dari estetika ini bisa tidak tepat,” ungkap Ketua FPKK Ismu Wardoyo dalam sebuah sidang gugatan kepada Joko Widodo, Walikota Solo. Isi gugatan tersebut adalah bahwa FPKK meminta walikota mengkaji ulang IMB tiga apartemen tersebut untuk izin peruntukannya dan ketinggian bangunan. Kuasa hukum FPKK Bambang J Guntoro SH menegaskan, salah satu gugatan adalah soal ketinggian dan izin peruntukan tiga apartemen tersebut.
Dalam kasus tersebut FPKK juga menggugat Walikota senilai Rp 50 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk pemugaran situs cagar budaya di Solo. Mengenai penggugatan tersebut salah satu budayawan Solo, Sabar Narimo menyatakan, “Menurut saya, kalau masalah bisa diselesaikan dengan dialog dan bicara baik-baik tidak perlu ada hal-hal seperti penggugatan itu. Saya pikir, Joko Widodo seharusnya membicarakan perihal pembangunan gedung-gedung tersebut kepada elemen masyarakat termasuk budayawan di dalamnya. Ini supaya tidak ada kesalahpahaman dan pertanyaan hingga menelurkan aksi gugat-menggugat”.
Selama ini, peraturan tentang tinggi gedung di daerah kota Solo memang belum diatur dalam suatu peraturan tertentu. “Tapi, Solo masih memiliki Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Tinggi gedung yang melebihinya akan membuat sangat tidak etis”, ungkap para budayawan dalam sidang penggugatan terhadap Joko Widodo tersebut.
Karakter orang Solo masih lemah
“Kebudayaan bukan hanya tentang bahasa dan aneka situs yang dimiliki oleh masyarakat. Tetapi, budaya adalah masyarakat itu sendiri”, tutur Sabar menjelaskan tentang makna sebuah kebudayaan. “Masyarakat jelas tidak dapat dipisahkan dari budaya itu sendiri karena memang sudah menjadi bagiannya”, tambahnya. Perubahan yang terjadi dalam suatu kebudayaan dapat terjadi karena ada pengaruh dari luar. Dapat terjadi proses ketika sebuah kebudayaan baru merupakan hasil dari penggabungan budaya lama yang terkena unsur-unsur budaya masyarakat pendatang. Atau dapat pula terjadi kebudayaan yang benar-benar baru karena masyarakat yang didatangi tidak dapat mempertahankan unsur-unsur dan nilai kebudayaan yang dimilikinya.
“Dan masyarakat kita (masyarakat Solo, red) saya pikir masih seperti itu”, ungkap Sabar. “Dalam penilaian yang saya lakukan, masyarakat lebih menyukai hal-hal yang berbau modern. Saya pikir mereka sudah banyak yang lupa tentang budaya berpakaian orang Jawa atau bagaimana berbahasa Jawa. Mereka juga pasti sulit menggunakan aksara Jawa”, tambahnya. Hal inilah yang menurut Sabar akan membuat masyarakat Solo menjadi bukan orang Solo lagi. Kepribadian masyarakat Solo dirasa belum terlalu kuat untuk menerima gelombang modernisasi yang begitu kuat dengan munculnya berbagai bangunan baru dengan arsitektur yang modern dan ketinggian yang mencakar langit. “Kebudayaan mana yang ingin kita pertahankan, karakter kita sendiri saja masih lemah”, lanjutnya.
Hal yang senada diungkapkan pula oleh Nur, warga Mangkubumen yang tinggal tepat di samping bawah lokasi Solo Paragon didirikan. “Solo belum butuh gedung, apartemen atau hotel yang setinggi itu”. Pembangunannya dirasa kurang memenuhi aspek transparasi. “Warga sama sekali tidak tahu apakah pembangunan gedung-gedung itu menggunakan APBD atau APBN. Berapa juga besarnya”. Dengan roman yang mulai kesal ia menambahkan, “Toh, yang memakai gedung-gedung itu juga sedikit yang warga Solo. Kebanyakan orang luar kota yang membawa budaya baru yang cenderung mengurangi nilai dan budaya Solo”. Hal tersebut diamini juga oleh Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNS Solo, Dr Drajat Tri Kartono MS. Dalam sebuah kesempatan ia menyatakan, ”Kota Solo yang luas wilayahnya sekitar 44 km2 sebenarnya tidak perlu pusat perbelanjaan modern berupa mal. Sebab, Solo sudah memiliki 38 pasar tradisional yang sesungguhnya sudah bisa mencukupi kebutuhan masyarakat”. “Semestinya, pemerintah mengembangkan pasar-pasar tradisional dengan fasilitas layak dan manajemen yang modern”, tambahnya.
1 komentar:
saya bingung nieh, antara kebudayaan vs hukum.
ada sebagian nilai masyarakat yang sudah menjunjung tinggi sejak lama harus menyerah dengan hukum.
misalnya pembangunan soloparagon ditentang banyak masyarakat solo karena dinilai kuwalat ketinggian bangunan tersebut melebihi sanggabuwono.
sebenarnya dalam perda bangunan sendiri tepatnya perda nomor 8 th 1988 kalo g salah sudah diatur ketinggian bangunan max 20 lantai, tp kenyataannya walikota tetap mengeluarkan imb paragon pd desember 2008. untuk menutupinya walikota membuat perda bangunan baru th 2009 yang membolehkan bangunan maks 30 lantai. nah kalo dipikir2 ada sedikit permainan di birokrasi. permasalahaannya kalo ntar muncul bangunan baru yang lebih dari 30 lantai, apakah pemerintah jg akan mudah mudah memberi imb, dan merubah perda lagi.
nah yang saya tanyakan sebenernya apa sieh makna sangga buwono itu sendiri koq sebagian masyarakat berpendapat smua bangunan yang ada d solo tdk boleh melebihinya? apa ada mitos tersendiri?
Posting Komentar