Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bekerja keras menanggulangi masalah korupsi yang entah mengapa seperti menjadi budaya negeri ini. Kita sadari, ternyata puluhan bahkan lebih kasus korupsi terkuak sejak badan ini terbentuk. Inikah budaya kita? Atau hanya sebuah warisan ‘peradaban’ pemerintahan masa lalu?
Reformasi mulai membuka mata masyarakat kita bahwa kita bukanlah bangsa yang ‘adhem tentren karta raharja’. Ternyata dibalik kesuksesan pembangunan yang dilakukan di era Soeharto meninggalkan pemandangan yang jauh dari pikiran kita sebagai bangsa yang telah disesaki dengan berita kejayaan yang disampaikan oleh pemerintahan orde baru. Diakui atau tidak kita terpaksa harus membuka mata bahwa kita tidaklah seperti yang selama ini didengungkan Soeharto dan kawan-kawan. Banyak kasus yang tertinggal di sana. Korupsi termasuk di dalamnya.
Korupsi menjadi satu masalah yang ‘booming’, terutama mengenai kasus kekayaan Soeharto yang samapai meninggalnya sang aktor pun masih menjadi tanda tanya besar bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Korupsi selanjutnya menjadi masalah yang berkali-kali dibicarakan publik. Entah itu korupsi pejabat tinggi, menengah atau pejabat rendahan. Korupsi nyata dilakukan di atas meja, tidak lagi dibalik meja, sembunyi-sembunyi seperti awal menjamurnya yang entah kapan dimulainya pun tidak ada yang mengetahui. Yang jadi pertanyaan, inikah yang jadi budaya kita sekarang, menggantikan ramah tamah kita dan menemani sikap arogansi serta anarki kita? Nurani kita yang patut menjawabnya.
Dari kenyataan yang ada, inilah yang melatari Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Usaha yang dilakukan dalam gebrakan 100 hari-nya dianggap sebagai langkah yang cukup mengejutkan dan membanggakan serta menjadi harapan bagi rakyat Indonesia kala itu. Kinerja mereka diakui mampu membuka kasus-kasus korupsi yang ada di lingkungan pejabat dan parlemen. Sebuah kemajuan dan peningkatan yang patut dibanggakan memang.
Akan tetapi, sebagaimana sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa dalam suatu lembaga yang otonom, akan terjadi kecenderungan adanya tindak korupsi. Ini yang mungkin pas dengan kondisi KPK negeri kita. Sebagai lembaga yang seharusnya menanggulangi masalah korupsi, lembaga ini tetap saja tidak luput dari isu korupsi. Beberapa anggota komisi yang dianggap tidak profesional turut mewarnai kinerja KPK. Selanjutnya, menjadi ironis dan lucu ketika mereka (para anggota KPK) sendiri terlibat dengan masalah korupsi. Maka, siapa lagi yang akan menjadi pengawas dan menanggulangi kasus korupsi sedangkan lembaga yang ditunjuk dan dibentuk langsung oleh presidenpun seperti itu wujud kerjanya?
Maka, rakyat Indonesia menunggu kerja profesional KPK. Rakyat Indonesia sudah bosan dengan kasus korupsi yang menggerogoti negara. Membuat kaya konglomerat dan pejabat, tapi rakyat semakin melarat!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar