Pesan untukmu,,,
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Anak Semua Bangsa-Pramudya Ananta Toer)
Selasa, Juli 27, 2010
Tentang Soetarti-Rusmini
Dua nama ini ramai dibicarakan oleh beberapa program berita di stasiun-stasiun televisi sejak masalah yang menimpanya pada Desember tahun lalu. Keduanya adalah janda pahlawan yang tekena kasus sengketa dengan pegadaian. Pegadaian sebagai lembaga yang menggugat telah melaporkan keduanya kepada pihak pengadilan dengan alasan keduanya telah menyerobot rumah dan tanah yang menjadi hak pegadaian. Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa para almarhum suami mereka mendapat title pahlawan. Kedua almarhum adalah masuk dalam tentara PETA yang merupakan cikal bakal tentara Republik ini. Keduanya pun dimakamkan di salah satu makam pahlawan di Jakarta sana. Tercatat jelas, ada 12 penghargaan dan tanda jasa pahlawan untuk mereka. Namun, di Indonesia sepertinya hal itu tidak bernilai apa-apa.
Kedua janda, Soetarti dan Rusmini yang mendapat tuduhan telah meyerobot tanah serta rumah itu mengalami kekalahan dengan pihak pegadaian di tingkat pengadilan negeri. Tidak kurang usaha mereka hingga mereka berdua membawa kasus tersebut ke tingkat Mahkamah Agung dengan melakukan kasasi. Beberapa ormas dan elemen masyarakat kemudian turut hadir mendukung usaha mereka. Gerakan “Hati Waras” salah satunya. Gerakan ini mengajak masyarakat dan para keluarga tentara khususnya agar mereka mendukung dan membantu Soetarti-Rusmini. Logika sederhana yang diberikan oleh penggagas gerakan ini -maaf saya lupa siapa namanya, yang pasti dia adalah salah satu artis pada era 80-an- adalah bahwa apa yang akan terjadi seandainya pada keluarga mereka (para tentara yang sekarang masih menjabat) diperlakukan hal yang serupa pada puluhan tahun mendatang ketika para tentara sudah pensiun atau meningal dunia. Nyatanya, gerakan yang membawa nafas simpati dan empati memang masih cukup efektif di negeri ini. Dukungan yang cukup besar hadir untuk perjuangan Soetarti-Rusmini dan menjadi semangat tersendiri bagi mereka.
“Tidak ada Republik ini kalau tidak ada pahlawan!!!” Begitulah yang diungkapkan oleh salah satu Sejarawan kita. Miris sekali memang jika cerita para janda pahlawan itu berakhir dengan keputusan bahwa mereka harus menghabiskan waktu dua tahun dalam jeruji besi atas ‘ulah’ mereka yang tidak mau meninggalkan rumah yang telah mereka diami selama puluhan tahun. Begitulah, waktu dua tahun dalam jeruji besi memang menjadi ancaman buat mereka jika mereka kalah dalam putusan pengadilan pada hari ini (27/7). Sebuah pengadilan yang konyol. Istri pahlawan kita dipidanakan karena perkara yang seharusnya dapat diselesaikan lewat usaha kekeluargaan.
Bukan tanpa usaha jika akhirnya Soetarti-Rusmini harus memperkarakan masalah ini sampai tingkat ini. Pada 2008 lalu keduanya sudah mengajak berunding dan mengambil solusi bahwa mereka akan membeli saja tanah dan rumah tersebut jika mereka sudah tidak bisa menempatinya lagi karena alasan pegadaian membutuhkan dana. Tapi, keinginan tersebut tidak diindahkan oleh pihak pegadaian. Isu yang beredar selanjutnya adalah bahwa tanah tersebut akan digunakan sebagai perumahan elite. Sebuah alasan yang menurut saya sangat tidak berperasaan melihat bahwa kedua janda tersebut memiliki nilai yang lebih dari sekadar uang puluhan atau ratusan juta. Mereka memiliki kenangan atas tempat tersebut. Saya pikir, ini adalah nilai yang tidak bisa dikalahkan oleh apapun. Terkesan sentimental memang.
Dan pengadilan telah memutuskan siang tadi, sekitar pukul 12 siang, bahwa Soetarti divonis bebas dari tuduhan yang diberikan. Pihak pegadaian pun diminta untuk melakukan rehabilitasi atas nama baik Soetarti. Rusmini masih menunggu keputusan sidangnya. Keinginan masyarakat –atau mungkin saya pribadi- adalah bahwa Rusmini memiliki nasib yang sama dengan Soetarti. Divonis bebas dengan rehabilitasi nama dan mereka dapat hidup dengan tenang di usia senja mereka di rumah yang telah mereka tinggali selama ini sambil mengenang masing-masing suami tercinta. Mengingat getir perjuangan yang telah mereka alami demi berdirinya Republik ini. Tidak terbayangkan seandainya hukuman dua tahun kurungan penjara benar-benar dijatuhkan kepada mereka berdua. “Saya akan memindahkan jenazah suami saya dari makam pahlawan. Dan menguburnya kembali di Solo. Tidak pantas kiranya jika istrinya dicap sebagai seorang pidana sedangkan suaminya adalah pahlawan. Juga akan saya kembalikan tanda jasa yang dimiliki suami saya kepada negara melalui presiden”. Kurang lebihnya seperti itulah yang diungkapkan Soetarti kalau putusan pengadilan tidak berpihak padanya. Ungkapannya juga mewakili Rusmini yang juga akan memindahkan jenazah suaminya ke Banyumas jika ia mendapat hukuman penjara.
Miris sekaligus merinding yang saya rasakan ketika mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut janda para pahlawan itu. Seperti inikah bangsaku??? Tidak terbayangkan jika simbah putriku mendapatkan perlakuan yang serupa. Ya, almarhum simbah kakung juga seorang pejuang dulu. Meski namanya tidak diabadikan sebagai pahlawan Republik ini. Tapi simbah ikut berjuang dalam upaya penyatuan Republik ini. Pun simbah sangat kecewa ketika Timor Timur lepas dari badan Republik ini karena timah panas dulu pernah masuk ke tubuhnya demi usaha penyatuan daerah itu ke tubuh NKRI. Berpisahnya Timor Timur dari negara ini menjadi kisah sedih tersendiri bagi simbah kakung.
Negeri ini bernama Indonesia. Salah satu founding father negara ini, Ir. Soekarno pernah menyebutkan bahwa bangsa yang besar adalah yang mampu menghargai jasa pahlawannya. Maka, patut kita pertanyakan seberapa besar jiwa kita? Pasti masih terlalu kerdil hingga untuk menghormati para pahlawan lewat keluarganya yang masih hidup saja kita harus belajar. Catatan penting, entah ini adalah ‘pikiran buruk’ saya atau entahlah mau diberi nama apa. Banyak sindiran dan kata-kata pedas diberikan kepada pihak pengadilan dan para jaksa penuntut atas kasus tersebut. Tak terbayangkan lagi juga seandainya vonis bebas tidak diberikan pengadilan terhadap dua janda pahlawan tersebut. Maka, pengadilan dan para jaksa tinggal menunggu vonis penilaian dari masyarakat atas kinerja mereka yang makin tidak menggunakan nurani sebagai pedomannya!!!
Maru, selamat datang untuk membuat perubahan!!!
Mahasiswa. Sapaan ini akan menjadi mesra dan telah melekat pada teman-teman mahasiswa baru. Setiap tahun, ratusan bahkan ribuan pemuda berebut untuk mendapatkan posisi yang sama dan sekarang teman-teman yang duduk di kursi inilah yang mendapatkanya. Berbanggalah karena posisi ini adalah yang diinginkan oleh ribuan pemuda lagi yang ada di luar sana yang gagal bersaing karena kurang beruntung atau keterbatasan biaya pendidikan yang dimilikinya. Berpikirlah dan bergeraklah karena posisi ini menuntut setiap orang yang mendudukinya untuk melakukan sesuatu dan berbuat. Membuat sebuah perubahan, membuat sebuah perbaikan. Kumpulan sebuah-sebuah inilah yang nanti akan terkumpul menjadi satu dari ribuan mahasiswa yang akan membuat perbaikan dan kemajuan yang besar bagi Indonesia.
Posisi mahasiswa jelas diakui masyarakat kita sebagai sebuah posisi yang memiliki nilai tawar yang tinggi. Artinya, pada posisi ini mahasiswa dapat mempengaruhi kebijakan atau sebuah aturan jika tidak sesuai dan tidak memihak rakyat. Itu jika kita membicarakan permasalahan posisi tawar dari sudut pandang politik. Tetapi, mahasiswa memang tidak akan banyak memiliki banyak jarak dengan lingkup ini seharusnya. Sejak awal kemunculannya, mahasiswa begitu dekat dengan peran dan pergerakan politik. Di negara mana saja jika kita mau melakukan kilas balik sejarah.
Mahasiswa. Posisi ini memang jelas berbeda jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan yang telah dilalui oleh para pemuda pada beberapa tahun sebelumnya. Jika pada jenjang sebelumnya, para siswa banyak disibukkan dengan pertemuan di kelas, PR, tugas, ulangan, maka hal yang sama sangat mungkin juga akan ditemui pada jenjang perkuliahan. Tetapi, tentu saja orientasi harus sudah mulai bergeser. Manajemen waktu yang apik sangat diperlukan agar mahasiswa tidak terjebak pada rutinitas yang kalau boleh dikatakan “monoton” itu. Jika masih sama, maka pemuda yang berada pada posisi mahasiswa pun tidak akan pandai melakukan peran politik dan sosialnya karena sesungguhnya peran inilah yang menjadi penting bagi diri mahasiswa. Kaum intelek yang peduli dengan sesamanya, tidak hanya sibuk dengan kepentingan dirinya yang hanya berkutat dengan modul dan buku-buku kuliah agar nilai kuliahnya mendapatkan predikat A.
Tidak. Bukan berarti tulisan ini membuat teman-teman yang sekarang berstatus mahasiswa berpikir bahwa belajar tidak lagi menjadi kewajiban. Belajar adalah sebuah kebutuhan untuk manusia dan tentu saja mahasiswa sangat membutuhkannya. Belajar bisa dilakukan di mana saja dan sebuah teori tentang belajar mengatakan bahwa lingkungan adalah tempat dan sumber belajar yang terbaik. Dalam kondisi ini, mahasiswa dapat belajar dari lingkungan sekitar. Permasalahan masyarakat seharusnya membuat mahasiswa peka dan berpikir untuk memberikan solusi atasnya.
Sangat menyedihkan jika ternyata mahasiswa terjebak dan terperangkap pada padatnya susunan kurikulum saat ini. Kurikulum padat, praktikum sampai sore, tugas yang setumpuk, kuis tiap hari. Semuanya tidak layak untuk dijadikan alasan dan kambing hitam bahwa sekarang mahasiswa sulit memiliki waktu untuk berorganisasi, untuk mendapatkan life skill yang lain. Mau menyalahkan siapa? Sistem pendidikan kita sudah seperti ini. Mahasiswa yang tetap harus mencari celah untuk berkegiatan, untuk berorganisasi. Karena sekali lagi mahasiswa hadir untuk bergerak, untuk berbuat, untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Maka, selamat datang untuk mahasiswa baru 2010. semoga kalian akan menemukan hakikat diri kalian di kampus hijau ini. Salam!!!
*Tutut Dwi Handayani
Bastin’06, masih menunggu waktu wisuda….
Tulisan pendek untuk adik-adikku di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS.
SEMBURAT CINTA FAJAR
“Maafkan Arini, Mas… Bukan maksud Arini untuk mengkhianati Mas. Tapi beginilah aku”.
Gadis itu terisak perlahan meski air mata tidak mengalir dari dua matanya. Kepalanya dari tadi menunduk tidak berani melihat orang yang menjadi lawan bicaranya. Sedangkan Fajar yang dari tadi diajak bicara pun hanya diam. Ada jarum-jarum yang seperti menahannya untuk menjawab atau sedikit mengomentari perkataan gadis yang ada di sampingnya.
Suasana hening dan hanya detak jam saja yang meriuhkan suasana.
“Dan ternyata bukan adek yang selama ini mas cari. Aku gagal lagi!”, suara Fajar memecah suasana di ruang tamu yang lumayan luas itu. Arini yang ada di sampingnya makin menundukkan kepalanya. Mungkin sekali ia menahan tangis agar tidak pecah. Dia sadari bahwa kali ini kesalahan memang telah dibuatnya. Membuat luka pada sebuah hati yang sempat ingin meminangnya.
“Mas memang kecewa dek, tapi akan lebih kecewa lagi jika mas tahu adek berbohong hanya untuk membahagiakan mas. Jadi, pengumuman yang sudah dibuat sejak sebulan lalu bahwa kita akan menikah harus segera dikonfirmasi ke teman-teman dan saudara. Untunglah undangan belum sempat dipesan untuk dicetak”, Fajar lancar melanjutkan potongan kalimatnya yang terpisah tadi. Tapi tidak begitu dengan hatinya. Hatinya remuk redam. Ini adalah kesekian kalinya cintanya tidak segera dapat ia labuhkan ke dalam mahligai pernikahan. Hubungan yang ia dambakan akan mampu menemaninya dalam hidup.
***
Fajar tidak bisa memejamkan matanya walau sebentar di dalam bis. Perjalanan ke kota Brebes kali ini menghabiskan tenaga dan pikirannya. Tadi pagi ia berangkat dengan semangat bahwa ia akan mampu memperbaiki hubungan antara dia dan Arini yang merenggang beberapa akhir ini. Tapi yang terjadi ternyata sebaliknya. Hubungan tidak hanya merenggang tapi ternyata meminta untuk diakhiri.
Ya, satu bulan yang lalu ia telah ‘nembung’ bapak ibu arini di rumah dan semuanya sepakat. Dalam waktu kurang dari dua bulan dia akan diijinkan untuk menyunting Arini. Membawa Arini ke rumahnya sebagai permaisuri. Menjadikannya sebagai wanita yang akan sangat dicintainya. Tapi selama masa penantian itu, satu minggu setelah peristiwa yang membahagiakannya hubungan antara mereka berdua merenggang. Arini sulit sekali dihubungi olehnya. Karena penasaran dan kekhawatiran yang ada di hatinya ia memberanikan diri untuk datang kembali ke kota Brebes, menemui wanita yang dicintainya.
Tapi sepertinya benang jodoh belum mampu menghubungkan mereka berdua. Seperti karang yang pecah karena ombak, begitulah hati Fajar. Tak pernah disangka bahwa hati Arini telah berubah. Satu minggu setelah Fajar datang ke rumahnya untuk kali yang pertama hadir seseorang dari masa lalu Arini. Dan pemuda inilah yang telah membuat hati Arini berubah. Ya, dan hati memang mudah sekali untuk dibolak-balik. Perkara ini bukannya tidak diketahui oleh orang tua Arini. Orang tua arini juga mengingatkan dengan statusnya sekarang. Tapi Arini memang lebih memilih pemuda dari masa lalunya itu. Meninggalkan pemuda lain bernama Fajar yang sudah memberikan satu harapan indah kepada keluarganya di rumah bahwa ia akan pulang dengan membawa kabar dari wanita yang diimpikannya.
Semuanya telah berubah. Dan ini untuk ke sekian kalinya. Ketika hatinya mulai tertambat pada seseorang harus dilepaskan lagi tali itu untuk berlayar mencari separo bagian yang akan melengkapkan hidupnya.
***
Pagi itu Fajar pergi dengan perasaan yang berbunga karena restu dari orang tua untuk meminang seorang perempuan yang akan menemani jiwanya akhirnya didapatinya. Sebelumnya, ia mengalami kesulitan untuk mendapatkan restu itu. Simbah putri yang sangat dicintainya selalu menolak keinginan Fajar untuk segera menikah. Selalu saja hal yang sama disampaikan oleh perempuan berusia senja itu kepada Fajar.
“Kamu itu jangan menikah dulu, Tole! Adek-adekmu itu masih butuh bantuanmu untuk menyelesaikan sekolah mereka. Kalau kamu langsung menikah pasti konsentrasimu untuk keluarga ini terpecah…”. Selalu begitu yang dikatakan sang nenek ketika Fajar meminta restu darinya. Tapi pagi ini Fajar memberanikan diri untuk membicarakan hal yang sama lagi dengan neneknya sebelum Fajar memutuskan pergi dari rumahnya dan berangkat menuju kota gadis yang diimpikan untuk dipersuntingnya. Restu dari kedua orang tunya belum cukup membuat dia mantap sebelum restu dari simbah terkasih ada di genggam tangannya juga.
“Simbah, semalam Fajar sudah dapat restu dari Ibu-Bapak untuk pergi ke rumah Laras. Fajar ingin mengatakan keinginan Fajar untuk meminangnya, Mbah. Kali ini tidak hanya kepada Laras, tetapi juga kepada orang tuanya, keluarganya. Apa Simbah masih juga belum memberikan restu kepada Fajar untuk menikah?”, Fajar mengurai keinginannya panjang lebar dengan bahasa yang disusunnya dengan hati-hati. Dia takut Simbahnya tersinggung karena keinginannya yang selalu saja sama selama dua tahun terakhir ini. Ya, hubungan antara Fajar dan Laras memang sudah terjalin selama kurang lebih lima tahunan. Dua tahun terakhir keinginan Fajar untuk menyunting Laras telah bulat, tetapi selalu saja terhalang masalah yang timbul karena belum adanya restu atau hati Laras yang merasa kurang mantap.
Larasati nama gadis itu. Gadis sederhana berparas manis yang membuat hati Fajar tertambat padanya. Wajahnya yang manis membuat Fajar harus rela bersaing dengan beberapa pemuda yang lain untuk memperebutkan hati Laras. Sikapnya yang sederhana dan keibuan meskipun terkadang kekanak-kanakan membuat Fajar mencintainya. Cinta yang hebat karena ketika pertama kali mendapatkannya Fajar harus menyembuhkan terlebih dahulu luka di hati Laras. Luka yang pernah diberikan oleh pemuda sebelumnya yang pernah memasuki hati Laras.
Dan terbukti bahwa Fajar mampu menyembuhkan luka itu. Namun, Fajar dapat melihat bahwa Laras tidak pernah mencintainya seperti Fajar yang mencintainya. Yang Fajar ketahui adalah Laras belajar untuk mencintainya. Terkadang ia merasa jengah karena Laras seperti menganggap hubungan mereka seperti hubungan ewuh pekewuh. Laras hanya ingin membalas kebaikan Fajar terhadapnya. Tapi perasaan itu ditepisnya sendiri. Peribahasa trisno jalaran soko kulino masih diyakininya. Balasan untuk cintanya mungkin sekali akan didapatinya sepanjang berjalannya waktu.
Lamunan Fajar melambung tinggi pada gadis bernama Laras sehingga simbah putri yang ada di depannya seperti tak terlihat olehnya. Pandangan matanya kosong.
“Kamu benar-benar mencintainya, Tole??”, pertanyaan simbah membuyarkan lamunan Fajar. Meyakinkan bahwa ia masih di rumahnya sendiri.
“Eh… Apa Mbah? Iya, Mbah…Fajar sangat ingin menjadikan Laras sebagai menantu di rumah ini”, tergagap Fajar menjawabnya. Jiwanya yang tadi melayang dipaksakan sendiri olehnya untuk kembali dan menemui simbahnya terlebih dahulu.
“Baiklah kalau begitu, bawalah restu simbah bersamamu. Segeralah tembung si Laras situ sama orang tuanya. Simbah juga menyukainya, dia gadis yang baik. Semoga dia memang jodohmu, Le..”. Jawaban simbah membuat hati Fajar serasa diguyur air yang membuatnya sangat segar. Seperti menemukan oase di tengah sahara. Segera Fajar menciumi tangan simbah untuk menyatakan kegembiraannya.
“Matursuwun, Mbah. Insyaallah, semoga Laras memang jodoh Fajar”, senyum yang sangat ikhlas merekah di bibir Simbah yang memantul pada bibir Fajar. Kebahagiaan yang menyebar.
Setelah berpamitan dengan keluarga, Fajar mengambil motor dan memulai perjalanannya menuju kota Jepara. Kediaman Laras dan keluarganya. Senyum tersungging saja di bibirnya. Senyum yang seperti ingin ia bagi dengan orang-orang yang lalu lalang di jalan raya dengan aneka kebutuhan dan tujuan yang berbeda. Seperti ingin ia katakana pada dunia bahwa restu yang dimilikinya sekarang akan membuat ia mudah menyunting wanita yang diimpikannya, yang akan menggenapi hidup dan melengkapi dirinya.
***
“Semarang akhir… Semarang akhir…”, kondektur berteriak untuk memperingatkan para penumpang bahwa bus telah sampai di Terminal Terboyo. Fajar terkesiap, ternyata sepanjang perjalanan pulang dari kota kediaman Arini ia melamunkan sesuatu yang telah terjadi pada beberapa waktu lalu. Keadaan yang sama yang ia alami beberapa bulan sebelumnya ketika ia ingin menyunting Larasati, wanita impiannya sebelum Arini.
Larasati. Gadis impian itu yang telah mengisi hatinya selama empat tahun lebih. Tidak ada keinginan lain dari Fajar selain menyunting dan menjadikannya sebagai wanita yang akan menemani dalam sisa hidupnya. Tapi keinginan itu ternyata hanya berhenti sampai batas itu saja. Tuhan tidak membuat keputusan sesuai dengan yang telah direncanakan dan diinginkan Fajar. Keinginan Fajar akhirnya memang tersampaikan kepada keluarga Larasati dan keluarga Larasati juga menerimanya dengan senang hati atas keinginan tersebut. Tapi inilah hidup. Hanya Allah pemilik keputusan tertinggi di atas rencana manusia.
Larasati tidak dijadikan istri olehnya. Larasati yang memang tidak pernah dapat mencintai Fajar seperti Fajar yang mencintainya kemudian juga menerima pinangan dari pemuda yang baru dikenalnya. Bukan maksud hati Larasati juga bahwa ia akan lebih memilih pemuda yang baru dikenalnya itu. Tetapi semua tanda dan isyarat yang didapatinya bahkan setelah sholat istikharoh pun tidak ada yang mengarah pada Fajar. Semuanya mengarah pada pemuda tersebut. Pemuda asing yang baru dikenalnya dalam beberapa bulan saja. Namun, ia telah mampu memantapkan hati Larasati untuk menerima pinangannya. Pun dengan keluarga Larasati.
Sedih yang tak terkira dirasakan Fajar. Marah juga mungkin tertahan di hatinya kala itu. Tapi kemudian baru Fajar sadari bahwa cinta Larasati memang tidak pernah bisa tercipta untuknya meski Larasati telah berusaha untuk mencintainya. Fajar tahun usaha larasati untuk itu. Baru dia sadari juga bahwa skenario atas cintanya kepada Larasati yang telah digariskan Tuhan tidak semulus yang ia kira sebelumnya. Pikirnya, restu orang tua akan meluluskannya untuk pernikahan itu. Larasati ternyata harus melanjutkan skenario hidup selanjutnya bukan dengan Fajar. Begitu pula Fajar yang ternyata tidak bisa menggandeng Larasati untuk perjalanan di sisa usianya.
Akhirnya, memang tidak ada pilihan lain bagi Fajar selain mengikhlaskan yang terjadi. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Fajar tahu larasati tidak akan salah memilih dalam hal ini. Pemuda itu pun baik di mata Fajar. Pemuda sederhana yang juga begitu ramah padanya ketika mereka bertemu setelah pernikahan Larasati. Larasati pasti akan bahagia dengan pria itu.
Fajar tidak sepenuhnya kehilangan kebahagiaan itu. Keluarga Larasati sangat menyayanginya. Ia seperti memiliki keluarga kedua. Bapak Ibu Larasati sudah menganggapnya sebagai putra mereka sendiri. Adik-adik Larasati pun begitu. Sebuah persaudaraan yang indah sebagai ganti hubungan yang indah yang sempat menjadi mimpinya.
***
Hari-hari kemudian berlalu seperti biasa. Fajar dengan pekerjaannya yang menumpuk. Menjadi tangan kanan sang bos memang membuatnya memiliki kesibukan yang ekstra dibanding dengan pegawai yang lainnya. Hari Sabtu dan Minggu pun sering dihabiskannya di kantor. Fajar bekerja di salah satu perusahaan yang bergelut di bidang properti. Keuletannya dalam bekerjalah yang membuat ia mampu mendapatkan kepercayaan yang besar dari Pak Sigit, bos besarnya. Terkadang teman-teman sekantornya sering menggoda bahwa kedekatan Pak Sigit dengannya karena Pak Sigit menginginkan Fajar menjadi menantunya. Tapi hal tersebut selalu dijawab oleh Fajar.
“Dasar kalian ini!!! Bekerja sudah berapa tahun di sini? Mana mungkin Pak Sigit ingin menjadikanku sebagai menantunya, anak-anak Pak Sigit itu cowok semua, sudah berkeluarga pula?”
“Kalau mereka belum berkeluarga, apa kau mau, Jar?”, seloroh Candra, temannya yang paling suka menggoda Fajar.
“Mau kuapakan kau ini sebenarnya, bung?”, jawab Fajar sambil nyengir dan berniat memukul kepala Candra setelah akhirnya Candra mengelak dan pergi ke belakang, membuat kopi.
Status Fajar yang masih lajang di kantor selalu menjadi bahan lelucon teman-temannya. Hanya dia saja yang masih belum menikah dalam kantor itu. Terkadang, Fajar menanggapi lelucon itu dengan guyonan yang tidak kalah dengan yang dibuat teman-temannya. Tetapi, lebih sering ia hanya menjawab singkat untuk kemudian diam dan merenung sambil menatap layar komputer di depannya. Dengan begitu, teman-teman yang tadi menggodanya akan berhenti karena mengira ia sedang mengerjakan satu proyek yang harus segera diselesaikan.
Hatinya memang sepi. Sampai usianya yang ke dua puluh tujuh wajah gadis yang ingin dijadikan istri ternyata masih saja samar. Wajah-wajah gadis yang pernah hidup di hatinya harus segera di hapusnya agar hatinya dapat terisi dengan nama dan wajah gadis yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Tapi, hal terebut masih saja menjadi sesuatu yang sulit baginya. Ketakutan akan kegagalan yang akan hadir terkadang menghantuinya ketika ia akan menjalin sebuah hubungan baru. Takut salah pilih, takut akan terulang hal yang sama setelah ia berniat meminang gadisnya. Ketakutan-ketakutan inilah yang ingin dilepaskan dulu dari pikirannya.
Satu hal yang sangat ia percaya adalah bahwa di suatu tempat entah di mana, ada seorang gadis yang juga menunggunya seperti ia yang ingin segera menemuinya tapi belum bisa. Skenario yang indah telah ada dan ia tinggal menjalaninya. Doa tidak putus baginya agar Sang Pencipta memendekkan waktu pertemuan antara ia dan gadisnya.
“Aku menyerahkan pada-Mu, Tuhan”. Selalu kalimat itu yang menjadi penutup doa Fajar ketika ia meminta pertemuannya dengan perempuan yang akan menjadi penyempurna setengah agamanya.
* untuk seorang kakak, semoga segera bertemu dengan ‘perempuan’mu…
Hehe,,sudah kehabisan alur cerita, jangan2 malah jadi novel. Jadi, untuk konflik selanjutnya masih menunggu masa ‘pengeraman’ ide cerita…^^v
Donna-Donna, Sita RSD Ost. Gie
On a waggon bound for market
there’s a calf with a mournful eye.
High above him there’s a swallow,
winging swiftly through the sky.
Reff:
How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summers night.
Donna, Donna, Donna, Donna;
Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna;
Donna, Donna, Donna, Don.
Stop complaining!!! said the farmer,
Who told you a calf to be?
Why don’t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?
Repeat Reff
Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly.
Jumat, Juli 23, 2010
23 Juli '10 pada 23.12
malam ini,,,
masih sama seperti malam-malam sebelumnya,,
aku masih menunggumu di depan rumah kita,
dengan baju hangat yang kau berikan sebagai kado hari pernikahan kita,,,
berapa tahun lalu,,
beberapa tahun yang mungkin telah membuat baju ini menjadi usang,,
tak lagi terlihat cantik,,
tapi aku semakin merasakan hangatnya,,
angin malam yang dingin tak lagi terasa di badan kecilku ini,,,
malam ini,
masih sama seperti malam-malam sebelumnya,,,
aku masih menunggumu sambil membuat catatan-catatan kecil...
tumpukan catatan itu telah mengisi lembaran buku bersampul merah marun itu,,
kamu tahu bukan?? Aku suka dengan warna itu...
kau dulu membelikannya,,,setumpuk sampul merah marun untuk setiap buku...
sekarang mereka berjajar rapi memenuhi rak di sudut kamar kita,,,
malam ini,
masih sama seperti malam-malam sebelumnya,,
si kecil tidur lebih dulu dan disusul kakaknya...
aku masih berdiri dan bersandar pada tiang rumah kita,,,
berharap kau datang dan memasuki pagar rumah kita...
berharap dapat kukecup tanganmu dan menyilakanmu masuk,,,
melihat si kecil yang terlelap tidur, melihat kakaknya yang sedang bermimpi indah....
malam ini,
masih sama seperti malam-malam sebelumnya...
aku masih saja belum mendapatkan kabar tentang kau yang pergi pada subuh buta itu,,,
laut tidak lagi membawa kabarmu padaku,,,
bahkan asin anginnya yang telah akrab denganku....
tangan ini masih merasai mesranya ketika mengusap peluh di dahimu,,
kangmas,,,
aku rindu.....
* setelah mengutak-atik jurnal ^^v
Kamis, Juli 22, 2010
Entah kapan, tapi ingin sekali ke sana...
Sebuah kota yang memiliki arsitektur klasik, dengan jalannya yang lebar dan bersih. Dengan hamparan rumput yang luas di samping kanan dan kirinya. Dengan pepohonan yang masih hijau atau berubah putih ketika musim dingin datang. Dengan salju yang menumpuk dan memenuhi badan jalan. Melewatinya dengan jaket dan baju hangat. Menikmati pagi dan malamnya dengan secangkir kopi atau cokelat panas. Bercengkerama dengan seorang yang sangat dekat.
Sebuah tempat yang meski terpencil dan ada di pelosok tapi begitu nyaman dan damai. Cukup sebuah rumah kecil dan sederhana untukku. Di belakang rumah akan ada ladang atau cukup sepetak lahan saja untuk kuolah sendiri dengan keluarga kecilku. Di samping kanan dan kiri akan ada tempat bermain untuk melepaskan lelah dan penat dengan orang-orang tercinta. Dan di depannya, akan terlihat biru. Laut yang biru. Ya, selalu saja laut yang menjadi obsesiku... aku ingin selalu bisa melihatnya. Berbagi cerita dengan lautku....
Entah di mana itu, Ingin sekali ke sana. Suatu saat, semoga....
Sebuah tempat yang meski terpencil dan ada di pelosok tapi begitu nyaman dan damai. Cukup sebuah rumah kecil dan sederhana untukku. Di belakang rumah akan ada ladang atau cukup sepetak lahan saja untuk kuolah sendiri dengan keluarga kecilku. Di samping kanan dan kiri akan ada tempat bermain untuk melepaskan lelah dan penat dengan orang-orang tercinta. Dan di depannya, akan terlihat biru. Laut yang biru. Ya, selalu saja laut yang menjadi obsesiku... aku ingin selalu bisa melihatnya. Berbagi cerita dengan lautku....
Entah di mana itu, Ingin sekali ke sana. Suatu saat, semoga....
Langganan:
Postingan (Atom)