Gunung Bromo dan Gunung Batok dari Matigen |
Mimpi-mimpi itu. Ide-ide gila itu keluar lagi dari pikiranku dan keluar saja di ruang kecil bersekat itu. Rumah keduaku selama aku di kota perantauan ini. Keinginan untuk berpetualang masih begitu kental dalam pikiranku. Dan kalimat itu terlontar begitu saja. “Yuk, Backpackeran. Tujuan kita Bromo. Liburan semester ini, bulan Juli.” Waktu itu beberapa penghuni sekre yang sedang asyik dengan pekerjaan mereka merespon dengan aneka rupa. Ada yang mengatakan kalau objek kejauhan, ada yang hanya tersenyum. Dan beberapa menjawab, “Ayuk, Mbak.” Dan mimpi itu, keinginan itu terealisasi pada 15-17 Juli kemarin.
Aku dengan 7 teman akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Bromo pada tanggal tersebut. Beberapa waktu sebelumnya aku mencari informasi lewat dunia maya. Itu karena semua yang akan berangkat belum memiliki pengalaman untuk pergi ke Bromo. Besarnya biaya, lokasi, akomodasi, dan situasi objek yang ingin kami tuju masih belum bisa kami prediksi. Karena itulah, informasi yang kami dapatkan pun masih cenderung separo-separo. Tapi semuanya tidak menyurutkan niat kami untuk melihat dan mengunjungi Bromo. Info pasti yang kami ketahui adalah bahwa Bromo sempat aktif dan menyemburkan debu vulkanisnya pada November tahun lalu. Sebagai ketua tim, aku berasumsi bahwa sekarang ini Bromo sudah berada pada kondisi yang lebih baik.
Aku, Desi, Mei, Septi, Tisna, Margi, Deni, dan Anjar. Kami berdelapan berangkat pada Jumat pagi. Kami naik kereta Sritanjung jurusan Banyuwangi. Di Stasiun Jebres kereta datang pukul 08.50. Selanjutnya, kami segera bertolak. Kereta meniupkan peluitnya dan asap hitam mengepul dari cerobong lokomotif di gerbong yang paling depan. Bismillah. Perjalanan pertama ini kami awali. Backpaker-an dengan modal nekat dan uang pas-pasan. Di dompetku sendiri hanya ada uang dua ratus ribu dengan beberapa uang ribuan saja. Berharap bahwa uang tersebut cukup untuk perjalananku kali ini.