Pesan untukmu,,,

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun ? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Anak Semua Bangsa-Pramudya Ananta Toer)

Kamis, September 10, 2009

Solo Belum Butuh Paragon

Pembangunan berbagai gedung tinggi dan modern di kota Solo menyisakan polemik bagi beberapa golongan yang mengaku tidak setuju karena ada beberapa hal yang telah dilanggar dalam pembangunan tempat-tempat tersebut. Masyarakat pun mengajukan beberapa keberatan hingga usulan untuk menghentikan proyek yang berjalan. Namun, pemerintah kota tetap keukeuh melanjutkan proyek yang telah berjalan.


“Kami pernah melempari pembangunan Solo Paragon waktu pertama kali proyek itu berlangsung. Kami tidak setuju dengan pembangunan gedung yang terlalu tinggi itu”, ujar Nur Muhamad Fadhillah, warga RT 2/RW II, Mangkubumen. Dia adalah salah satu warga yang tinggal di daerah yang berdekatan dengan lokasi Solo Paragon didirikan. Tepat di samping bawah bangunan. Diakui warga sekitar bahwa pembangunan Solo Paragon banyak menuai masalah di belakangan hari.
Suasana pembangunan yang ramai jelas mengganggu kegiatan sehari-hari warga yang ada di sekitar lokasi proyek. Sampah dan debu adalah masalah yang tidak dapat dihindari. “Nah, itu Mbak. Seperti sampah yang sedang beterbangan itu jadi masalah buat kami”, ucap seorang bapak tua sambil menunjuk sampah yang beterbangan dari gedung yang direncanakan berlantai 24 itu. Permasalahan yang lain adalah sinyal antena TV yang terganggu karena gedung yang ada di samping rumah mereka memiliki ketingian yang jauh melebihi ketinggian rumah mereka. “Dulu, sebelum ada pembangunan Paragon sinyal antena TV kami baik-baik saja, jadi buruk setelah ada gedung tinggi itu”, ungkap warga kesal.
Pembangunan Solo Paragon menuai konflik sejak pertama kali mulai dilaksanakan. Setelah pernah berhenti sejak pertama kali pembangunannya, proses pembangunannya mulai dilaksanakan kembali sekitar Februari 2008 lalu. Warga yang pada awalnya sulit diajak kerja sama pun belakangan mulai mundur teratur dengan menerima proses pembangunan gedung tersebut. “Warga dulu sangat teguh menolak pembangunannya, tapi ya karena warga cuma rakyat kecil. Kami butuh uang untuk beli susu anak-anak kami, Mbak. Sempat saya dengar isu juga ada 200 ribu rupiah per kepala keluarga dulu”, jelas Nur. “Tapi saya ya ndak tahu pasti karena saya juga tidak menerimanya. Mungkin juga itu cuma isu”, tambahnya. Selanjutnya, ia juga menyampaikan bahwa ada tawaran untuk bekerja di sana (Solo Paragon, red) bagi beberapa warga. “Yang seperti itu kan biar kami ga teriak-teriak lagi, Mbak. Jadi, ya begitu cara membungkam kami”.

DKS Angkat Suara
Pemerintah Kota Solo yang dirasa sangat mudah memberikan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk bangunan tinggi dan modern di kota Solo pun mendapat tanggapan dari aktivis Dewan Kesenian Surakarta (DKS) dan Forum Penegak Keadilan dan Kebenaran (FPKK). Menurut mereka, pembangunan gedung-gedung tinggi tersebut akan mempertebal rasa kekalahan orang Jawa. “Orang Jawa menggunakan Keraton Kasunan sebagai panutan. Sekarang malah sudah tertutup dengan adanya gedung-gedung tinggi tersebut. Gedung tinggi lain yang sedang berada dalam proses pembangunan adalah Solo Center Point dan Kusuma Mulia Tower.
”Bangunan itu tingginya lebih dari 20 lantai, padahal di Solo masih ada Keraton dan juga Mangkunegaran. Jika dilihat dari estetika ini bisa tidak tepat,” ungkap Ketua FPKK Ismu Wardoyo dalam sebuah sidang gugatan kepada Joko Widodo, Walikota Solo. Isi gugatan tersebut adalah bahwa FPKK meminta walikota mengkaji ulang IMB tiga apartemen tersebut untuk izin peruntukannya dan ketinggian bangunan. Kuasa hukum FPKK Bambang J Guntoro SH menegaskan, salah satu gugatan adalah soal ketinggian dan izin peruntukan tiga apartemen tersebut.
Dalam kasus tersebut FPKK juga menggugat Walikota senilai Rp 50 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk pemugaran situs cagar budaya di Solo. Mengenai penggugatan tersebut salah satu budayawan Solo, Sabar Narimo menyatakan, “Menurut saya, kalau masalah bisa diselesaikan dengan dialog dan bicara baik-baik tidak perlu ada hal-hal seperti penggugatan itu. Saya pikir, Joko Widodo seharusnya membicarakan perihal pembangunan gedung-gedung tersebut kepada elemen masyarakat termasuk budayawan di dalamnya. Ini supaya tidak ada kesalahpahaman dan pertanyaan hingga menelurkan aksi gugat-menggugat”.
Selama ini, peraturan tentang tinggi gedung di daerah kota Solo memang belum diatur dalam suatu peraturan tertentu. “Tapi, Solo masih memiliki Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Tinggi gedung yang melebihinya akan membuat sangat tidak etis”, ungkap para budayawan dalam sidang penggugatan terhadap Joko Widodo tersebut.

Karakter orang Solo masih lemah
“Kebudayaan bukan hanya tentang bahasa dan aneka situs yang dimiliki oleh masyarakat. Tetapi, budaya adalah masyarakat itu sendiri”, tutur Sabar menjelaskan tentang makna sebuah kebudayaan. “Masyarakat jelas tidak dapat dipisahkan dari budaya itu sendiri karena memang sudah menjadi bagiannya”, tambahnya. Perubahan yang terjadi dalam suatu kebudayaan dapat terjadi karena ada pengaruh dari luar. Dapat terjadi proses ketika sebuah kebudayaan baru merupakan hasil dari penggabungan budaya lama yang terkena unsur-unsur budaya masyarakat pendatang. Atau dapat pula terjadi kebudayaan yang benar-benar baru karena masyarakat yang didatangi tidak dapat mempertahankan unsur-unsur dan nilai kebudayaan yang dimilikinya.
“Dan masyarakat kita (masyarakat Solo, red) saya pikir masih seperti itu”, ungkap Sabar. “Dalam penilaian yang saya lakukan, masyarakat lebih menyukai hal-hal yang berbau modern. Saya pikir mereka sudah banyak yang lupa tentang budaya berpakaian orang Jawa atau bagaimana berbahasa Jawa. Mereka juga pasti sulit menggunakan aksara Jawa”, tambahnya. Hal inilah yang menurut Sabar akan membuat masyarakat Solo menjadi bukan orang Solo lagi. Kepribadian masyarakat Solo dirasa belum terlalu kuat untuk menerima gelombang modernisasi yang begitu kuat dengan munculnya berbagai bangunan baru dengan arsitektur yang modern dan ketinggian yang mencakar langit. “Kebudayaan mana yang ingin kita pertahankan, karakter kita sendiri saja masih lemah”, lanjutnya.
Hal yang senada diungkapkan pula oleh Nur, warga Mangkubumen yang tinggal tepat di samping bawah lokasi Solo Paragon didirikan. “Solo belum butuh gedung, apartemen atau hotel yang setinggi itu”. Pembangunannya dirasa kurang memenuhi aspek transparasi. “Warga sama sekali tidak tahu apakah pembangunan gedung-gedung itu menggunakan APBD atau APBN. Berapa juga besarnya”. Dengan roman yang mulai kesal ia menambahkan, “Toh, yang memakai gedung-gedung itu juga sedikit yang warga Solo. Kebanyakan orang luar kota yang membawa budaya baru yang cenderung mengurangi nilai dan budaya Solo”. Hal tersebut diamini juga oleh Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNS Solo, Dr Drajat Tri Kartono MS. Dalam sebuah kesempatan ia menyatakan, ”Kota Solo yang luas wilayahnya sekitar 44 km2 sebenarnya tidak perlu pusat perbelanjaan modern berupa mal. Sebab, Solo sudah memiliki 38 pasar tradisional yang sesungguhnya sudah bisa mencukupi kebutuhan masyarakat”. “Semestinya, pemerintah mengembangkan pasar-pasar tradisional dengan fasilitas layak dan manajemen yang modern”, tambahnya.

Solo akan Kehilangan Panggung Kenangan

Pembangunan dan modernisasi wilayah perkotaan menjadi satu hal yang cukup digandrungi oleh para pimpinan daerah. Walikota Solo beserta jajarannya pun mulai ‘menikmati’ hal serupa. Bangunan-bangunan bernuansa modern banyak didirikan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Situs-situs budaya mulai cemburu dengan bedanya perlakuan. Beberapa mulai terpinggirkan dan terganti dengan megahnya sarana perkotaan yang marak ditawarkan.


Berbagai kemudahan mulai diberikan oleh pemerintah kota Solo bagi para investor dan penanam modal. Langkah ini dilakukan untuk menciptakan iklim kondusif dalam dunia industri dan perdagangan di kota Solo. Efeknya mulai terlihat dengan mulai menggeliatnya dunia industri dan perdagangan di kota Solo dengan para penanam modal yang berbondong-bondong memilih kota Solo sebagai pasar selanjutnya. Diakui bahwa dunia usaha cukup terbantu dengan adanya kebijakan tersebut. “Keadaan ekonomi kita cukup terbantu dengan adanya bangunan-bangunan yang menyerap cukup banyak tenaga kerja”, ungkap Sabar Narimo, salah satu budayawan Solo sekaligus Dosen Filsafat Jawa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Pembangunan mall dan pasar modern lainnya dianggap sebagai suatu usaha untuk memanusiakan manusia dan dunia usaha karena di sana mereka - sebagai seorang konsumen - mendapatkan perlakuan yang layak saat menikmati jasa.
Namun begitu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Joko Widodo selaku Walikota Solo. Salah satu di antaranya adalah tentang penataan kota Solo. Menata kota berarti menggunakan sudut pandang bagaimana warga kota memandang kota tempat dia tinggal dan beraktivitas. Menata kota juga bisa dikatakan bahwa kita sedang melakukan dialog dengan budaya masyarakatnya, dengan peta perpolitikannya, dengan tingkat sosial ekonominya, dengan sejarahnya, serta dengan dasar negara dan cita-cita kolektifnya sebagai suatu bangsa. Dapat dianalogikan, jika dalam sebuah dialog dengan sesama manusia terkadang terjadi keserasian, keharmonisan, atau mungkin terjadi cekcok dan perdebatan. Maka, dialog (baca: penataan kota) yang kita lakukan dengan elemen-elemen yang telah disebutkan di atas pun bisa saja terjadi hal yang serupa. Karena itulah diperlukan suatu usaha yang berkesinambungan, memiliki perencanaan jauh ke depan, sikap bertanggung jawab, serta pemikiran yang holistik dan manusiawi untuk mewujudkan sebuah kota yang nyaman dan bermartabat serta mampu mewadahi aktivitas warga yang mendiaminya.

Warga untuk Solo “Kota Budaya”
Identitas sebagai Kota Budaya sangat akrab dan melekat lama di Kota Solo. Hal itu tidak lepas dari peninggalan berbagai warisan pusaka (heritage) berupa tangible heritage (bendawi) dan intangible heritage (nonbendawi). Hal tersebut pun sudah diamini oleh pemerintah kota Solo dengan warga yang menghuninya. Telah diyakini bahwa pelestarian warisan pusaka merupakan tanda dalam proses perubahan serta perkembangan kota yang terjadi secara alamiah. Tahapannya terjadi secara berurutan tanpa harus kehilangan masa lalu yang dapat dijadikan cermin untuk pembangunan masa depan.
Hal tersebut senada seperti yang sering diungkapkan oleh Joko Widodo dalam setiap kesempatan bahwa pemerintah kota Solo akan menciptakan Solo sebagai kota budaya yang berorientasi pada Solo masa lalu. Solo’s Past is Solo’s Future. Solo masa lalu adalah Solo masa depan. Konsep ini harus dipahami dalam arti sesungguhnya agar pembangunan yang dilakukan di Solo bukanlah pembangunan yang selalu mundur ke belakang. Namun juga tetap tidak kehilangan ruh dengan tetap memegang semangat membentuk Solo sebagai kota budaya yang akan mampu keluar bukan hanya dalam skala lokal, tetapi juga dalam kancah pergaulan nasional dan internasional.
Langkah pemerintah kota untuk melaksanakan visi tersebut membawa konsekuensi bahwa harus terjadi komunikasi yang baik antara setiap elemen agar Solo di masa depan dapat terwujud dengan tetap melihat dan menyesuaikan dengan kondisi Solo di masa yang lalu. Pembangunan tersebut tidak berarti dilakukan dengan selalu menyamakan Solo yang sekarang dengan Solo yang lalu melainkan pembangunan yang dilaksanakan untuk dapat mencapai visi Solo ke depan tetap berpedoman pada Solo tempo dulu dengan aneka warisan budaya yang dimilikinya. “Saya pikir, Joko Widodo sudah memiliki konsep dan arah yang lebih jelas tentang pembangunan di kota Solo daripada walikota-walikota sebelumnya. Pada beberapa pembangunan yang dilakukan oleh Joko Widodo, bentuk situs budaya masih dipertahankan seperti keadaan aslinya. Daerah Mangkunegaran, misalnya. Sejak saya kecil sampai sekarang masih sama seperti itu”, ungkap Sabar member penilaian tentang kinerja Joko Widodo.
Prioritas pembangunan harus diperhatikan. Publikasi kepada setiap elemen masyarakat pun menjadi satu hal yang tidak dapat dikesampingkan oleh pihak pemerintah kota. Masyarakat sebagai salah satu stake holder harusnya dipahamkan terlebih dahulu tentang grand design yang dibuat oleh pemerintah. Ini bertujuan agar terjadi kesinambungan dan saling dukung antara masyarakat dengan program pemerintah. Pun hal tersebut akan membuat program yang dilaksanakan pemerintah menjadi tidak kehilangan maknanya. Itu semua dapat terjadi dan bertahan lama bila ada kehendak stakeholder untuk bekerjasama melindungi, melestarikan dan memperdayakan berbagai warisan budaya.

”Mereka” iri
Beberapa bulan terakhir menyebutkan bahwa muncul beberapa masalah tentang situs budaya yang dimiliki Solo yang hampir kehilangan tempatnya di hati masyarakat, bahkan warga Solo sendiri. Beberapa situs budaya bahkan memiliki kasus yang cukup mengagetkan dengan adanya berita kehilangan dan perubahan dari situs budaya menjadi pusat perbelanjaan atau industri karena akan dibangun lokalisasi mall di atas tanah situs budaya tersebut. misalnya, polemik tentang Benteng Vastenburg muncul sejak November 2008 ketika ”pemilik” benteng berencana mau membangun hotel bertingkat 13 dan mal di atas situs yang dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Sebagai catatan, Benteng Vastenburg di Kota Solo adalah salah satu icon Kota Solo yang harus dilestarikan. Sejarah kelam di balik benteng peninggalan Belanda (1755) ini akan menjadi pelajaran bagi generasi mendatang karena keberadaannya menjadi simbol benteng terakhir nasionalisme. Benteng Vastenburg memiliki akar kultural sehingga keberadaannya merupakan salah satu modal sosial yang bernilai bagi perjalanan kota Solo.
Dalam sebuah diskusi yang dilaksanakan dalam memperingati hari jadi kota Solo ke- 264, Prof Eko Budihardjo dari Universitas Diponegoro, Semarang menyatakan, “Sebuah kota adalah karya seni sosial sekaligus ”panggung kenangan” yang menyimpan memori seluruh warganya. Menghilangkan memori tadi merupakan sebuah dosa besar”. Ali Syaifullah dari Komunitas Peduli Cagar Budaya Nusantara (KPCBN) pun mengamini pendapat Eko dengan menegaskan bahwa Benteng Vastenburg adalah simbol nasionalisme kita yang terakhir jika di atasnya berhasil dibangun kompleks hotel, mall atau pusat perbelanjaan yang lain. “Kita akan kehilangan sejarah tersebut jika di atas kompleks benteng ini berhasil digantikan dengan mall atau hotel”, papar Ali. Untuk itulah, ia menegaskan bahwa pengembalian Benteng Vastenburg kepada negara merupakan salah satu langkah penyelamatan yang dapat dilakukan untuk menjaga salah satu situs budaya yang sudah terancam.
Sikap pemerintah kota Solo yang cenderung terbuka terhadap para investor dalam hal ini akan memberikan dampak yang buruk jika penjagaan situs budaya seperti Benteng Vastenburg tidak ditingkatkan. Karena pada tempat-tempat tersebutlah para investor tertarik untuk menanamkan modalnya. Perlu penjagaan yang masiv dari pihak pemerintah dalam hal ini.
Pembangunan budaya tak bisa dilakukan secara parsial terhadap satu aspek tertentu, seperti fisik. Budaya lebih berorientasi pada nilai atau spirit, menghasilkan manusia (masyarakat) yang berbudaya (sifat). Dari sisi konseptual spiritual ini, pencarian nilai masa lalu Solo adalah upaya kembali menghadirkan originalitas nilai Solo, nilai lokal yang berujung penemuan local genius dan identitas. Perlakuan yang adil dan layak bagi situs-situs budaya yang menjadi kekayaan kota Solo akan mampu menghadirkan kota Solo yang modern dengan tidak meninggalkan nilai budaya yang dimilikinya. Maka, sosialisasi guna mengenalkan berbagai kekayaan warisan budaya kepada masyarakat menjadi kewajiban Pemkot. Sebab banyak warga kota tidak paham bahkan tidak tahu akan berbagai warisan pusaka budaya yang dimiliki. Upaya membumikan kepada warga menjadi salah satu program yang harus dilaksanakan oleh Pemkot bersama jajarannya. Pemerintah kota Solo diharuskan mengambil langkah yang bijaksana untuk mengusung visi yang sudah sering diperdengarkan di muka publik. Langkah ini harus diambil jika pemerintah ingin konsisten dengan semboyan Solo, The Spirit of Java.
mata itu masih memandang sama.
lurus ke depan dengan tatapan sayu yang dimilikinya.
tapi kurasakan ada kekuatan besar dalam tatapan sayunya itu.
kekuatan yang mampu meniris hatiku.
mungkin juga dengan hati-hati lain yang menatapnya dengan sungguh.
melihat matanya lebih dekat pada kedalamannya...


dan aku masih memperhatikan polahnya,,
di seberang jalan sana
dengan kaleng susu kosong yang selalu dibawanya,,,