Pesan untukmu,,,
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Anak Semua Bangsa-Pramudya Ananta Toer)
Minggu, Agustus 29, 2010
Galaksi Kinanthi: Sekali Mencintai Sesudah itu Mati?
"Beginilah cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta; Engkau bertemu seseorang lalu perlahan-lahan merasa nyaman berada disekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh dan terbelah ketika dia menjauh. keindahan adalah ketika engkau merasa ia memerhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan akalmu. Engkau mulai tersenyum, dan menangis tanpa mau disebut gila."
Tulisan ini bukanlah sebuah resensi buku. Hanya saja, ketika pada halaman terakhir ketika saya menyelesaikan buka ini ada keinginan untuk membuat tulisan mengenai buku ini. Novel pertama dari Tasaro GK, seorang penulis dari Gunung Kidul, Yogyakarta yang berhasil say baca dari meminjam seorang teman. Saya langsung tertarik untuk membacanya ketika melihat kutipan yang ada di bagian cover novel ini.
“Kinanthi, bagiku Galaksi Cinta tidak akan pernah tiada. Ketika malam tak terlalu purnama, lalu kau saksikan bintang-bintang membentuk rasi menurut keinginan-Nya, cari aku di Galaksi Cinta. Aku akan ada di sana. Tersenyumlah... Allah mencintaimu lebih dari yang kamu perlu.” (Ajuj)
Begitu kutipan yang ada dalam cover novel tersebut. Bukan. Semata-mata ini bukan novel cinta. Novel ini bukanlah novel yang secara dominan menceritakan kisah cinta antara Kinanthi dan Ajuj (dua orang teman masa kecil yang kemudian terpisah karena skenario Tuhan selama hampir dua puluh tahun). Tetepi, lebih jauh novel ini membawa isu-isu yang lumayan berat untuk disikusikan dan yang sekarang ini cenderung menjadi isu global. Traficking, penjualan manusia khususnya wanita adalah salah satunya. Global warming sekit dibicarakan sebagai masalah yang cukup menyentil. Dan yang terlebih kita akan melihat Indonesia dari sisi yang berbeda. Sebuah latar kehidupan sosial dan kebudayaan di Gunung Kidul sana. Novel ini pun sarat dengan ungkapan-ungkapan satire tentang sebuah negeri bernama Indonesia.
Tasaro GK mampu membuat kalimat-kalimat terpilih untuk dituliskan dalam novel ini. Hal-hal yang berbau ilmiah disampaikannya dengan bahasa yang cerdas. Istilah-istilah kedokteran, politik, agama, budaya digunakannya dengan takaran yang pas. Tidak berlebihan yang akan membuat pembaca pusing dan melewatinya untuk dibaca. Penulis novel ini menggunakan semua istilah itu untuk memperkuat penginderaan pembaca tentang hal yang mereka baca. Kekuatan diksi yang dipilihnya terutama sangat terasa ketika Tasaro menceritakan tentang langit dan isinya. tentang galaksi dan rasi-rasi yang menghiasi langit ketika malam. Sedangkan permasalahan yang berhubungan dengan area perasaan dan hati disampaikannya dengan sepenuh rasa. Tasaro GK kemudian berubah menjadi orang yang begitu romantis dan melankolis. Maka, jangan salahkan penulisnya jika tanpa sengaja air mata pembaca keluar begitu saja ketika membaca setiap larik dalam novel ini. Setidaknya begitulah yang saya rasakan sendiri...^^
Novel ini menceritakan tentang perjuangan Kinanthi untuk membuat dirinya berada di puncak kesuksesan setelah berkali-kali ia menjadi korban aksi penjualan manusia dari kampungnya sendiri hingga negeri-negeri Aran dan terakhir di Amerika akan membuat anda menjadi terkagum-kagum. Bahwa skenario yang telah dituliskan Tuhan tidak pernah salah. Hanya saja, kita tidak boleh menyerah begitu saja. Skenario itu indah untuk dijalani meski untuk menjalaninya kita perlu terjun bebas ke jurang. Tetapi harus bangkit kemudian untuk mencapai puncak kesuksesan.
Jika Anda telah banyak membaca banyak kisah tentang percintaan, Romeo-Juliet, Joko Tarub-Nawang Wulan, Sampek-Engtay, atau Laila-Majnun, maka buku ini seharusnya akan melengkapi kisah-kisah itu. Tentu saja dengan cara yang sangat berbeda. Tidak melulu cinta, karena Anda pun akan mengalami proses pembukaan cakrawala. Saya yakin, Anda akan menjadi cerdas karenanya. Tidak akan habis banyak waktu Anda untuk menghabiskan lembar demi lembar buku ini. Saya hanya menghabiskan kurang lebih 12 jam saja untuk menghabiskan 434 halaman yang dimilikinya. Anda akan mengenal begitu banyak budaya. Gunung Kidul, Bandung, Jakarya, Riyadh, Kuwait, Miami, New York, Washington DC dampai Great Plains yang eksotis dengan panoramanya. Terakhir, Anda juga akan disuguhi dengan foto beberapa pantai yang ada di pinggiran Gunung Kidul. Akan semakin membuat Anda menyentuh laut di sana, ikut menyelami kisahnya...
Selasa, Agustus 24, 2010
ingatku aku...
ingatkan aku,,
jika telah terlampau berlebih aku mencintaimu...
ingatkan aku,,
jika telah berlebihan aku memperhatikanmu,,,
beritahu saja aku,,
bahwa kau pun hanya makhluk biasa sepertiku...
ingatkan aku,,
bahwa suatu saat yang entah kau akan dan pasti pergi meninggalkanku...
dan untuk itu aku harus bersiap terlebih dahulu
....
dan untuk itu,,
aku harus sederhana saja dalam mencintamu....
jika telah terlampau berlebih aku mencintaimu...
ingatkan aku,,
jika telah berlebihan aku memperhatikanmu,,,
beritahu saja aku,,
bahwa kau pun hanya makhluk biasa sepertiku...
ingatkan aku,,
bahwa suatu saat yang entah kau akan dan pasti pergi meninggalkanku...
dan untuk itu aku harus bersiap terlebih dahulu
....
dan untuk itu,,
aku harus sederhana saja dalam mencintamu....
Selasa, Agustus 03, 2010
Mengenang WS. Rendra
Sajak Sebatang Lisong – W.S. Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
19 Agustus 1977
ITB Bandung
Potret Pembangunan dalam Puisi
Langganan:
Postingan (Atom)