Karya sastra adalah sesuatu yang indah yang berasal dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Karya sastra dianggap selalu bisa mencerminkan masyarakat di mana karya tersebut dilahirkan. Dan memang begitulah karya sastra yang baik seharusnya, yaitu mampu menjadi refleksi atau gambaran keadaan masyarakat di masa itu atau paling tidak sanggup memberikan sumbangan untuk masyarakat penikmatnya, baik itu yang bersifat rekreatif maupun edukatif. Karya sastra yang baik juga bisa menggambarkan bagaimana hubungan antarmanusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Ini karena dalam karya sastra seharusnya terdapat ajaran moral, sosial sekaligus ketepatan bahasa dalam pengungkapan karya sastra.
Karena itulah, perkembangan sastra tidak bisa dipisahkan dengan pola kehidupan dan pola pikir masyarakatnya. Cara masyarakat untuk hidup dan bertingkah laku dalam kehidupan sosial mereka bisa sangat mempengaruhi seorang penulis dalam merefleksikan pemikirannya tentang suatu msalah yang kemudian bisa ia tuang dalam suatu kreasi yang kemudian layak disebut sebagai suatu karya sastra. Dan hal yang serupa juga terjadi pada perkembangan sastra di Indonesia.
Perkembangan sastra di Indonesia terjadi secara berkelanjutan dan mulai menggeliat sejak masa Balai Pustaka, sejak saat itulah mulai hadir sastrawan-sastrawan kita seperti STA, Armin Pane, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Mochtar Lubis, N.H. Dini dan menuju ke penulis-penulis masa kini seperti Cak Nun, Joko Pinurbo, sampai Habiburrachaman, Dee, dan Ayu Utami, misalnya.
Seperti perkembangan sastra Indonesia secara umum, pekembangan sastrawan atau penulis wanita juga makin merebak di negeri ini. Penulis wanita yang paling terkenal di tahun ‘50an adalah N.H.Dini. Ia dengan lihai mampu menulis tentang eorang sosok wanita yang kemudian ia beri nama Hiroko yang terdapat dalam Novel Namaku Hiroko. Kemudian, di masa kini hadir puluhan penulis wanita yang kemudian menjadi begitu kreatif menyampaikan setiap angan, pemikiran, gambaran kehidupan atau bahkan sebuah perlawanan melalui tulisan katya mereka. Penulis wanita kemudian seolah menjadi cendawan di musim hujan yang tumbuh dan berkembang dengan subur. Dalam perkembangan selanjutnya juga timbul yang kemudian disebut sebagai aliran sastra feminisme yang sering membicarakan sesuatu dari sudut pandang wanita. Bahwa wanita bisa melakukan semuanya tanpa lelaki atau kemampuan wanita mampu mengalahkan lelaki. Meskipun, tidak dipungkiri bahwa banyak juga penulis wanita yang menganggap tidak perlu adanya aliran feminisme yang terlalu berlebihan seperti para penulis wanita yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP).
Dalam perkembangan sastra feminisme, nama Ayu Utami tidak bisa diabaikan. Ayu utami yang telah menghasilkan beberapa karya seperti Saman, Larung, dan Si Parasit Lajang adalah salah satu penulis wanita yang dengan terbuka dan blak-blakan menulis segala sesuatu yang berhubungan dengan wanita, laki-laki dan segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas. Ia bisa disebut sebagai promotor penulis yang mengangkat hal-hal yang tabu untuk diangkat di muka publik. Ayu Utami menganggap ini memang hal yang wajar.
Begitu pula yang ia tulis dalam novel Saman. Dalam novel tersebut, Ayu Utami melukiskan tentang hal yang oleh orang-orang timur seharusnya ditutupi, tapi ia malah cenderung membukanya secara terang-terangan seolah-olah itu memang layak untuk menjadi konsumsi masyarakat secara keseluruhan. Ia begitu terang-terangan menuliskan aktifitas ‘persetubuhan’ dengan sangat terbuka tanpa tedheng aling-aling. Hal ini yang kemudian menjadi kontroversi dalam novel ini, yaitu bahas ayang begitu vulgar dan penjabaran persetubuhan yang oleh orang timur ini dianggap tabu.
Tapi, lepas dari semua itu, novel Saman menjadi awal pergerakan penulis wanita yang berpikir bahwa sudah saatnya wanita bangkit dan menang atas laki-laki. Sudah saatnya wanita hadir dan mendobrak kungkungan budaya patriarki yang telah lama memasung diri wanita. Tokoh lain yang kemudian hadir antara lain adalah Djenar Maesa Ayu dan Dinar Rahayu.
Beberapa kutipan dalam novel Saman yang bisa digunakan sebagai perwakilan pemikiran dan karakter para tokoh dalam novel tersebut.
1. Saman
Setelah rombongan lelaki itu menghilang ke dalam bayangan hutan, Wis terpaku di tangga surau, menghadap ke dalam di mana ibu-ibu mendekap bocah-bocah mereka di atas tikar hijau. Baru ia sadari, ia ditinggalkan bersama tujuh atau delapan pemuda tanggung untuk menjaga perempuan dan anak-anak ini. Ia merasa sunyi dan gentar melihat mata-mata mereka menatap dirinya, satu-satunya pria dewasa di situ, orang yang selama ini bisa mereka andalkan mengurus kebun. Tapi sanggupkah aku melindungi mereka dalam situasi begini? Apa artinya seorang lelaki?( Ayu Utami, 1997: 99)
Yasmin,
Ajarilah aku. Perkosalah Aku. (Ayu Utami, 1997:195)
2. Laila
Sejak itu kami tetap tidak bertemu. Saya selu ingin meneleponnya. Apa perasaannya? Bagaimana wajahnya? Dua tiga bulan setelah itu, saya masih berharap jika telepon berdering. Di rumah atau di meja kantor. Bulan keempat saya menyadari, dia memang menahan diri. Entah untuk alasan apa. Mungkin menjaga perasaan istri. Mungkin menjaga perasaan diri. Dia pernah berkata nahwa pertemuan dengan saya hanya akan menyisakan ngilu karena menyimpan sesuatu yang mestinya dikeluarkan. Mungkin nafsu. “Sebab orang yang sudah kawin tidak bisa tidak begitu.” Saya sendiri barangkali harus menjaga perasaan istrinya atau dirinya. Sebab saya belum kawin, sehingga tak harus begitu. Meski sebetulnya, saya terlalu rindu. Tapi, siapa yang harus menimbang perasaan itu di antara kami? Akhirnya saya yang harus menanggungnya. Sebab saya belum kawin. Sebab saya datang terakhir. Tiga tahun lalu. (Ayu Utami, 1997:6)
“Jadi, apa sebetulnya apa yang kamu cari? Perkawinan bukan, seks bukan?”
“Aku cuma pingin sama-sama dia.”
…….
“Aku cuma pingin sama-sama dia. Aku capek menahan diri.”
(Ayu Utami, 1997: 145)
3. Cok
Namun, semakin lama semakin ruwet cerita yang ia tuturkan, sebab semakin banyak nama yang dia sebut dalam dalam surat-suratnya. Dan ia kencan dengan beberapa pria sekaligus dalam kurun waktu yang sama. Aku agak bingung membacanya. Jika terlewat satu surat saja, cerita sudah melompat ke babak baru, seprti sinetron sabun. Apakah kamu tidur dengan mereka semua? Tidak, jawabnya, sebagian saja. Dalam sehari kamu bisa pacaran lebih dari satu orang? Iya, tapi tidak setiap hari. Bagaimana dengan orangtuamu yang dulu membuangmu ke pelosok Republik Indonesia supaya jadi bermoral? Mereka tak bisa marah lagi, katanya. Malah, mereka kadang terpaksa melindungi aku dari pacar-pacar yang ngamuk karena kukhianati. (Ayu Utami, 1997: 152)
4. Shakuntala
Namaku Shakuntala. Ayah dan kakak perempuanku menyebutku sundal. Sebab aku telah tidur dengan beberapa lelaki dan beberapa perempuan. Meski tidak menarik bayaran. Kakak dan ayahku tidak menghormatiku. Aku tidak menghormati mereka. (Ayu Utami, 1997: 115)
Waktu orangtuaku mendengar bahwa aku pacaran dengan seorang raksasa di dalam hutan, mereka memberi nasihat kedua. Keperawanan adalah persembahan seorang perempuan kepada suami. Dan kau hanya punya satu saja, seperti hidung. Karena itu, jangan diberikan seelum menikah, sebab kau akan menjadi barang pecah belah. Tapi sehari sebelum aku dibuang ke kota asing tempat aku tinggal saat ini, aku segera mengambil keputusan. Akan kuserahkan keperawananku pada raksasa yang kukasihi.
Malam terakhir itu, di bawah bulan warna jambon, aku berjingkat ke pawon, dank u renggut ia dengan sendok teh. Ternyata Cuma sarang laba-laba merah. Kusimpan ia dalam kotak perak Jepara dan kuberikan kepada anjing. Dia memang pengantar pesan-pesan rahasia antara aku dan si raksasa. (Ayu Utami, 1997: 124-125)
Aku ingin sekali melihat tanah raksasa, rumah mereka yang besar-besar, jalanannya, tikusnya serta kucingnya. Terutama juga agar aku bisa pergi amat jauh dari ayah dan kakakku yang tidak kuhormati…..pada masa lampau kami boleh memilih nama kami sendiri…..tapi orang-orang masa kini lahir, dan kantor pengadilan mematri nama mereka pada akte seperti sekali kutukan untuk seumur hidup. Kenapa pula aku harus memakai nama ayahku? Bagaimana dengan nama ibuku? (Ayu Utami, 1997: 137-138)
5. Yasmin
Kemudian, dengan malu-malu, Yasmin mengaku kepada kami bahwa ia sudah tidur dengan Lukas.
“Tapi kami mau nikah,” tambahnya cepat-cepat, sebab ia merasa telah berzinah. (Ayu Utami, 1997:153)
Saman,
Tahukah kamu malam itu. Malam itu yang aku inginkan adlah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu. (Ayu Utami, 1997: 195)
Perempuan selalu diidentikkan dengan segala sesuatu yang lemah dan membutuhkan perlindungan. Tidak ada masa bagi mereka untuk memiliki kekuasaan bahkan atas diri perempuan itu sendiri. Inilah yang mungkin menjadi dasar bagi budaya patriarki yang memasung wanita dalam budaya dan hukum-hukum serta norma yang menempatkan mereka selalu dibelakang lelaki dan hanya menjadi rencang wingking saja.
Ini jugalah yang kemudian menjadi keresahan bagi beberapa penulis wanita di Indonesia. Maka, Ayu Utami dengan novel Samannya membidik tema ini dan mulai menulis untuk menemukan satu jalan sebagai usahanya melawan budaya patriarki yang telah berakar kuat terutama bagi para wanita di Indonesia.
Ayu Utami menggambarkan arus feminisme mengalir melalui perwatakan masing-masing tokoh wanita yang ada dalam novel tersebut. Misalnya saja dalam kutipan berikut:
Aku ingin sekali melihat tanah raksasa, rumah mereka yang besar-besar, jalanannya, tikusnya serta kucingnya. Terutama juga agar aku bisa pergi amat jauh dari ayah dan kakakku yang tidak kuhormati…..pada masa lampau kami boleh memilih nama kami sendiri…..tapi orang-orang masa kini lahir, dan kantor pengadilan mematri nama mereka pada akte seperti sekali kutukan untuk seumur hidup. Kenapa pula aku harus memakai nama ayahku? Bagaimana dengan nama ibuku? (Ayu Utami, 1997: 137-138)
Dari kutipan tersebut, secara tersirat Ayu Utami ingin memberikan gambaran bahwa tidak penting pada zaman sekarang untuk menggunakan nama atau keterangan tentang asal-usul seorang ayah, padahal di sisi yang lain mengesampingkan nama ibu kita.
Pada beberapa alur dalam novel Saman, Ayu Utami melukiskan tentang konflik yang timbul karena masih suburnya sistem patriarkal. Misalnya saja pada kutipan berikut:
Menempatkan perempuan dalam kementrian dan urusan wanita sebetulnya paralel dengan kegiatan Darma Wanita ataupun Persit Kartika Chandra. Itu merupakan perpanjangan dari rumah tangga yang patriarki. Perempuan diseklusi dalam perkara domestik…..masalah perempuan dianggap sebagai masalah yang khas kaumnya, yang laki-laki tak prlu bertanggung jawab, padahal seluruh penindasan terhadap perempuan bersumber dari patriarki tadi. (Ayu Utami, 1997: 179-180)
Gugatan juga bukan hanya diajukan kepada para lelaki saja, tapi melalui beberapa tokohnya, Ayu Utami juga menggugat dan menyalahkan Tuhan atas keadaan yang terjadi pada para wanita. Ini terlihat dalam kutipan berikut:
Apa salah laki-laki?
Jawab Laila: sebab mereka mengkhianati wanita. Mereka Cuma menginginkan keperawanan keperawanan, dan akan pergi setelah si wanita menyerahkan kesucian…..sebab menurutku yang curang lagi-lagi Tuhan: dia menciptakan selaput dara tapi tidak membikin selaput penis. (Ayu Utami, 1997: 148-149)
Tentang penggambaran karakter masing-masing tokoh wanita dalam novel tersebut, yaitu Laila, Cok, Shakuntala, dan Yasmin, mereka digambarkan mempunyai tingkatan-tingkatan tersendiri dalam pemahaman mereka terhadap pandangan feminismenya. Begitu pula, mereka masing-masing mungkin sekali menjadi gambaran para pemuda wanita kita yang perlahan-lahan atau secara radikal mengadakan perlawanan terhadap budaya patriarki.
Laila. Dari keempat tokoh wanita yang ada, ia memang masih berada di depan pintu gerbang pandangan feminisme. Laila bisa menjadi gambaran wanita yang masih lugu dan polos tentang apa yang disebut seksualitas daripada ketiga temannya yang lain. Saat ia mencintai, ia akan benar-benar mencintai laki-laki yang ia inginkan dan dengan sungguh-sungguh memenuhi dan menjaga permintaan lelaki tersebut. Ia juga bisa dikatakan sebagai wanita yang setia. Dari kutipan yang telah ditulis sebelumnya, Laila bahkan berpikiran bahwa sudah cukup untuk bersama orang yang dicintainya –meski lelaki itu sudah beristri- meski tanpa hubungan yang disebut pernikahan suci.
Sihar, umurku sudah tiga puluh. Dan kita di New York. Beribu-ribu mil dari Jakarta. Tak ada orangtua, Tak ada istri. Tak ada dosa. Kecuali pada Tuhan, barangkali. Tapi kita bisa kawin sebentar, lalu bercerai. Tak ada yang perlu ditangisi. Bukankah kita saling mencintai? Apakah Tuhan memerintahkan lelaki dan perempuan untuk mencintai ketika mereka kawin? Rasanya tidak. (Ayu Utami, 1997: 30)
“Jadi, apa sebetulnya apa yang kamu cari? Perkawinan bukan, seks bukan?”
“Aku cuma pingin sama-sama dia.”
…….
“Aku cuma pingin sama-sama dia. Aku capek menahan diri.”
(Ayu Utami, 1997: 145)
Dengan penggambaran karakter Laila yang seperti itu, sesungguhnya ia adalah wanita yang masih takut untuk melakukan hal-hal seperti berhubungan tubuh dengan laki-laki lain. Ia dilukiskan tidak berani melakukan yang lebih dari sekedar ciuman (halaman 27).
Kemudian ada sosok lain, yaitu Cok. Penggambaran karakter Cok memang tidak terlalu dijelaskan seperti tiga temannya yang lain tapi dari kutipan yang telah ditulis di atas tentang karakter Cok, kita bisa menarik satu kesimpulan bahwa ia termasuk wanita muda yang kemudian terjerumus pada pergaulan bebas yang cenderung gonta-ganti pasangan dengan mudahnya. Akibat yang ia tanggung ternyata tidak malah membuatnya jera akan tingkah lakunya, tapi malah membuat orangtuanya kebingungan dan kerepotan harus melindunginya dari para mantan pacarnya. Ia adalah wanita yang tidak mau terikat dengan satu lelaki, karena itulah ia sering berganti pacar dan tidak membentuk ikatan pernikahan dengan satu lelaki yang dikiranya cocok dengan dirinya.
Tokoh yang lain adalah Shakuntala yang dianggap memiliki pandangan paling keras terhadap budaya yang menomorsatukan lelaki. Ia beranggapan bahwa wanita bisa melakukan hal yang lebih sebagaimana lelaki. Bahkan ia sama sekali tidak menaruh hormat pada ayahnya dan malah begitu membencinya. Ia jugalah yang ‘mengompori’ teman-temannya untuk membenci ayahnya sendiri. Shakuntala tidak menganggap penting hal-hal yang berhubungan dengan lelaki, termasuk ketika ia ditanya tentang nama ayahnya, ia tidak mau menyebutkannya dan lebih memilih untuk tidak meneruskan urusannya atau hal-hal lain yang membuat ia harus berhubungan dengan nama lelaki, ayahnya. Ia ingin hidup bebas tanpa pasungan para lelaki dalam hidupnya. Karena itulah ia juga menanggap pernikahan sebagai ikatan yang tidak layak disucikan karena hanya menjadi usaha bagi para lelaki mengekang, menahan dan memperbudak wanita.
Tokoh wanita yang terakhir adalah Yasmin. Mulanya ia memang digambarkan sebagai wanita yang alim. Namun perkembangan selanjutnya ia juga mengalami hal yang serupa, pandangan feminisme telah merubah jalan pikirannya. Meskipun akhirnya ia memang menikah dengan pacarnya dan menjalani suatu ikatan pernikahan. Tapi kemudian berubah menjadi lain ketika hadir tokoh Saman, lelaki yang malah ia jadikan obyek untuk kepuasan seksualnya. Dalam novel ini, Ayu Utami ingin menggambarkan bahwa bukan hanya lelaki, tapi wanitapun mampu untuk menjadi subjek seksualitas dengan lelaki sebagai objeknya. Ini makin diperjelas dan dipertegas dengan tulisan diary Yasmin untuk Saman yang menunjukkan suatu keterbukaan bahkan ketidakwajaran ucapan seorang wanita kepada lelaki.
Saman,
Tahukah kamu malam itu. Malam itu yang aku inginkan adlah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu. (Ayu Utami, 1997: 195)
Sedangkan tokoh Saman di sini digambarkan sebagai lelaki yang pada awalnya memiliki kekuatan yang lebih untuk mendorong nafsu seksualitasnya, tapi bersamaan dengan banyaknya peristiwa yang ia alami, Saman menjadi sosok lelaki yang tidak percaya pada Tuhan –awalnya ia adalah pastur gereja-, bahkan menjadi lelaki yang lemah dan tidak mampu mengendalikan seksualitasnya terhadap wanita (Yasmin). Saman digambarkan sebagai lelaki yang kalah dengan wanita dan akhirnya bertekuk lutut di hadapannya. Ini terlihat dalam diary Saman juga yang ditujukan untuk Yasmin.
Yasmin,
Ajarilah aku. Perkosalah Aku. (Ayu Utami, 1997:195)
Sastra yang beraliran feminisme ikut menghiasi perkembangan sastra Indonesia di zaman modern ini. Aliran ini mengusung pemikiran feminisme yang melawan dan mendobrak budaya-budaya patriarki yang sebelumnya telah mengakar kuat dalam benak wanita Indonesia. Saman adalah salah satunya. Novel yang ditulis Ayu Utami ini mengajak dan cenderung memberikan pengetahuan bahwa wanita selalu bisa, sama halnya bahkan mungkin lebih daripada apa yang bisa lelaki kerjakan. Melalui karakter tokoh-tokohnya Ayu Utami memberikan beberapa gambaran sosok wanita yang akan masuk (Laila) atau yang sudah begitu kental dengan pemikiran feminisme, yaitu Shakuntala.
Keluar dari apa yang ditulis oleh Ayu Utami dan rekan penulis wanita sejenisnya, yang mereka hasilkan hingga menjadi suatu karya membuat dunia kesusastraan di Indonesia makin kaya dan semarak dengan kehadiran mereka. Yang mereka tulis terkadang lebig segar, lebih kreatif dan lebih menarik daripada para penulis lelaki. Selain itu, bukankah memang tidak ada batasan dalam dunia sastra. Tidak ada keharusan dan larangan bahwa penulis wanita atau lelaki harus menulis ini dan tidak boleh menulis tentang hal yang lainnya. Hanya saja, kembali pada hakikat sastra sebenarnya bahwa selain memberikan hiburan (rekreatif) ia selayaknya memberikan pendidikan dan ajaran moral bagi para pembacanya atau penikmat karya sastra tersebut.
1 komentar:
terima kasih blog anda sangat membantu saya memahami perkembangan karya sastra di indonesia. blog yang bagus.
Posting Komentar